Thursday, July 30, 2015

MANUSIA DAN BADAN(NYA)

Manusia adalah makhluk yang berbadan. Manusia menjadi sadar, karena badannya. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya. Ia melihat dirinya dan barang-barang, menempatkan diri, mengerti ini dan itu, berjalan, bertindak dan sebagainya. Cacat dala badan akan mengurangi kesadarannya, jika cacat itu merusak seluruh keindraannya, manusia tidak bisa mengerti dunianya. Jadi berkat badannya ia bisa menjalankan dirinya.
Lalu bagaimana kita harus memandang badan?
Yang pertama : jangan mengatakan badan dan jiwa. Kita tidak memandang badan dan jiwa, sebab subyek pengalaman adalah dia-sendiri juga. Saat kita mengatakan AKU, yang dimaksud bukanlah badan dan juga bukan jiwa. Manusia tidak sadar dengan jiwa, melainkan tentang AKU. Jika ia menguraikan kesadarannya, ia berkata tentang aku dan badan (bukan jiwa). Ia berkata: aku sakit atau badanku sakit.
Dalam pengalaman sehari-hari, manusia mengalami diri dan barang-barang sebagai subyek. Subyek yang berdiri sendiri, yang mengambil tempat (posisi) dan sikap, menghadapi sesuatu. Yang dihadapi adalah diri sendiri dan realitas. Ia menghadapi sesuatu, dengan demikian mempunyai daya, kemampuan. Barang materi dan hewan tidak mampu melakukan itu. Maka kemampuan itu kita sebut kemampuan rohani. Dengan kemampuan itu ia berdiri sendiri, bisa menghadapi diri sendiri dan hal lain dengan sadar. Kemampuan itu bisa juga kita sebut dengan sifat. Untuk itu kita katakan manusia bersifat rohani.
Seluruh subyek manusia bersifat rohani. Rohani itu tidak berada di dalam. Lihatlah mata manusia, berbedà dengan mata hewan (tatapannya). Lihatlah wajah manusia, berbeda dengan wajah monyet. Itulah yang disebut dengan "gestalt' manusia. Dalam semua itu tampaklah kerohaniannya.
Manusia juga bersifat jasmani, artinya materi. Ia punya bobot, berdarah dan berdaging, bisa dilihat secara anatomis. Kesenangannya, bahagianya, tidak lepas dari barang materi. Pikiran juga berkecimpung dalam materi. Dalam hal ini bisa kita katakan seluruh manusia itu adalah jasmani juga.
Seluruh manusia adalah jasmani, seluruh manusia adalah rohani. Kesatuan itu disebut kesatuan jasmani-rohani. Jasmani-rohani bukanlah dua bagian karena keduanya menyeluruh. Ada aspek rohani dan ada aspek jasmani.Kita adalah badan dan jiwa. Jiwa adalah prinsip rohani dan badan adalah prinsip jasmani. Pandangan badan-jiwa bisa salah jika memandang keduanya sebagai prinsip tersendiri. Dalam realitas yang ada bukan badan atau jiwa, tetapi manusia yang mempunyai aspek rohani dan aspek jasmani. Harus dipahami benar bahwa ketika kita mengatakan badan, pengertiannya adalah aspek jasmani. Tetapi tidak boleh dipandang sebagai unsur yang berdiri sendiri.
BEBERAPA PANDANGAN
1. Pandangan idealis tentang badan.
Menurut pandangan ini, badan hanyalah sinar dari roh. Roh adalah seperti listrik dan badan adalah cahayanya. Badan dan roh tidak pernah bertentangan. Tetapi badan tidak ada, yang ada adalah roh.
2. Pandangan materialis.
Yang ada hanyalah badan, habis perkara. Pandangan ini tidak ralistis, sebab pada manusia ada hal-hal yang tidak hanya diterangkan berdasarkan atas materi semata. Manusia mengalami suka, duka, dan kemampuan memandang diri (dan realitas).
3. Pandangan yang mengatakan badan adalah musuh roh.
Antara badan dan roh ada pertentangan dan hanya melulu pertentangan antara keduanya. Badan selalu dianggap lebih rendah dan selalu menarik ke bawah, ke arah yang jahat.

PESIMISME VS OPTIMISME

Dunia ini adalah dunia paling buruk yang pernah diciptakan Tuhan (Schopenhauer). Dunia ini adalah dunia paling baik yang pernah diciptakan Tuhan (Leibniz). Kedua pandangan tadi mewakili pandangan pesimisme dan optimisme dalam pemikiran Filsafat. Apakah kedua pendapat tadi benar atau tidak, adalah soal lain. Tetapi sejak itu istilah pesimis dan optimis mulai terkenal melalui Filsafat. Satu hal yang pasti adalah para filsuf lupa bahwa Tuhan itu rahasia yang tak termasuki, dan Filsafat (Ketuhanan) adalah "sekedar" Filsafat belaka, tidak banyak tahu tentang Tuhan.
Kiranya yang perlu diingat adalah pesimisme dan optimisme bukan satu-satunya pendekatan untuk mengkaji thesis tentang Tuhan. Kita dapat menggunakan keduanya sebagai sebuah sikap, dan itu kiranya lebih tepat. Pertanyaannya adalah mengapa orang tertentu cenderung pesimis dan orang lain ke arah optimis dalam menghadapi realitas yang sama?
Menjelang akhir abad ke-19, Charles Darwin memasukkan gagasan baru ke dalam pemikiran barat bahwa manusia berasal dari hewan. Sontak pada saat itu banyak orang terhina dan pesimis bahwa ternyata manusia tidaklah luhur lagi. Pada saat itu teori evolusi dianggap berhasil membuktikan tidak adanya Tuhan. Beberapa puluh tahun kemudian seorang Yesuit Perancis de Chardin justru mendasarkan teisme dan keimanannya tentang rahasia-rahasia segala makhluk dalam perspektif teori evolusi. Berdasarkan teori yang persis sama itu, diambil kesimpulan apabila terdapat begitu banyak kemajuan yang terjadi pada makhluk hidup, tentu manusia akan menuju pada kesempurnaan yang lebih tinggi.
Demikianlah pandangan optimisme, pesimisme, teisme, antiteisme, bisa saja bertitik-tolak pada hal yang sama.

Filsafat Manusia

Badan dan Jiwa tidak bisa dipisahkan, tetapi yang nampak adalah AKU, sebuah persona, sebuah pribadi. Manusia bicara tentang diri sendiri. Dalam berbicara ini dia berkata tentang jiwa dan badan, karena dia menangkap aspek jasmani dan rohani pada dirinya atau akunya.
Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (di dalam) dan badan juga, tetapi kelihatan. Pikiran tentang badan dan jiwa adalah keliru, yang benar adalah aku ini rohani ya jasmani. Badan adalah bentuk konkrit dari jasmani, atau bentukku sepanjang aku ini makhluk jasmani. Tetapi yang ada bukanlah badan, yang ada adalah aku dan badan adalah aku dalam bentuk jasmaniku. Badan adalah aku dalam kedudukanku sebagai makhluk jasmani, wujudku sebagai makhluk jasmani.
Jelasnya adalah badan bukanlah sesuatu yang ada padaku seperti sepatu dan baju, bukan sesuatu yang menempel padaku. Badan adalah unsur diriku, unsur aku-ku. Jika saya mengatakan aku, di situ sudah termuat badanku.
Samakah aku dengan badan? Tidak, sebab aku bisa mengatakan badanku. Badan bisa dipandang sebagai milik, tetapi tidak sama dengan sepatu dan baju. Sekali lagi, badan termuat dalam aku. Aku sebagai makhluk jasmani berupa badan.
Ada sedikit kesamaan antara aku dan badan. Badan adalah aku, sepanjang aku ini adalah makhluk jasmani yang konkrit. Badan sama dengan aku sepanjang aku berwujud jasmani. Yang terlihat adalah aku melalui badanku.
Badan adalah caraku nampak, jadi tidak sama dengan aku, dalam hal ini badan juga menjadi perintang dalam caraku nampak. Badan membatasi penampakanku, aku sebagai manusia tidak nampak seluruhnya dengan badanku. Bisa juga dikatakan badanku merupakan ekspresiku, karena badan merupakan cara penampakanku. Jika orang melihat badanku, maka orang itu melihat aku. Manusia sadar akan badannya, dia berkata, awakku lagi susah. Yang susah bukan badannya, tapi seluruh manusia.
Antara aku dan badan ada kesatuan, tetapi ada jarak juga. Aku bisa menyembunyikan diriku di belakang badanku. Aku bisa pura-pura marah dan berkata manis, tetapi menipu. Jika badanku sakit, aku memang sakit, tetapi belum tentu malang atau celaka. Badanku bisa tak berdaya, tetapi aku masih bisa berpikir.
Bolehkah badan disbeut alat? Boleh. Bolehkah dikatan, aku punya badan? Boleh. Akan tetapi badan tidak sama dengan sepatu dan baju. Jika saya mengatakan "aku ada", maka milik saya tidak termuat (sepatu dan baju), tetapi badanku termuat. Aku ada, berarti aku manusia, berbadan, tetapi belum tentu berbaju dan bersepatu.

ANTARA WAHDATUS SYUHUD DAN MANUNGGALING

Waktu mengikuti kuliah Filsafat Manusia pak Damardjati Supajar (1987), pada bab mengenai roh beliau memberi semacam rambu atau wacana jika hendak merefleksikan tentang Tuhan. Rambu itu adalah dimensi titik-garis-bidang-ruang-pribadi-Pribadi.
Garis adalah jarak antara dua titik, tetapi berapapun banyaknya titik, ia tetap tidak akan menjadi garis karena dimensinya berbeda. Bidang terdiri dari beberapa garis, tetapi berapapun banyaknya garis, ia tetap tidak akan menjadi bidang karena dimensinya berbeda. Ruang terdiri dari beberpa bidang, tetapi berapapun banyaknya bidang, tetap tidak akan menjadi ruang karena dimensinya berbeda. Sebagai pribadi, manusia terdiri dari berbagai ruang, tetapi berapapun banyaknya ruang, ia tetap tidak akan menjadi pribadi. Seunggul-unggulnya pribadi, ia tetaplah pribadi dan tak akan pernah bisa menjangkau Pribadi (dengan P huruf besar).
Sampai di sini, apakah akal manusia tidak bisa menjangkau keberadaan Tuhan? Saya tetap berpandangan bahwa kita bisa berbicara tentang Tuhan, artinya akal mampu, setidaknya mampu menetapkan apa yang dapat dikatakan tentang Tuhan dan apa yang tidak dapat dikatakan. Dalam hal ini bukan berarti akal hendak membuktikan adanya Tuhan, tetapi membuktikan bahwa ada dasar yang kuat untuk percaya. Dengan demikian akal membuka ruang untuk iman. Yang perlu diingat adalah Tuhan tidak dicipakan oleh akal manusia, melainkan ditemukan oleh akal, sebab Tuhan sudah selalu di sana, tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya.
Kembali pada dimensi titik garis tadi, ketika kita secara berurutan menangkap titik-garis-bidang-ruang dalam akal kita, apakah terpikirkan juga di mana titik-garis-bidang-ruang itu menampak? Tentu saja titik-garis-bidang-ruang menampak pada suatu (katakanlah) bidang. Pada saat itu saya mengambil kesimpulan bahwa seluruh jagad raya ini berada di dalamNya. Dalam bahasa Eksistensialsme, Tuhan adalah sesuatu yang melingkupi. Dalam jenis kepercayaan disebut panteisme.
Persamaan panteisme dan monisme adalah bahwa segala sesuatu adalah tunggal adanya. Perbedaannya, dalam monisme Tuhan terlebur dalam dunia. Dunia merupakan ada yang tunggal dan mutlak. Karena sifatnya yang mutlak itu, maka dunia masih dapat disebut dengan nama Tuhan. Sedangkan dalam panteisme, dunia melebur dalam Tuhan. Dunia merupakan bagian dari hakikatNya.
Pertanyaan "Apakah Tuhan ada?" dan "Bagaimana Tuhan?", oleh agnotisisme tidak dijawab. Oleh ateisme disangkal. Oleh monoteisme (Yahudi, Kristen, ISlam), dijawab sedikit. Oleh monisme-panteisme dijawab secara penuh. Monisme-panteisme terlalu banyak mengetahui tentang Tuhan, dan Tuhan tidaklah sungguh-sungguh transenden.
Lalu di manakah keberadaan Tuhan? Dalam monoteisme-islam, inilah yang dilakukan para sufi, dengan tasawufnya mereka mencari titik wahdatus syuhud, kesatuan dalam penyaksian. Meskipun antara Tuhan dan manusia berada dalam satu titik, tetapi tetap ada yang menyaksikan dan yang disaksikan. Semanunggal-manunggalnya antara manusia dan Tuhan, tetap ada jarak yang tak terjembatani antara keduanya. Tuhan ya Tuhan, manusia ya manusia.
Konsep wahdatus syuhud ini diserap oleh pandangan kebatinan orang jawa menjadi manunggaling kawulo gusti Syekh Siti Jenar. Melalui pandangan panteistik inilah kepercayaan jawa bisa menyerap agama Islam. Dan sebaliknya agama Islam bisa tumbuh subur di Jawa.
Secara kasar dapat dikatakan bahwa dalam Islam, Tuhan bersifat person dan bersinggasana di arsy-nya dan tetap transenden. Sedangkan dalam panteisme, manusia dan Tuhan melebur jadi satu, seluruh kosmos itu illahi, Tuhan tidak lagi transenden.

TASAWUF

[ Seri Tasawuf ]
Kerendahan hatimu mengatakan, "pantaskah aku untuk masuk ke dalam pintu makrifat, sedangkan amal ibadahku belum mencukupi?".
Ketika salah satu pintu makrifat terbuka untukmu, jangan berkecil hati karena sedikitnya amal ibadahmu. Jika Allah berkehendak membuka pintu makrifat untukmu, bersiaplah melihat kebesaran dan kemahadahsyatan-Nya dan sifat-sifat Allah lainnya.
"Apabila engkau dibuka oleh Allah dengan suatu pintu makrifat, janganlah berkecil hati karena sedikitnya amal ibadah. Sesungguhnya Allah ingin membuka hatimu, karena Ia hendak memperlihatkan kebesaran-Nya kepadamu. Ketahuilah, sesungguhnya makrifat itu datangnya dari Allah, sedangkan amal ibadah itu darimu. Maka lebih baik mana antara sesuatu yang datang dari Allah dengan yang datang darimu?" ( Al-Hikam, pasal: 8 )

Manusia dan Realitas

saat seseorang berbicara, ia menggunakan bahasa. bahasa mempunyai struktur yang harus ditaati oleh subjek/individu yang berbicara. jika tidak, maka ia tidak akan pernah dimengerti, baik oleh dirinya sendiri apalagi orang lain. mungkinkah manusia menentukan sebuah bahasa? atau mempengaruhi sebuah bahasa?
bahasa, dalam perjalanannya selalu ada muncul istilah baru yang diciptakan oleh kelompok atau individu, tetapi saat ia sudah menjadi istilah yang dikomunikasikan, maka ia menjadi milik bersama, istilah itu tidak dapat lagi ditarik karena sudah menjadi bagian dari sistem, menyatu dalam struktur.
itu terjadi juga dalam realitas manusia, dalam kebudayaan. mungkinkan manusia merangcang sebuah kebudayaan?
di dalam berbahasa, struktur yang paling dominan bukanlah yang secara sadar kita gunakan seperti gramatikal, melainkan struktur yang tidak sadar dan menempatkan dirinya dalam kesadaran tanpa disadari. sebuah contoh adalah mitos ratu penguasa pantai selatan di tempat kelahiran saya Pelabuhan Ratu. "bukan bagaimana manusia memikirkan mitos-mitos, melainkan bagaimana mitos-mitos dipikirkan dari dirinya sendiri, dalam manusia" (Levi-Strauss). mitos ratu pantai selatan hidup di dalam kehidupan masrayakat pantai selatan. mitos-mitos dari suatu masyarakat membentuk pembicaraan (perilaku) masyarakat, tetapi pembicaraan itu tidak dilakukan oleh pribadi, tetapi sebaliknya mitos itu berbicara melalui pribadi.
tidak ada lagi subjek. objek tidak dihasilkan oleh subjek, melainkan subjeklah yang dihasilkan oleh objek sebagai sebuah sistem/struktur yang tidak berpribadi.untuk itu tidak dikatakan "saya berpikir", melainkan "ada sesuatu yang berpikir di dalam diri saya"
pengertian mitos di sini bukan hanya yang dimaksudkan cerita dongeng, cerita kuno, tetapi sebuah sistem nilai yang tanpa sadar membentuk pembicaraan pada masyarakat. sistem nilai yang kita anut saat ini juga ("sains", agama, politik) adalah mitos juga. kita hidup berdasarkan sebuah sistem, sebuah struktur yang terdiri dari subsistem-subsistem.
pertanyaan yang muncul adalah : apakah realitas fundamental manusia itu berbentuk kehadiran manusia pada dirinya sendiri melalui kesadaran, penguasaan diri melalui kebebasan, ataukah sebaliknya, apakah tingkat kesadaran itu tidak lain hanya semacam pemantulan saja, yang bersifat ilusi dari tingkat non-sadar yang mengandung kebenaran otentik tentang diri kita?
demikianlah
terjalin di bawah pandangan kita takdir manusia
namun hal itu terjalin secara terbalik
melalui alat-alat pintal yang aneh itu
takdir manusia dikembalikan kepada bentuk-bentuk kelahirannya
pada asal mula yang memungkinkan munculnya manusia
tetapi bukankah itu suatu cara untuk membawa manusia kepada kematiannya?

SURAT LAMARAN KERJA

Sukabumi . 17 Februari 2017 Perihal : Lamaran Kerja Lam     : - KepadaYth : Bapak/ibu Bagian Personalia/HRD PT.  ANGIN RI...