Pembuktian
Dan Putusan Pengadilan
Makalah
Disusun
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pengadilan Pidana
Dosen
: Abdul Barri S.H
Disusun
Oleh :
Gugum
Gumelar
Muamalah
V
Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI)
Al-Masthuriyah
–Sukabumi
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Pembuktian
tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan adalah
merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini pun HAM (hak
asasi manusia) dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang mana
mencari dan menempatkan kebenaran bukanlah kesalahan orang lain yaitu kebenaran
yang hakiki atau yang sebenar-benarnya, berbeda dengan hukum acara perdata yang
cukup puas dengan kebenaran formal, atau kebenaran yang terungkap di muka
sidang saja.
Pembuktian ini
dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara disertai dengan
bukti yang konkret, dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun dia tidak
melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat
menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh
keyakinan tentang hal tersebut
1.2.Tujuan
Dari makalah
ini akan dibahas tentang :
1. Pengertian Pembuktian,
2. Macam-macam Teori Pembuktian Pembuktian Dalam
Hukum Acara Pidana,
3. Pengertian Alat Bukti yang Sah dalam KUHAP.
4. Putusan
Pengadilan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Pembuktian
Pembuktian
adalah kegiatan membuktikan, di mana membuktikan berarti memperlihatkan
bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan,
menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Pembuktian Merupakan sebagian dari
hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang
mengajukan bukti tersebut serta Kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai
suatu pembuktian. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana
mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana).
Menurut pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit)
“negatief wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam
persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat
meyakinkan hakim dalam mengambil Keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan
sekurang-kurangnya dua bukti. Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan,
bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya
kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu bagian kegiatan
pengungkapan fakta, dan pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus
penganalisisan hukum.
Pada bagian
pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut
Umum dan Penasihat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa
kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat
ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara
dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan
pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum,
Penasihat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang
sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti
kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasihat
Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan dibahas
majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya. Pembuktian ini
menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap
penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah
untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
2.2.Teori Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
1.
Sistem
Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah
tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung
pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa
atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Dan
keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.
Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim
tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat
bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan
bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Sistem pembuktian Conviction in Time banyak digunakan oleh negara-negara yang
menggunakan sistem peradilan juri (Jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan
Amerika Serikat (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).
2. Sistem Atau
Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In
Raisone)
Pada sistem Conviction-Raisonee , keyakinan
hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam
sistem pembuktian Conviction in Time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa
batas maka pada sistem Conviction-Raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya
terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu
putusan juga berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable).
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut
juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
3.
Sistem
Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijke
bewijs theorie).
Menurut teori ini, sistem pembuktian positif
bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam
undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya
alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim
menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus
terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti
tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan
terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah.
Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat
penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang
disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono
Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat
menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang
hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan
berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan
terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena
menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang. Sistem
pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem
pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.
4.
Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs
theorie)
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif
ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.
Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah
atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia
menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke
bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti
sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam
menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya
dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang
tertuang di dalam KUHAP pasal 183 “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang
mencapai batas minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu
dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan
penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang di
jatuhkan dapat dianggap sewenang-wenang.
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan
pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap
pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana,
khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Dalam hal pembuktian ini keterangan korban
merupakan hal yang sangat penting, di mana korban adalah mereka yang menderita
secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.
2.3.Pengertian Alat
Bukti yang Sah dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana
Alat Bukti
adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, di mana
dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan terdakwa.
Adapun alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) adalah :
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
3.
Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana
tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
·
Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
·
surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
·
surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan
padanya;
·
surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain
4.
Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya, hal ini seperti apa yang tercantum dalam pasal 188
ayat (1) KUHAP.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP menentukan:
”Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan
tentang perbuatan yang dilakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Dan dalam Pasal 189 ayat (4) sudah dinyatakan bahwa: “Keterangan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya”.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti
mengandung/menandai:
·
Apa
yang terdakwa “nyatakan”, atau “jelaskan” di sidang pengadilan.
·
Apa
yang dijelaskan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia
ketahui, alami sendiri dari peristiwa yang sedang diperiksa
2.4.Pembuktian dalam Kasus Korupsi
Korupsi sudah
menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary), karena menyangkut hampir
semua level masyarakat dan menyebar ke seluruh nusantara. Hal ini dikarenakan
korupsi sudah hampir menjadi budaya yang menyangkut semua tingkatan masyarakat
seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan menjadi bagian dari operasional
sehari-hari dan dianggap bukan merupakan perbuatan tercela juga perilaku
korupsi telah ada dan melekat pada sistem, dimulai pada awal perencanaan
program kerja tahunan, penggelembungan anggaran, rekayasan pemenang proyek dan
lain-lain
Dalam upaya
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, pembentukan undang-undang telah
memformulasikan pendekatan baru dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal tersebut didasarkan pada suatu
asumsi bahwa semakin sulitnya pelaku tindak pidana korupsi dibuktikan kejahatan
yang dilakukan di muka pengadilan, yang memungkinkan pembentuk undang-undang
menerapkan sistem pembuktian terbalik pada terdakwa yaitu Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang mempertegas penerapan sistem pembuktian terbalik bagi pelaku
tindak pidana korupsi.
Dengan demikian
pada kasus korupsi telah dapat ditentukan penganganan kasus dengan menggunakan
sistem pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik adalah suatu proses
mempergunakan alat-alat bukti dalam sidang pengadilan yang diwajibkan kepada
terdakwa, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil yang menjadi
dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang
kebenaran dalil-dalil yang telah di kemukakan oleh Penuntut Umum. Singkatnya
pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Dalam
proses pembuktian, termasuk pembuktian terbalik diharuskan untuk menghadirkan
alat bukti kepada pihak yang dibebani tanggung jawab pembuktian guna memperkuat
argumennya. Sedangkan alat bukti adalah alat yang digunakan pegangan bagi hakim
sebagai dasar untuk memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang pada alat
bukti tersebut dapat diperoleh suatu putusan yang adil
2.2 Putusan Pengadilan
2.2.1.
Pengertian Putusan Pengadilan
Putusan
Pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.
Setiap putusan
pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus ditandatangani oleh hakim
ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan
perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (Pasal 25 ayat (2) UU
No.4/2004)Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum,
yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa
yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang
bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan
Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang
ini.
Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:
1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang
memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.
3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita
acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib
2) Putusan Bebas
3) Putusan lepas dari segala tuntutan hokum
Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib
memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan
2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir
(Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana).
3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo.
Undang-Undang Grasi).
4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal
196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak
putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidanayang menyatakan bahwa selama perkara banding
belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu
tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana).(Andi Hamzah, 2002: 279).
Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena
akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa “Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka
sidang yang terbuka untuk umum.” Dari hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya
suatu putusan hakim adalah :
1) Memuat hal-hal yang diwajibkan
2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum
Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.
Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menyebutkan bahwa:
(1) Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam hal
Undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
Dengan demikian pada saat hakim menjatuhkan putusan, terdakwa harus
hadir dan mendengarkan secara langsung tentang isi putusan tersebut. Apabila
terdakwa tidak hadir, maka penjatuhan putusan tersebut harus ditunda, kecuali
dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, tidak harus
dihadiri oleh seluruh terdakwa. Berdasarkan Pasal 196 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana putusan dapat diucapkan dengan hadirnya
terdakwa yang ada. Dan dalam penjelasan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa setelah diucapkan putusan tersebut berlaku
baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir.
2.2.2Isi Putusan Pengadilan
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalankan
tugasnya, Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri
dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar
putusan itu, memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus
dan panitera yang ikut serta bersidang.
Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan berdasarkan ayat
(2) pasal tersebut kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang
tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Adapun formalitas yang
diwajibkan untuk dipenuhi di dalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam pasal
197 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah :
(1) Surat putusan pemidanaan memuat :
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya semua unsur
dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan drengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau letaknya dimana kepalsuan
itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i,
j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan, maka
hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk
umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian perkara pidana.
Keputusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan
apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap( in kracht van
gewijsde).
Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal berikut ini:
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menentukan:
“Pelaksanaan Putusan Pengadilan tersebut dilakukan oleh jaksa”.
Penjabaran Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276.
Pasal 270 :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan padanya”.
Syarat untuk menjalankan keputusan hakim ialah bahwa keputusan itu telah
menjadi tetap tidak boleh diubah lagi, dengan pengertian segera setelah
keputusan itu tidak lagi terbuka sesuatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim
itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawan verstek, naik banding,
atau kasasi. Dengan demikian selama terhadap putusan itu masih dapat dilawan,
dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan tersebut belum
menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan.
Suatu keputusan hakim menjadi tetap, jikalau semua jalan hukum
biasa untuk merubah keputusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan
kasasi telah digunakan, tapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan (tidak
berhasil) atau putusan telah diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau
waktu yang disediakan telah lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding,
kasasinya dicabut oleh yang bersangkutan.
Setelah Jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dari
panitera pengadilan, maka telah saatnya jaksa melaksanakan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tersebut.
Adapun keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu
adalah :
1) Melaksanakan Pidana Pokok
a) Pelaksanaan Pidana Mati
Pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan Undang-undang
(Pasal 271 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
b) Pelaksanaan Hukuman Penjara
Pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara berkesinambungan diantara
pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana)
c) Pelaksanaan Hukuman Kurungan
d) Pelaksanaan Hukuman Denda
Kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi (Pasal 273 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Jika ada
alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu
bulan (Pasal 273 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
2) Pelaksanaan Pidana Tambahan
Pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh
dan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana).
a) Pencabutan beberapa hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan, Undang-undang
nomor 14 tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan
tugas baru bagi para hakim, yang dalam perundang-undangan sebelumnya tidak
diatur.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam hal putusan pengadilan
tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat yang
diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan yang dijatuhkannya, tidak
terhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Dia harus mengetahui apakah
putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik
yang didasarkan kepada asas-asas kemanusiaan serta peri keadilan, terutama dari
petugas-petugas yang harus melaksanakan putusan tersebut, sehingga tercapai
sasarannya ialah mengembalikan terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik
yang patuh pada hukum.
Dengan adanya pengawasan tersebut akan lebih mendekatkan pengadilan tidak saja
dengan kejaksaan, tetapi juga dengan pemasyarakatan. Pengawasan tersebut
menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan memberi tugas pada
hakim untuk tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan olehnya.
Demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
ditentukan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri dari para hakim yang ada,
ditunjuk beberapa hakim khusus untuk membantu ketua pengadilan negeri tersebut
untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan-putusan
pengadilan yang berupa hukuman perampasan kemerdekaan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap narapidana selama mereka menjalani pidana penjara/kurungan
dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari putusan
hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan mereka masing-masing maupun
tentang perlakuan para petugas pengasuh dari lembaga pemasyarakatan tersebut
terhadap diri para narapidana yang dimaksud.
Dengan ikut campurnya hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka
selain hakim akan dapat mengetahui sampai dimana putusan pengadilan itu tampak
hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga
penting bagi penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada
umumnya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pokok pengamatan dan pengawasan
adalah sebagai berikut :
a. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang
ditanda tangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP).
b. Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini
wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja
dan untuk diketahui ditanda-tangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat
(Pasal 279 KUHAP).
c. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian
bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengamatan tersebut
digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi
pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku para narapidana atau pembinaan lembaga
pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani
pidananya. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani
pidana (Pasal 280 KUHAP).
d. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku
narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
c. Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan
dengan terdakwa ada tiga macam :
1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak).
Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas.
Dengan demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh
jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat
dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari
dakwaan dan segala tuntutan hukum.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut
penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan hukum secara pidana ini.
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
(Ontslag van Rechtsvervolging)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria :
a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan
meyakinkan.
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
tidak merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang lingkup hukum
perdata atau hukum adat.
Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman
dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam
keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
putusannya itu. Tegasnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan
yang didakwakan itu terbukti sah, apabila:
a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana).
b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan pertauran Undang-undang (Pasal 50
Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh
kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordeling).
Kemungkinan ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang
mengandung penghukuman terdakwa.
Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan
bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari
hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah
ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu :
(1) Sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
(2) Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana yang terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan
hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa pernah dihukum, dalam
persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan
berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang
meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih muda mengakui terus terang,
terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum menikmati hasil kejahatannya
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pembuktian
Merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti
yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan
tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta Kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian. Dasar hukum tentang pembuktian dalam
hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana).
Teori dalam
Pembuktian Hukum Acara Pidana di antaranya adalah :
1. Sistem Atau
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
2. Sistem Atau
Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In
Raisone)
3. Sistem Atau
Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijke
bewijs theorie).
4. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs
theorie)
5. Sistem
Pembuktian Terbalik
Alat Bukti
adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, di mana
dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal
184 ayat (1) adalah :
1. Keterangan
Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan
Terdakwa
Pengertian
Putusan Pengadilan
Putusan
Pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.
Setiap putusan
pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus ditandatangani oleh hakim
ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan
perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (Pasal 25 ayat (2) UU
No.4/2004)
2. Susunan
Dan Isi Putusan Pengadilan
Dilihat dari
wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata terdiri dari 4
(empat) bagian, yaitu :
Kepala Putusan,
setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang
berbunyi :
“Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial
kepada putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat
Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi, bahwa karena
sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri,
dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970) .
Identitas
pihak-pihak yang berperkara, dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat,
tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama,
alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya
kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain
Pertimbangan
alas an-alasan, dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas
2 (dua) bagian, yaitu :
Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke
gronden), adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh
karenanya pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan
pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat
dikutif secara lengkap, padahal dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan
bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan
gugatan dan jawaban dengan jelas.
Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden),
adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya, pertimbangan hukum
inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan, yang penting
diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan hakim yang meninjau putusan
tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.
Amar putusan, dalam
gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang dituntut atau
diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi amar putusan (diktut) itu adalah
putusan pengadilan merupakan petitum dalam gugutan penggugat.
Dalam Hukum
Acara Perdata hakim wajib mengadili semua tuntutan, baik dalam konvensi maupun
rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan tersebut harus dibatalkan (MA Nomor
104 K/Sip/1968).
Daftar Pustaka :
[1]
http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/10/teori-pembuktian.html
[2]
http://indohukum.blogspot.com/2011/04/dasar-hukum-pembuktian.html
[3]
http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalam-hukum-pidana_4293.html
[4]
http://www.sarjanaku.com/2012/12/sistem-pembuktian-dalam-hukum-acara_15.html
[5]
http://www.psychologymania.com/2013/01/teori-pembuktian-dalam-hukum-acara.html
[6]
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/
[7]
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-alat-bukti-yang-sah-dalam.html
[8]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti
[9]
http://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/perang-salib-dan-invasi-mongol-oleh-rahmat-yudistiawan/
[10]
http://politkum.blogspot.com/2013/05/pengertian-alat-bukti-yang-sah-dalam.html
[11]
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2012/04/alat-bukti-surat-petunjuk-dan.html
[12]
http://gabebhara.blogspot.com/2011/08/alat-bukti-dalam-hukum-pidana.html
[13]
http://vidyanirmalasari.blogspot.com/2013/02/sistem-pembuktian-terbalik-dan.html
[14]
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/teori-teori-pembuktian.html
[15]
http://peunebah.blogspot.com/2011/07/analisa-sistem-pembuktian-terbalik.html
[16] H. Riduan Syahrani, S.H., Buku
Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet.
V, 200
http://vidyanirmalasari.blogspot.com/2013/02/sistem-pembuktian-terbalik-dan.htm