KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga
kami dapat menyelesaikan Tugas tinjauan kepustakaan ini tepat pada waktunya.
Kami menyadari
sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan semua
pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
6
Februari 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Maulid Nabi atau hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan
semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis,
Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade.
Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap
Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai
lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi –orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin yang
pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M
atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah dia setingkat Gubernur.
Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah
kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata
Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara
mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam
di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender
Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus
dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin
meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah
setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi),
Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah)
mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung
halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja
berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan
sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat
umat Islam.
Salahuddin ditentang
oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah
ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul
Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan
Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan
yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan
Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H)
adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian
bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan
diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara
pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab
Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada
peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad,
mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga
diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang
dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat
manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh
Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah
tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd
Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama
penulisnya.
Ternyata peringatan Maulid
Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin
berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem
direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi
masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam sejarah
penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan
oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat
agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk
Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang
oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat
itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan
Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada
waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang
yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu
memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa
Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).
Pada zaman kesultanan
Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata “gerebeg” artinya
mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju
masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara,
seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga
perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul
Adha).
Kini peringatan Maulid
Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin
tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU.
Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif,
dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius
Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk
dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara
sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang
diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang
menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab
sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan,
seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan
lain-lain, dan puncaknya ialahmau’izhah hasanah dari para muballigh
kondang.
Para ulama NU
memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan
yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim
yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara
lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak
bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah
hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul
Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati
hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat
Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari
lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
- Tujuan
”Kaum muslimin tidak
boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam
12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak
boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam
agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari
kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat
syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk melakukan
perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang
utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa
Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).)
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi Muhammad
SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي),
adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh
pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti
hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di
masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi,
peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah
Muhammad SAW.
- Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan Maulid Nabi
diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang
gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi
(1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari
Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan
kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat
itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa
dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
- Hukum Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW
Syaikh Muhammad bin
Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap
Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya
tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjawab:
1.
Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath’i
(pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan
bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi
Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal
tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2.
Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga
tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari’atkan
dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi r
atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika
sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya,
niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman
:
“Sesungguhnya Kami-lah
yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara
peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka
jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk
dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah
kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid
Nabi r tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus
ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui
oleh Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba
menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal
ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah
membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini
pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Ku-ridha’i islam itu jadi agama bagimu“. Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka kita perjelas
lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari
kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r
meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka
berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta’ala berfirman:“Pada
hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu“.
Maka barang siapa yang
menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia
telah membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) sesudah wafatnya
Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah
yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka tidak diragukan
lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi SAW, pada
hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan
kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam
beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini
semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana
keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi
kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh
manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk
dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan
ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari’at Nabinya r.
- Sejarah Munculnya MAulid NAbi Muhammad SAW
Sesungguhnya
penyelenggaraan perayaan yang memperingati peristiwa-perisiwa Islam tertentu
yang kemudian dijadikan sebagai perantara untuk mendapat berkah itu, pada
mulanya hanya dikenal oleh kelompok kebatinan yang buruk. Mereka adalah Bani
Ubaid Al Qaddah yang menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.1
Upacara maulid adalah termasuk perbuatan yang
dicontohkan oleh para ahli penyimpangan dan kesesatan, sesungguhnya orang yang
pertama yang memunculkan perayaan upacara maulid adalah orang-orang dari Bani
Fatimiyyun dari golongan Ubaidiyyun yang hidup dikurun waktu ke-4 Hijriyah.
Mereka ini sengaja
mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah radhiallahu anha secara dzalim dan
untuk mencemarkan nama baiknya padahal sebenarnya mereka adalah sekelompok
orang-orang Yahudi atau ada yang mensinyalir bahwa mereka dari orang Majusi
(penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis.
Pendapat lain, seperti Imam As Suyuthi dalam
Husnul Maqshud fi Amal Al Maulid menegaskan:
“Orang yang pertama kali mengadakan peringatan
hari Maulid Nabi adalah penduduk Irbal, Raja Agung Abu Sa’id Kau Kaburi
bin Zainuddin Ali bin Bakitkin, seorang raja negeri Amjad.
Dan ini diikuti oleh
Syaikh Muhammad bin Abu Ibrahim Alu Syaikh:
“Bid’ah peringatan Maulid Nabi ini, pertama
kali diadakan oleh Abu Sa’id Kau Kaburi pada abad ke-6 H”
Syaikh Hamud Tuwaijiri:
“Upacara peringatan maulid adalah bid’ah dalam
Islam yang diadakan oleh sulthan Irbal pada akhir abd ke-6H atau pada awal abad
ke-7H.”
Al Ubaidiyyun memasuki Mesir 362H dan raja
terakhirnya Al Adhid meninggal 567H, sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549H
dan meninggal 630H, ini menjadi bukti bahwa kelompok Ubadiyyun lebih dahulu
daripada penguasa Irbal -Al Malik Al Mudzaffar- dalam mengadakan upacara
peringatan maulid Nabi.
Bukan tidak sah
mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang pertama kali mengadakan
Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan Al Ubaidiyyun diadakan di negeri
sendiri -Mesir, seperti yang dijelaskan dalam buku-buku sejarah. Wallahu a’lam.5
- Maulid Nabi tidak di bolehkan
Jutaan umat Islam di
seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahun,
memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin saling memberi ucapan
selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk peringatan tersebut,
bahkan penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang beragam dan melimpah,
sesuai kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.
Waktu berjalan,
peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di kalangan pejabat, raja dan
pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do’a-do’a keberkahan,
bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al Qur’an, orasi dan pidato politik.
Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid
Nabi bermula ?
Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan
dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati
maulid ini?
Pertanyaan-pertanyaan
yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap tahunnya. Bersamaan
dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga
dengan para sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi pilihan.
- Tradisi Fathimiyyah
Sumber-sumber sejarah
menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah putri Nabi,
mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan peringatan
hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara
besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati
kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait”
Nabi saw.
Inilah kenyataan
sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak peringatan Nabi, dan
memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya.
Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang hidupnya,
begitu juga para sahabat dan tabi’in.
وهو القائل صلى الله عليه وسلم: “من أحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”
“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam
urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya
tidak termasuk dari ajaran Islam.
Para penentang
perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika masa
Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran syi’ah.
Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus
da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta
keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan
hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara
sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain
Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan
maulid Nabi semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau
di belahan dunia lainnya.
- Mengapa Kita Tidak Memperingati ?
Dalam sudut pandang
yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al Maliki Al Husni, seorang ahli fiqh,
memandang bolehnya memperingati maulid Nabi dengan diisi kegiatan yang
bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw dan memperdengarkan pujian-pujian
terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan
terhadap umat Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya pengkhususan
peringatan pada malam hari tertentu, karena itu termasuk katagori bid’ah yang
tidak ada dasarnya dalam agama.
Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau
mengagungkan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu,
atas nikmat diciptakan dirinya dimuka bumi dengan membawa misi rahamatan
lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika
Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam
setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim, (ذلك يوم فيه ولدت). “Itu hari, saya dilahirkan.”
Terkait bahwa para sahabat
dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husni mengatakan, “Apa yang tidak
dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi
bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan
aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i menjadi wajib
hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya
haram.”
Menurut padangan Dr. Al Husni, jika
memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan,
karena di dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan
fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa manfaat.
1.
Tergantung Kegiatan
Sebagian ulama
mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur dengan bid’ah dan
kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada
hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih
mashalahat.”
Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin
Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian ada yang malah menganjurkan, seperti
Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani, namun mereka mengingkari
praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka ini bersandar pada
firman Allah swt, {وذكرهم بأيام الله} “Dan
ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”
Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh
‘Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya memperingati
maulid Nabi dengan syarat.
Fatwa itu tertuang
sebagai berikut, “Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di mana beliau
dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya. Setiap mukmin
hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala, mengutamakan amal.
Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah swt atas
pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang memberi
petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa kelestarian. Namun dengan
syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara khusus. Bahkan dengan lebih
mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang disyariatkan, mengenalkan
manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak keluar dari koridor
syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara hukum, seperti ikhthilat
atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang tidak
ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang
dikatagorikan bid’ah adalah tawasul terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai
dengan ajaran agama dan bertentangan dengan adab.
Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan
seperti di atas, maka yang diutamakan adalah mencegah kerusakan sebagaimana
kaidah ushul. “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat.”
Namun jika hal-hal
positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan, maka tidak ada larangan
memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai
kemampuan.” Allahu ‘alam
BAB III
PENUTUP
2.
Kesimpulan
Kesimpulannya adalah
bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah ta’ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk dari
ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan
perkara baru pada agama Allah (bid’ah) yang bukan syari’at-Nya. Oleh karena itu
peringatan maulid Nabi r termasuk bid’ah dalam agama dan termasuk yang
diharamkan.
Kemudian kita
mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi terdapat
kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar’i, indera maupun
akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung
pengkultusan terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi
pengagungannya kepada Allah ta’ala –kita berlindung kepada
Allah dari hal ini-.
Dan juga kita
mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara
peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid
(kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa
r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah
r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan
ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.
Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri
untuk menghormati kedatangan ruh Nabi r, karena Rasulullah r merasa enggan
(tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal
kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi
yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan
mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah r dengan perbuatan
tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah r masih hidup,
lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau
meninggal dunia?.
Bid’ah ini, maksudnya
adalah bid’ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun waktu
yang terbaik (masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). sesungguhnya
Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang
terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta
menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.
3.
Saran – saran
Implementasi dari
syahadat Laa Ilaa illalloh adalah tauhid yaitu menunggalkan (mentauhidkan)
Alloh di dalam peribadatan dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,
baik di dalam Rububiyah, Uluhiyah an asma’ wa shifat-Nya. Adapun konsekuensi
dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah, mentauhidkan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Sallam di dalam ittiba’ (peneladanan) dan tidaklah mengamalkan suatu
ibadah melainkan sebagaimana yang dituntunkan oleh beliau ‘alaihis Sholatu was
Salam.
Rasulullah sendiri
menyatakan bahwa amalan bid’ah itu tertolak, walaupun yang mengamalkannya
ikhlas lillahi Ta’ala, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Sebagian salaf
bahkan mengatakan, bahwa amalan bid’ah itu lebih dicintai syaithan daripada
maksiat, karena orang yang bermaksiat dia faham bahwa dirinya dalam kesalahan
sehingga diharapkan ia dapat bertaubat. Sedangkan orang yang mengamalkan
bid’ah, menganggap apa yg ia lakukan adalah baik sehingga sulit baginya
bertaubat.
Islam itu agama
sempurna dan wajib atas kita mengamalkannya secara kaafah. Kita wajib
mengingkari kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan seluruhnya. Bukannya kita
hanya mengingkari kemaksiatan, namun ridha dan mendiamkan dosa yang lebih
besar, yaitu syirik (yg tidak diampuni Alloh) dan bid’ah (yang dinyatakan sesat
oleh Rasulullah).
Ummat Islam akan maju apabila umat ini mau kembali kepada agama sebagaimana yang dibawa oleh para pendahulu mereka yang shalih. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullahu, “Tidak akan sukses keadaan ummat ini melainkan kembali sebagaimana suksesnya salaf shalih terdahulu”.
Ummat Islam akan maju apabila umat ini mau kembali kepada agama sebagaimana yang dibawa oleh para pendahulu mereka yang shalih. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullahu, “Tidak akan sukses keadaan ummat ini melainkan kembali sebagaimana suksesnya salaf shalih terdahulu”.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
- http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-172.htm
- http://www.box.net/encoded/6870461/67171703/226a37b841e29f599bfb2
- Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah –
- Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
- Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany