FIQH PENGELOLAAN ZAKAT : MEMBANGUN DESA PERADABAN
(Studi Kasus Pemberdayaan Zakat pada BAZIS Kab. Sukabumi)
ABSTRAK
Zakat
merupakan ibadah sosial yang berpengaruh bagi kesejahteraan hidup masyarakat
jika harta zakat dikelola dengan baik dan tanggung jawab oleh para pengelola
zakat profesional yang memahami fiqh pengelolaan zakat. Fiqh pengelolaan zakat
menguraikan tentang pemberdayaan harta zakat, cara pengambilan dan distribusi
zakat yang tepat sasaran. Dengan fiqh pengelolaan zakat akan mampu mewujudkan
pembangunan desa peradaban yang berdaulat, mandiri, memiliki daya saing,
berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan moral dan etika yang baik.
Pengelolaan dan pemberdayaan zakat harus difokuskan untuk pembangunan desa
peradaban, pendidikan orang-orang yang tidak mampu, pembangunan ekonomi
masyarakat, dan pembangunan ruhiyah dan rupiah masyarakat desa. Harta zakat
tidak hanya dibagikan kemudian habis dalam waktu sesaat. Harta zakat demikian
hanya bersifat konsumtif, padahal makna asli dari zakat adalah tumbuh atau
berkembang yakni harta itu terus tumbuh dan berkembang layaknya sebuah pohon
yang senantiasa memberikan buah kepada pemiliknya.
Kata Kunci, Fiqh
Pengelolaan zakat, desa peradaban, harta zakat
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama yang memberikan solusi bagi kehidupan manusia, karena di dalamnya
terkandung ajaran yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, jasad dan
ruhnya, akal dan dan qalbunya, fisik dan psikisnya. Ajaran-ajaran tersebut
harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan manusia, sehingga sempurnalah
kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya duniawi dan ukhrawinya.
Diantara
ajaran Islam adalah zakat. Menurut Yusuf Qardhawi[2] bahwa
zakat adalah ibadah sosio-economy yang memiliki posisi
yang sangat penting, strategis, dan menentukan baik dari sisi doktrin Islam
maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat. Program zakat ini ini tidak hanya
menuntut seorang muslim untuk mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya,
tetapi menuntut agar kehidupan ini menjadi seimbang antara si kaya dan si
miskin. Harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan tertentu saja, tetapi
harus merata pada setiap manusia apapun profesi mereka. Bahkan zakat diyakini
akan mampu membangun sebuah masyarakat peradaban yang memiliki kesadaran yang
tinggi akan hak dan kewajibannya, masyarakat yang peduli terhadap sesama dan
masyarakat yang tinggi loyalitas dan kinerjanya. Inilah yang menjadi salah satu
program Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) Kab. Sukabumi atau bahkan
menjadi program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Desa
peradaban adalah gambaran masyarakat yang telah dibangun oleh Rasulullah saw
bersama para sahabatnya, mereka memiliki sikap yu’tsiruna ‘ala anfusihim walau
kana bihim khasasah yakni mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain
daripada diri mereka sendiri meskipun diri mereka amat sangat memerlukan.
Mereka adalah masyarakat yang Allah ridha terhadap mereka begitu pun mereka
ridha terhadap-Nya. Mereka menyadari bahwa hidup ini harus saling berbagi,
saling mencintai dan saling tolong-menolong. Itulah gambaran masyarakat
peradaban yang sangat didambakan oleh masyarakat hari ini.
Membangun
masyarakat peradaban tidak perlu bergantung kepada dana utang luar negeri yang
bunganya bisa jauh lebih besar dari utangnya, dan juga tidak bergantung kepada
pihak-pihak asing yang hanya mencari keuntungan buat negeri mereka, sehingga
masyarakat kita menjadi asing di negerinya sendiri, menjadi budak dan teraniaya
di negerinya sendiri. Kita dapat saksikan masyarakat kita yang datang ke luar
negeri mayoritas menjadi budak/pembantu, tetapi sebaliknya mereka (orang asing)
datang ke negeri kita justru menjadi Bos atau penguasa di negeri kita.
Membangun
desa peradaban dari zakat sangat potensial. Menurut Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) bahwa potensi zakat umat Islam Indonesia dapat mencapai 19,3 triliun
rupiah. Sebuah angka yang cukup signifikan di tengah keterpurukan ekonomi
Indonesia. Berbagai sektor perekonomian yang mampu menghasilkan zakat cukup
besar yakni pertanian, perkebunan, perniagaan, investasi, maupun simpanan
berupa emas, perak, atau deposito.
Dengan
pengelolaan zakat akan mampu mewujudkan pembangunan desa peradaban. Pembangunan
desa peradaban adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan guna meningkatkan kondisi yang lebih baik dan kondusif,
terwujudnya kehidupan masyarakat yang berdaulat, mandiri, memiliki daya saing,
berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan moral dan etika yang baik.
Tidak ada cara lain untuk bangkit mewujudkan desa peradaban selain kembali
kepada program-program ilahiyah yakni dengan memahami kembali fiqh zakat.
Program
zakat akan menjadi solusi bagi negeri yang sedang terpuruk jika program zakat dipahami
dan diimplementasikan. Pengelolaan dan pemberdayaan zakat harus difokuskan
untuk pembangunan desa peradaban, membangun pendidikan orang-orang yang tidak
mampu, membangun ekonomi masyarakat, mencerdaskan dan membangun ruhiyah dan
rupiah masyarakat desa.
Pentingnya
program zakat ini terhadap pembangunan desa peradaban, pemerintah telah
mengatur pengelolaan zakat melalui undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat. Keberadaan UU tersebut diharapkan mampu memberikan pengaruh
positif bagi pengelolaan zakat.
Zakat pun kini semakin
menunjukkan perannya yang semakin strategis. Bahkan, zakat saat ini telah
dianggap mampu sebagai solusi atas permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia dalam pembangunan ekonominya, yaitu kemiskinan dan pengangguran.
Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak untuk menyukseskan
pembangunan ekonomi umat berbasis zakat di seluruh daerah Indonesia.
Zakat
yang akan membangun desa peradaban adalah zakat yang dikembangkan dan dikelola
dengan baik dan penuh tanggung jawab. Karena itu, diantara orang yang berhak
menerima zakat adalah amilin (pengelola zakat). Sebagai pengelola zakat
tentunya adalah seorang yang memahami bagaimana zakat yang dikelolanya
memberikan manfaat besar bagi kehidupan para mustahiq. Harta zakat tidak
hanya dibagikan kemudian habis dalam waktu sesaat, dan mengharapkan kembali
untuk diberi harta zakat. Harta zakat demikian hanya bersifat konsumtif,
padahal makna asli dari zakat adalah tumbuh atau berkembang yakni harta itu
terus tumbuh dan berkembang layaknya sebuah pohon yang senantiasa memberikan
buah kepada pemiliknya.
Menurut
sejarah bahwa syariat zakat bertujuan antara lain memelihara manusia dari
kehinaan dan kemelaratan, menguatkan persatuan dan kesatuan umat manusia, membantu
memperlancar tugas-tugas untuk kepentingan umum atau masyarakat luas, membersihkan
kekayaan dalam arti secara nyata menunaikan fungsi sosial dari harta kekayaan, menolong
orang-orang berhutang yang tidak mampu membayar untuk mengurangi ketegangan dan
perselisihan di dalam masyarakat, mengurangi terjadinya akumulasi kekayaan pada
beberapa orang/kelompok dan membersihkan dari sifat rakus dan kikir
Tercapainya
tujuan syariat zakat tersebut akan menghilangkan fenomena masyarakat yang
mengantri dalam pembagian zakat, mengurangi tindakan kriminalitas karena
pengangguran, dan menghilangkan kebodohan karena tidak mampu membayar biaya
pendidikan.
Ketidakberhasilan
program zakat dalam membangun desa peradaban dan mengatasi kemiskinan sangat
dipengaruhi oleh kurang pemahaman terhadap zakat dan pengelolaannya. Padahal,
Islam telah memotivasi umatnya untuk menggunakan ijtihad dengan akalnya dalam
mengembangkan dan memberdayakan program zakat yang menjadi syari’at Ilahi ini.
Zakat bukanlah sekedar kewajiban yang tidak memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia, tetapi justru zakat mampu membangun masyarakat madani, masyarakat
berperadaban, masyarakat yang bertanggung jawab, masyarakat unggul dan
masyarakat berpengetahuan, serta masyarakat yang bermartabat.
Dengan
demikian, zakat dan pengelolaannya perlu dikembangkan dan diperdayakan melalui fiqh
pengelolaan zakat sehingga terbentuk masyarakat madani yang diharapkan dari
syariat zakat tersebut. Karena itu, penulis mengambil judul “Fiqh Pengelolaan
Zakat : Membangun Desa Peradaban (Studi Kasus pada BAZIS Kab. Sukabumi).
PEMBAHASAN
A.
Profil
Bazis Kab. Sukabumi
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Sukabumi memiliki
tekad bersama kaum muslimin Kab. Sukabumi untuk mewujudkan masyarakat zakat
dengan program-program sebagai berikut:
Visi : Mewujudkan Perubahan BAZNAS Kab. Sukabumi menjadi Lembaga
yang Amanah dan Profesional menuju Kabupaten Sukabumi sejahtera.
Misi : Menumbuhkembangkan zakat sebagai basis ekonomi syariah yang
berorientasi pada kerakyatan/keumatan.
Memiliki program-program unggulan sebagai berikut:
1.
Program
Produktif Sukabumi Sejahtera, melalui:
a.
Desa
Peradaban Zakat di 5 kecamataan. KUM3.
b.
Program
Bangkit Usaha Mandiri Sukabumi (BUMI)
c.
Bantuan
Mustahik di lingkungan PNS
d.
Program
Qardun Hasan PNS
e.
Program
Pengembangan Usaha Bergulir Masyarakat Miskin.
2.
Program
Pendidikan Sukabumi Cerdas, melalui:
a.
Bantuan
Santri Khusus
b.
Pendidikan
kader Ulama
c.
Bantuan
Pendidikan Siswa SMA yang tidak mampu
d.
Bantuan
Mahasiswa tidak mampu
e.
Bantuan
insentif Guru Madrasah Diniyah melalui FKDT Kab. Sukabumi.
3.
Program
Kesehatan Sukabumi Sehat
a.
Bantuan
Kesehatan Rawat Inap Masyarakat Tidak Mampu
b.
Program
Khitanan Masyarakat Tidak Mampu
c.
Pelayanan
Ambulance
d.
Pembangunan
Rumah Jompo Binaan
e.
Rumah
Singgah Muallaf.
4.
Program
Sukabumi Taqwa
a.
Penanganan
Pekat di Citepus dan Ujung Genteng
b.
Gerakan
memakmurkan Masjid
c.
Bantuan
Pendidikan Kader Ulama
d.
Bantuan
Sarana Keagamaan
e.
Bantuan
Alim Ulama Pondok Pesantren
f.
Bantuan
Lembaga Keagamaan
g.
Penanganan
dan Pembinaan Muallaf
5.
Program
Sukabumi Peduli
a.
Bantuan
Bencana Alam
b.
Pembrantasan
dan Penanganan Korban Rentenir
c.
Pembangunan
Rumah tidak layak Huni
d.
Santunan
Khusus Masyarakat Miskin di Daerah Binaan
e.
Rumah
Singgah Muallaf
B.
Fiqh
Pengelolaan Zakat
1.
Syariat
Islam tentang Pengelolaan Zakat
Zakat adalah salah satu rukun dari rukun-rukun
Islam yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam sesuai dengan dalil dari
al-Qur’an dan Sunnah, dan Allah telah menyebut zakat berbarengan dengan shalat
di 82 tempat di Al-Qur’an, bukti dari keagungan perkaranya, dan zakat mempunyai
ikatan yang kuat dengan shalat, sampai Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq berkata:”
Akan aku perangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat”. Dalil
kewajiban zakat adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan kerjakanlah shalat dan tunaikanlah
zakat”(Al-Baqarah : 110)[3].
Kata zakat disandingkan dengan kata shalat
memiliki arti menurut Ibnu Katsir[4] bahwa shalat
adalah hak Allah yang mencakup pengesaan, penyanjungan, pengharapan, pemujian,
pemanjatan doa serta tawakkal. Sedangkan zakat merupakan amal baik kepada
sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada merekaa.
Juga didasarkan kepada Hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah
bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan
orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fituah
tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat ‘Id (hari Raya)”
(Hadits Muttafaq
‘Alaih).
Kewajiban zakat itu sendiri mewajibkan adanya
pengelolaan zakat yang bertanggung jawab sehingga hikmah syariat zakat itu
dapat dirasakan oleh masyarakat di negeri ini. Kewajiban untuk mengelola zakat
terdapat dalam firman Allah swt :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengelola
zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60).
Berdasarkan ayat tersebut bahwa ‘amilin
(para pengelola) termasuk bagian dari penerima zakat ketiga setelah fakir dan
miskin. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan dan pemberdayaan zakat sangat
penting sama pentingnya dengan perintah zakat itu sendiri. Berdasarkan kaidah
fiqh menunjukan, ma la yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Zakat
adalah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali melalui para pengelola zakat,
maka hukum pengelolaan zakat adalah wajib.
Adapun tugas para pengelola zakat menurut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada pasal 1
berbunyi bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Berdasarkan undang-undang tersebut, tugas para pengelola zakat meliputi:
a.
Perencanaan; pada tahap ini para pengelola
zakat merencanakan program-program zakat yang diawali dengan sosialisasi zakat
kepada masyarakat, mendata jumlah muzakki dan jumlah mustahik yang berhak
menerima harta zakat.
b.
Pelaksanaan; pada tahap ini para pengelola
zakat melakukan kegiatan inti yang meliputi pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat.
c.
Pengoordisian; pada tahap ini para pengelola
zakat melakukan koordinasi kepada pihak-pihak yang bisa diajak untuk
mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai potensi untuk meninggikan taraf
hidup masyarakat, seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga-lembaga formal
dan non formal, lembaga-lembaga keuangan dan lain sebagainya.
2.
Ketentuan
Harta Zakat
Syariat zakat terkait dengan harta. Harta didefinisikan sebagai
sesuatu yang memiliki ketertarikan oleh semua umat manusia untuk dimilikinya
atau memiliki nilai tukar finansial. Dengan demikian semua yang dimiliki dan
memiliki nilai finansial adalah bagian dari harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
Berdasarkan fiqh zakat bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
meliputi emas, perak, hewan ternak yang meliputi unta, sapi, kambing/domba,
hasil pertanian, hasil perdagangan dan harta temuan (rikaz).
Di zaman modern ini, harta-harta tersebut sangat sedikit para agniya
yang memilikinya kecuali emas atau perak, mereka lebih cenderung memiliki rumah
atau toko untuk disewakan, memiliki mobil yang tidak sedikit, dan harta yang
disimpan di bank-bank yang jumlahnya sangat banyak. Penghasilan mereka pun
bukan dari pertanian atau perdagangan tetapi dari profesi-profesi lain yang
berkembang di dunia modern ini seperti dokter, pengacara dan lain sebagainya.
Harta-harta seperti inilah yang para ulama harus berani berijtihad dalam
mewajibkan untuk mengeluarkan harta mereka.
Sayyid Quthub[5]
menyatakan, bahwa nash ini mencakup seluruh hasil
usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan
Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil
pertambangan seperti minyak. Karena itu, nash ini mencakup semua harta, baik
yang terdapat di zaman Rasulullah Saw. maupun di zaman sesudahnya. Semuanya
wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan
dalam sunnah Rasulullah Saw baik yang sudah diketahui secara langsung maupun
yang di-qiyas-kan kepadanya.
Berdasarkan pendapat di atas bahwa semua harta yang wajib dizakati
selain apa yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu, terdapat harta lain
yang juga menjadi wajib untuk dikeluarkan zakatnya:
Pertama, uang simpanan
di bank. Uang simpanan seperti uang kertas, cek, deposito atau sejenisnya[6]. Dengan
syarat pemilik sempurna bukan milik orang lain atau perusahaan lain. Kadar ukuran (nishab) zakatnya adalah nishab
emas yaitu 85 gram. Jika harta emas Rp. 400.000/gram. Maka nishab zakat uang
simpanan di bank adalah : Rp. 34.000.000,00 (Tiga puluh empat juta rupiah).
Maka wajib mengeluarkan zakatnya adalah 2,5 %. Dengan demikian seorang yang
memiliki harta simpanan di bank melebihi nishab tersebut maka wajib
mengeluarkan zakatnya pada masa haul sebesar 2,5% menjadi Rp. 850.000.00 (delapan
ratus limapuluh ribu rupiah).
Kedua, zakat profesi.
Zakat profesi jika diqiyaskan dengan pertanian, maka wajib dikeluarkan pada
setiap kali panen dan telah mencapai nishab sebanyak 750 kg. Jika harga beras
Rp. 8.000/kg. Maka nishab zakat profesi Rp. 6.000.000,00 (Enam juta rupiah).
Dengan demikian, jika setiap profesi memberikan penghasilan minimal Rp. 6. 000.000,00
(enam juta rupiah); maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5%. Yaitu :
Rp. 300.000 (tiga ratus ribu ruipah) setiap kali gajian.
Ketiga, zakat kendaraan.
Kendaraan yang wajib dizakati adalah kendaraan yang dimiliki lebih dari satu.
Adapun kendaraan yang digunakan tidak perlu dizakati seperti halnya emas yang
hanya untuk dipakai. Adapun kendaraan yang dimiliki lebih dari satu wajib
dikeluarkan zakatnya seperti nishab emas sebesar 2,5 % dari harga mobil.
Keempat, zakat
kontrakan[7].
Kontrakan merupakan rumah yang tidak ditempati oleh pemiliknya tetapi
ditempatkan oleh orang lain dengan harga sewa yang telah disepakati. Zakat
kontrakan dapat diqiyaskan dengan zakat pertanian yang apabila mencapai nishab
maka wajib dikeluarkan 5%. Nishab zakat kontrakan Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah) wajib dikeluarkan 5 %. Jika ada para pengusaha kontrakan
mendapatkan nilai rupiah kontrakan senilai Rp. 6000.000 (enam juta rupiah),
maka wajib dikeluarkan zakatnya adalah 5% yaitu Rp. 300.000 (tigaratus ribu
rupiah) setiap kali dibayarkan kontraknya.
Kelima, zakat bonus.
Bonus adalah harta yang tidak disangka-sangka, bonus ini bisa berupa harta
hadiah dari sebuah perlombaan atau undian yang dihalalkan. Zakat bonus ini
dapat diqiyaskan dengan harta rikaz. Nishab zakat rikaz serupa dengan nishab
emas dan wajib dikeluarkan zakatnya 20 %. Jika seorang mendapat bonus hadiah
sebesar Rp. 50.000.000,00 (limapuluh
juta rupiah) maka wajib dikeluarkan zakatnya adalah 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
3.
Mustahiq
Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat sudah ditentukan secara
jelas dalam syariat (QS. At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan
bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu : orang-orang fakir,
miskin, amil. Mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah,
dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal
menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau merubah
ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor.
Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik
seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena
alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen
yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.
Dari delapan kelompok penerima zakat di dalamnya terdapat 3 hak zakat
yaitu: 1) hak faqir miskin yang merupakan hak esensial dalam zakat karena Allah
telah menegaskan bahwa dalam harta kekayaan dan pendapatan seseorang ada hak
orang- orang miskin. 2) hak masyarakat yang karena harta yang didapat seseorang
sesungguhnya berasal dari masyarakat juga, terutama kekayaan yang diperoleh
dari perdagangan dan badan usaha, hak masyarakat harus dikembalikan lewat jalan
fi sabilillah. 3) hak Allah karena sesungguhnya harta
kekayaan seseorang adalah milik Allah, yang diberikan kepada seseorang untuk dinikmati dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
Meskipun ketetapan nash tersebut menjadi suatu kepastian, namun
delapan golongan tersebut harus masih perlu diijtihadi sebagai kriteria
kepastian sebagai berikut:
a.
Fakir, adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai
penghasilan (pekerjaan) yang layak untuk memenuhi kebutuhan makan, minum,
pakaian, perumahan dan kebutuhan primer lainnya,baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
b.
Miskin[8], adalah orang
yang memiliki harta atau mempunyai usaha yang layak baginya, tetapi penghasilannya
belum cukup untuk memenuhi keperluan hidup minimum bagi dirinya dan keluarga
yang menjadi tanggung jawabnya.
c.
Amil[9], adalah
orang-orang yang melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pendayagunaan zakat
termasuk para tenaga administrasi, pengumpul, pencatat, penghitung, pengelola
dan yang membagikannya kepada para mustahiq.
d.
Muallaf, adalah orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan agar
simpatik atau memeluk agama Islam atau untuk lebih memantapkan keyakinannya
pada Islam.
e.
Riqab, adalah pembebasan budak (hamba sahaya) atau segala kegiatan
yang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perbudakan di muka bumi.
f.
Gharimin, adalah orang-orang yang mempunyai hutang untuk
kemaslahatan dirinya sendiri dalam melaksanakan ketaatan dan kebaikan atau
untuk kemaslahatan masyarakat.
g.
Sabilillah, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh
perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakkan syi' ar agama atau
kemaslahatan umat.
h.
Ibnu Sabil adalah orang yang melintas dari satu daerah ke daerah
lain untuk melakukan perjalanan yang positif, kemudian kehabisan bekalnya bukan
untuk melakukan perbuatan maksiat tetapi demi kemaslahatan umum yang manfaatnya
kembali kepada masyarakat atau agama Islam
4.
Pengambilan
dan Distribusi Harta Zakat
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil sebagian harta
dari para agniya sebagai bentuk shadaqah yang memiliki fungsi mensucikan dan
membersihkan dan juga memerintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi mereka.
Berdasarkan ayat di atas bahwa terdapat etika dalam pengambilan
harta dari para agniya. Pertama, yang mengambil harta adalah Rasulullah
atau orang yang telah ditunjuk oleh beliau. Dalam hal ini adalah orang-orang
yang telah ditetapkan sebagai pengelola zakat. Sebab diantara tugas pengelola
zakat adalah mengambil harta dari para agniya. Dengan demikian, tidak
dibenarkan membagi-bagi zakat atau shadaqah dengan mengumpulkan orang-orang
(kaum fuqara dan masakin) untuk datang kerumah dan memberikan zakat kepada
mereka. Prinsip pembagian seperti ini dapat menjatuhkan harga diri seorang
fuqara dan masakin, sehingga inilah yang dilarang oleh Allah dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian membatalkan shadaqah kalian
dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan) mereka”. (QS.
Al-Baqarah:264).
Kedua, orang yang mengambil zakat (pengelola) hendaknya mendoakan
kebaikan bagi para agniya. Doa inilah yang membuat para agniya menjadi tenang,
sehingga mereka akan termotivasi untuk memberikan zakat dengan penuh kesadaran
tinggi.
Adapun distribusi zakat menurut Yusuf Qaradhawi yang mengutip
pendapat Imam Ghazali bahwa memberikan fakir miskin sejumlah nishab zakat,
memberikan fakir miskin kebutuhannya selama setahun, dan memberikan fakir
miskin kebutuhan selama sisa hidupnya. (Yusuf qaradhawi.2005:38).
Menurut Sayid Sabiq[10]
bahwa tujuan zakat adalah agar dapat mencukupi orang fakir dan memenuhi
kebutuhannya sehingga bisa mengubah status kefakirannya. Hal ini didasarkan
kepada sabda Rasulullah saw:
أغنوهم فى هذا اليوم
“Buatlah mereka kaya pada hari ini. (al-Hadis)
أغنوهم عن طواف هذا اليوم
“Buatlah mereka kaya agar tidak berkeliling (minta-minta ) pada
hari ‘Ied. (al-Hadis).
Meskipun dalil tersebut terkait dengan zakat fitrah, maka
seharusnya zakat mal (harta) pun distribusi zakat diupayakan dapat
menghilangkan kefakiran dan kemiskinan mereka seperti halnya orang yang
berutang dapat terbebas dari utangnya.
5.
Zakat
Produktif
Zakat secara bahasa adalah tumbuh atau berkembang. Berdasarkan kata
zakat ini menuntut bahwa harta zakat harus mampu ditumbuhkan dan dikembangkan
sehingga berdampak lebih luas bagi masyarakat dalam kehidupannya. Karena tujuan
dari zakat adalah mengangkat harkat dan martabat kaum fuqara dan masakin
kepada kehidupan yang layak.
Zakat produktif ini akan mampu membangun perekonomian negeri,
memberantas kemiskinan, menghilangkan kebodohan, dan menyiapkan masyarakat
untuk menjadikan tangan mereka selalu ada di atas (dermawan). Karena itu, harta
zakat tidak semata disalurkan dalam bentuk materi yang bisa langsung dinikmati
oleh para mustahik, mereka mendapatkan uang atau bahan makanan yang bisa
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tetapi juga mampu
menghilangkan kesulitan mereka dan mengangkat derajat kehidupan mereka menjadi
lebih baik.
Penyaluran zakat bukan dengan cara memberikan ikan yang bisa
langsung dimasak namun bagaimana mendayagunakan kail sehingga bisa mendapatkan
ikan yang lebih banyak. Peran inilah yang seharusnya menjadi ‘ruh’ dalam
menyalurkan zakat, yakni memberdayakan masyarakat. Itulah yang disebut dengan
zakat produktif.
Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat mengatur tentang zakat produktif sebagai berikut:
1.
Zakat
dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin
dan peningkatan kualitas umat.
2.
Pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif dimaksud dalam ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan
dasar mustahik sudah terpenuhi.
3.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana
diatur melalui peraturan menteri.
Harta
zakat dapat diinfestasikan dengan syarat bahwa kebutuhan primer orang-orang
fakir miskin telah dicukupi dari sebagian pengumpulan. Modal dan keuntungan
perusahaan yang didirikan dari hasil Zakat dipergunakan untuk asnaf yang telah ditentukan. Pengumpulan dan
pembagian zakat serta penginvestasiannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah menjamin dan bertanggung jawab terhadap keselamatan modal dan
kelebihan yang diperoleh dari zakat.
Sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya bahwa tiap-tiap harta benda atau kekayaan dikenakan
zakat apabila mencapai nisab dan haulnya. Demikian juga semua bentuk pendapatan
atau penghasilan dari perusahaan jasa profesi atau gaji karyawan diwajibkan
zakat. Zakat dapat dibayarkan setelah habis haul atau perbulan pada saat
penerimaan gaji tersebut.
Menurut Taufiqullah[11] dalam
artikelnya “Prospek Zakat Di Era Otonomi” di Media Pembebasan No.09/XXVIII
Desember 2001 mengemukakan bahwa pendayaguanaan zakat perlu dilakukan dengan
pendekatan skala prioritas yang disesuaikan dengan situasi krisis ekonomi yang
melanda negeri Indonesia. Dalam hal ini pendistribusian yang bersifat konsumtif
disalurkan bagi asnaf : 1) fakir miskin yang tidak ada harapan untuk
memberdayakan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk berusaha secara
produktif. 2) ibnu sabil dan 3) garimin. Sedang untuk usaha produktif
diprioritaskan bagi : 1) sabilillah yang dipinjamkan tanpa bunga bagi pedagang
kaki lima, bantuan SPP bagi Siswa SD-SLTP, sebagian bantuan bagi mahasiswa yang
tidak mampu. 2) muallaf dan 3) biaya operasional-administrasi.
Zakat
produktif merupakan pengelolaan dan pemberdayaan harta zakat untuk kepentingan
para mustahiq. Seperti para mustahiq faqir-miskin dengan harta zakat dapat
menghilangkan kefaqiran dan kemiskinannya, bagi mustahiq amilin dengan harta
zakat untuk peningkatan ilmu pengelolaan zakatnya, mustahiq muallaf qulubuhum
dengan harta zakat untuk menghilangkan keraguannya terhadap Islam, mustahiq
gharimin untuk menghilangkan dan membebaskan utang-utangnya, mustahiq riqab
untuk membebaskan dirinya dari perbudakan, mustahiq ibnusabil untuk
menghilangkan kesempitannya dan fi sabilillah untuk memberikan penghargaan
tertinggi kepadanya atas perjuangannya membela agama Allah swt.
C.
Zakat
dan Desa Peradaban
1.
Zakat
membangun kesadaran masyarakat untuk berbagi
Zakat sangat terkait dengan pembangunan desa peradaban yakni
masyarakat desa yang memiliki kesadaran tinggi untuk berbagi, yu’tsiruna
‘ala anfusihim walau kana bihim khasasah. Bagaimana tidak, zakat adalah
perintah mengeluarkan harta yang diperuntukkan kepada orang-orang yang telah
ditentukan oleh syariat. Itu artinya, zakat menuntut kepada para agniya
untuk perhatian kepada kehidupan delapan orang tersebut.
Bentuk perintah untuk mengeluarkan sebagian harta selain zakat
adalah infaq atau shadaqah. Hukum infaq atau shadaqah adalah sunah sedangkan
zakat adalah kewajiban. Infaq, shadaqah dan zakat ini termasuk ibadah maliyah
(harta) yang memiliki nilai untuk membangun masyarakat untuk peduli kepada
sesama manusia.
Manusia harus menyadari bahwa segala harta yang dimiliki adalah
titipan yang harus dijaga dan digunakan sesuai dengan kehendak Sang Pemilik
(Allah Ta’ala), Dia telah menyatakan bahwa harta pada mereka ada hak yang telah
ditentukan (wa fi amwalihim haqqum ma’lum).
Menurut Imam Prayogo[12]
bahwa Andaikan semua orang suka melakukan berbagi dengan
sesama secara ikhlas, maka tidak akan terjadi kesenjangan antar individu,
kelompok, maupun bangsa. Sebaliknya, kebanyakan orang lebih suka menguasai
sumber-sumber yang dibutuhkan oleh banyak orang, sehingga akibatnya, banyak
orang tidak tercukupi kebutuhannya, sementara lainnya dalam keadaan berlebih
dan bahkan melimpah.
Melalui zakat, infaq, dan shadaqoh serta jenis lainnya diharapkan tumbuh
masyarakat untuk berbagai tidak hanya harta tetapi juga berbagi ilmu
pengetahuan. Karena prinsipnya ajaran Islam menganjurkan agar ummatnya
memperhatikan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, seperti terhadap
fakir miskin, anak yatim, orang yang terbebani hutang, dan juga pihak-pihak
selainnya yang memerlukan bantuan. Dengan tumbuhnya masyarakat untuk berbagi
ilmu pengetahuan, harta keyayaan, dan bahkan kasih sayang, menjadikan ummat
Islam diwarnai oleh suasana kebersamaan, saling memperkokoh satu dengan yang
lain, terhapusnya kesenjangan dan lain-lain. Itulah masyarakat madani yang
diharapkan dalam setiap tuntutan syariat seperti zakat, infak dan shadaqah.
Manfaat dari sikap berbagi ini telah dibuktikan dalam riset-riset ilmiah,
seperti riset yang pernah dilakukan oleh Jorge
Moll dari National Institutes of Health pada tahun 2006 bahwa ketika seseorang melakukan donasi kepada suatu yayasan, beberapa
area di otak yang terkait dengan kenyamanan, koneksi sosial, dan rasa percaya dan
memberi perasaan bahagia dan keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah hal yang
benar serta dapat mengurangi stres, meningkatkan fungsi imunitas, dan
mengembangkan rasa percaya dalam interaksi antar manusia.
Juga menurut penelitian
Michael Norton dari Harvard Business School (2008) bahwa
memberikan uang kepada orang lain membuat partisipan
lebih bahagia ketimbang menggunakan uang tersebut untuk dirinya sendiri.
Demikianlah banyak manfaat yang dapat dirasakan dari syariat zakat.
Zakat menuntut untuk untuk tumbuhnya sipaf berbagi. Kenapa harus berbagi,
berikut ini alasan-alasan logis dari tuntutan untuk berbagi, pertama, agar perekonomian
ini berjalan semakin lancar. Bayangkanlah jika hartamu bertumpuk terus menerus
tanpa ada yang keluar. Bayangkanlah ketika engkau menjadi satu-satunya orang
terkaya di muka bumi ini, sedangkan saudaramu, siapapun selain kamu, adalah
orang miskin semiskin-miskinnya. Kau tak akan mendapatkan kenikmatan lainnya
karena si miskin, yang senantiasa melengkapi dan memenuhi hasrat dan
keinginanmu menjadi tak berdaya karena kemiskinannya. Kau tak akan mendapat
ketenangan karena hidupmu senantiasa menjadi incaran kejahatan hati yang
mengiri dan mendengki.
Diantara
bentuk keberhasilan program zakat adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat
untuk memberikan sebagian dari apa yang mereka miliki. Zakat adalah kewajiban
bagi setiap orang yang telah memiliki harta seukuran nishab dan telah cukup
pemilikannya selama satu tahun (haul). Nishab dan haul ini menjadi syarat
seseorang memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, zakat khusus
bagi para agniya (orang kaya). Namun kesadaran untuk mengeluarkan zakat harus
sudah ditumbuhkan sejak dini. Karena itu, selain kewajiban zakat, ada kewajiban
yang sifatnya sangat dianjurkan (sunnah) yaitu shadaqah atau infaq. Seseorang
yang belum memenuhi syarat nishab, ia dianjurkan untuk mengeluarkan shadaqah
atau infaq. Ukuran untuk mengeluarkan shadaqah jika merujuk kepada zakat, pada
umumnya adalah 2,5 %. Sehingga seseorang yang memiliki harta Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dianjurkan untuk mengeluarkan shadaqahnya 2,5 % yaitu Rp.
25. 000,00.
Kesadaran
untuk mengeluarkan shadaqah ini adalah ciri dari suatu masyarakat berperadaban,
yang diantara mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan dan saling
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Inilah diantara kunci
keberhasilan program zakat dalam menumbuhkan desa peradaban.
2.
Zakat
menyeimbangkan harta antar si kaya dan miskin
Islam sangat memperhatikan golongan fakir dan miskin, karena itu
harta zakat maupun harta ghanimah (rampasan perang) diberikan kepada
mereka dengan tujuan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang
kaya sebagaimana firman Allah swt:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Diantara bentuk perhatian ajaran Islam terhadap kaum faqir dan miskin dapat
dilihat dari berbagai aturan Islam yang sangat memperhatikan kehidupan mereka, pertama,
zakat diutamakan untuk kesejahteraan fakir miskin yang merupakan mustahik
pertama dan utama[13]. Kedua, infaq dan shadaqah (di luar zakat) salah satu fungsinya untuk
kesejahteraan fakir-miskin, disamping untuk kerabat, ibnu sabil maupun anak
yatim[14]. Ketiga,
pembayaran fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa diberikan untuk orang-orang
miskin[15]. Keempat, salah satu alternatif
kifarat sumpah adalah memberikan makanan atau pakaian untuk fakir miskin.[16]
(QS. Al-Maidah [5]: 89).
Keseimbangan harta antara si kaya dan si miskin dilakukan melalui
program zakat yang dapat diinvestasikan bagi kesejahteraan kaum faqir dan
miskin, membantu, mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari kesulitan
hidup dan penderitaan mereka. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi
oleh algharimin, ibnu sabil dan para mustahik lainnya, membina dan
merentangkan tali solidaritas (persaudaraan) sesama umat manusia, mengimbangi
ideologi kapitalisme dan komunisme, menghilangkan sifat bakhil (kikir)
dan loba dari para pemilik kekayaan dan penguasa modal, menghindarkan
penumpukan kekayaan perseorangan yang dikumpulkan di atas penderitaan orang
lain, mencegah jurang pemisah antara kaya dan miskin yang dapat menimbulkan
malapetaka dan kejahatan sosial.
Dalam Teori Tanggung jawab Negara (mas’uliyyah ad-daulah), Ash-Shadr[17]
menyatakan bahwa hukum Islam menugaskan Negara untuk menjamin kebutuhan seluruh
individu. Teori ini memiliki tiga konsep dasar, yaitu (1) konsep jaminan sosial
(adh-dhaman al-ijtima’i), (2) konsep keseimbangan sosial (at-tawazun
al-ijtima’i), dan (3) konsep intervensi Negara (at-tadakhulad-daulah).
Fungsi zakat lebih menekankan pada konsep yang kedua yaitu, keseimbangan
sosial (at-tawazun al-ijtimai) menurut Ash-Shadr adalah keseimbangan
standar hidup diantara para individu dalam masyarakat, bukan keseimbangan
pendapat. Artinya kekayaan harus berputar di antara para individu sehingga
masing-masing orang mampu hidup dalam standar kelayakan normal secara umum,
walaupun terdapat perbedaan tingkatan (stratifikasi) yang beragam namun
tidak mencolok.
Zakat menjadikan keseimbangan sosial, yakni keseimbangan standar hidup,
sebagai sasaran dan tujuan yang harus diperjuangkan oleh Negara dengan
sebaik-baiknya dalam batas kemampuanya.
Ash –Shadr menyebutkan tiga bentuk wewenang yang diberikan oleh hukum Islam
kepada Negara, yaitu (1) Memberlakukan pajak-pajak permanen yang
berkesinambungan dan pemanfatannya untuk memelihara keseimbangan sosial, (2)
menciptakan sektor-sektor publik dengan dana-dana yang dimiliki Negara dan
menjadikannya sebagai sarana untuk menambah pendapatan Negara, (3) membuat
aturan aturan hukum untuk meregulasi berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Kekayaan dan kemiskinan adalah dua realitas yang senantiasa berdampingan
dalam mengarungi dinamika kehidupan keseharian umat manusia. Kekayaan dapat
berkonotasi harta yang banyak ataupun akses kehidupan yang mudah dan
menyenangkan. Adapun kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai kekurangan
(ketiadaan) harta ataupun sulitnya akses terhadap sarana kehidupan sebagaimana
layaknya orang yang berkecukupan.
Upaya harmonisasi relasi antara si kaya dan si miskin dalam keseharian
dapat ditumbuhkembangkan dengan program zakat. Dari petunjuk al-Qur’an dan
hadits dipahami bahwa zakat terambil dari kelebihan harta orang kaya untuk
diberikan kepada orang yang berkekurangan. Orientasinya adalah terciptanya
keseimbangan sosial, sehingga jurang pembeda antara si kaya dan si miskin tidak
terlampau lebar. Kelebihan harta sebagian warga dalam suatu masyarakat akan
menutupi kekurangan yang dialami warga lainnya. Dengan demikian, si kaya dan
yang miskin merupakan mitra yang saling melengkapi.
Zakat juga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan mendasar keseharian bagi
warga yang kurang atau tidak mampu. Dengan zakat, daya beli masyarakat yang
hidup di bawah garis kemiskinan akan meningkat, sehingga roda perekonomian pun
dapat berjalan semakin efektif. Fungsi utama zakat dari perspektif ekonomi ini
adalah agar harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang yang kaya (QS.
al-Hasyr [59]: 7). Di samping itu, zakat semestinya dimaknai sebagai stimulus
bagi meningkatnya taraf perekonomian warga yang miskin (mustahiq).
Si kaya dan si miskin, tak ada yang menjadi jauh lebih
penting dan tidak penting. Kaya dan miskin adalah sebuah perbedaan yang
senantiasa hadir dalam kehidupan. Si kaya maupun si miskin harus selalu
berbaur, saling tumpang dan tindih. Itulah syariat zakat yang akan memadukan antara
keduanya.
Adanya perbedaan antara kaya dan miskin agar hidup ini semakin
indah, semakin berwarna, lestari, dan terus berputar dalam keselarasan dan
harmoni. Dan keharmonian itu hanya akan tercipta dan terjadi jikalau dua kutub
atau kubu yang berbeda, si kaya dan si miskin saling melengkapi. Saling
menghargai. Saling menghormati. Harmoni itulah yang menciptakan kedamaian,
ketentraman, dan ketenangan dalam hidup masyarakat peradaban.
3.
Zakat
mengentaskan kemiskinan
Adanya perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seorang dengan
orang lain, sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah (aturan Allah) yang
bersifat pasti dan tetap, kapan dan dimanapun. Kaya dan miskin akan selalu ada,
sama halnya seperti adanya siang dan malam, sehat dan sakit, tua dan muda serta
lain sebagainya. Hal ini telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu. Kami telah menentukan antara
mereka, penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka, atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik, dari apa
yang mereka kumpulkan." – (QS.
Al-Zukhruf{43}:32).
Berdasarkan ayat tersebut di atas bahwa ketetapan Allah atas seseorang
yang telah ditinggikan atas sebagiannya yang lain dengan tujuan agar mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. Orang kaya menggunakan jasa atau tenaga
dari orang miskin begitu juga orang miskin berharap dari kedermawanan dan kasih
sayang orang kaya. Dengan demikian seimbanglah kehidupan ini. Orang kaya akan
terbantu dengan orang miskin dan orang miskin pun terbantu dengan orang kaya.
Bertolong-menolong dan bersinergi antara sesama orang-orang yang
beriman kaya maupun miskin akan melahirkan kekuatan, sekaligus mengundang
rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9] ayat 71).
Menghubungkan antara miskin dan kaya diantaranya adalah melalui
program zakat. Zakat yang dikeluarkan dari orang kaya dan diberikan kepada
fakir atau miskin akan mempererat hubungan antara mereka dengan tujuan agar
kemiskinan tidak membuat si miskin lupa pada kewajiban dan tidak pula
mendorongnya pada kefakiran. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam
sebuah hadits riwayat Imam al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan:
“Sesungguhnya
Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang
dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir
menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang
ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang
teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa
mereka dengan siksaan yang pedih” (HR.
Thabrani dalam Al Ausath dan Ash Shoghir).
Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan
bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan
kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil
(kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara
kelompok kaya dan kelompok miskin. Lapoe dan Colin, serta George dalam Hafidhuddin
(1998) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial
ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang yang hidup mewah di atas
penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan
jumlah penduduk (over population).
Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan
penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan
ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat
ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil (Hafidhuddin, 1998). Dalam
Al-Quran dan Hadis, zakat, infaq dan sedekah di samping sering digandengkan
dengan salat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 276 dan QS. Ar-Rum [30]: 39. Hal ini mengisyaratkan bahwa
optimalisasi ZIS akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Di tengah problematika perekonomian ini, zakat muncul menjadi
instrument yang solutif dan sustainable. Zakat sebagai
instrument pembangunan perekonomian dan pengetasan kemiskinan umat di daerah,
memiliki banyak keunggulan dibandingkan intrumen fiscal konvensional yang kini
telah ada (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen
Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS.
At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf)
yaitu : orang-orang fakir, miskin, amil. Mu’allaf, budak, orang-orang yang
berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa
selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun
yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat
zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun
instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini.
Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana
yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen yang langsung
berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.
Kedua, zakat memiliki prosentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah
berubah-ubah karena sudah diatur dalam syarat sebagai misal, zakat yang
diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5%,
ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau diubah oleh siapapun. Karena
itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan
menciptakan transparansi kebijakan public serta memberikan kepastian usaha.
Ketiga, zakat memiliki prosentase berbeda, dan mengizinkan keringanan bagi
usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai misal,
zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tariff-nya
adalah 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tariff-nya 10%.
Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly sehingga tidak akan
mengganggu iklim usaha.
Keempat, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai
aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan,
simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang
tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa
zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari asset atau kehlian
pekerja. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi
modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan
(QS. Al-Baqarah [2]: 267 dan QS. Adz-Dzariyat [51]: 19).
Al-Qurthubi[18] bahwa
kata haq ma’lum yaitu harta zakat yang diwajibkan, artinya semua harta
yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi
persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional Pertama tentang
Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M)
telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab,
meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 11
ayat (2) Bab IV Undang-undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat,
dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a) emas, perak, dan uang; b)
perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil
perikanan; d) hasil pertambangan; e) hasil peternakan; f) hasil pendapatan dan
jasa; dan g) rikaz.
Kelima, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim
dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini
akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalamjangka waktu
yang cukup panjang.
Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) adalah merupakan asset berharga
umat Islam sebab berfungsi sebagai sumber dana potensial yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahateraan seluruh masyarakat. Para pakar
di bidang hukum Islam menyatakan bahwa, ZIS dapat
komplementer dengan pembangunan nasional, karena dana ZIS dapat
dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang
pengentasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan serta mengurangi jurang
pemisah antara si kaya dengan si miskin sekaligus meningkatkan perekonomian
pedagang kecil yang selalu tertindas oleh pengusaha besar dan mengentaskan
berbagai persoalan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan sosial
keagamaan.
4.
Zakat
menumbuhkan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas
Masyarakat yang tumbuh adalah masyarakat yang produktif. Islam
sangat menganjurkan umatnya untuk meningkatkan produktivitas dalam ibadah dan
beramal. Sebagaimana firman-Nya : dan katakanlah (hai Muhammad) bekerjalah
(berkaryalah), maka Allah akan melihat (hasil) karya kalian, dan para rasul dan
kaum beriman pula (akan melihat hasil karya kalian) (QS. Al-Taubah:105).
Diantara bentuk perintah untuk meningkatkan produktivitas bahwa
Islam memotivasi untuk mempergunakan dan memfungsikan aset ekonomi dan kekayaan
materi berupa sumber daya alam ini dengan baik dengan tidak membiarkan sesuatu
tanpa guna dan tetap memeliharanya dengan baik. Karena dia merupakan amanah
yang harus dijaga dan nikmat yang wajib disyukuri dengan mempergunakannya
secara tepat dan maksimal. Karena itulah Al Qur'an mengingatkan pada kita
terhadap apa saja yang ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan kita, baik yang
ada di langit maupun di bumi, serta yang ada di daratan maupun di lautan.
Al Qur'an juga bersikap keras terhadap orang-orang yang tidak
memfungsikan kekayaan hewani atau pertanian karena mengikuti keinginan mereka
yang tidak berdasarkan wahyu Allah. Mereka mengharamkan apa yang direzekikan
oleh Allah kepada mereka dengan membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Tetapi
hal itu di bantah dengan tegas oleh Allah dalam firman-Nya,
"Dan
mereka mengatakan, "Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang tidak
boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki" menurut anggapan
mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang
ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya,
semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas
mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. Dan mereka mengatakan:
"Apa yang ada di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria
kami dan diharamkan atas wanita kami" dan jika yang dalam perut itu
dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah
akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh
anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka
mengharamkan apa yang Allah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata
mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah
mereka mendapat petunjuk." (QS. Al An'am: 138-140).
Rasulullah SAW pun pernah mengingatkan kita akan kewajiban untuk
memanfaatkan apa saja yang sekiranya bisa difungsikan dan tidak membiarkan atau
menelantarkannya, meskipun kebanyakan manusia melecehkannya. Seperti dalam
riwayat berikut ini:
Suatu
ketika Rasulullah SAW berjalan melewati bangkai kambing, kemudian beliau
bertanya tentang bangkai kambing itu. Mereka berkata. Sesungguhnya ia adalah
kambing milik pembantu Maimunah (Ummul Mukminin), maka Nabi bersabda: "Mengapa
kalian tidak mengambil kulitnnya (untuk kemudian disamak) sehingga kamu dapat
memanfaatkannya, sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya..." (HR.
Muttafaqun 'Ala'ih).
Begitu juga, Rasulullah saw pernah melakukan pengarahan tentang
masalah pertanian atau bercocok tanam bagi seseorang yang mampu untuk menanami
sendiri atau dipinjamkan kepada orang muslim lainnya yang bisa menanaminya.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah menanaminya,
atau memberikannya kepada saudaranya." (HR. Muttafaqun 'Alaih).
Apabila tanah itu bisa ditanami dengan perhitungan yang berlaku
pada umumnya maka itu termasuk sesuatu yang baik, karena termasuk bentuk
kerjasama antara pemilik tanah dengan petani yang menanami, mirip dengan
mudharabah yang dijalankan oleh pemilik modal dengan pekerja. Bahkan Rasulullah
saw pernah bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menanami tanah khaibar dengan
sistem paroan (bagi hasil) dari hasil tanah.
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Fungsikanlah tanah itu untuk
ditanami dengan memperoleh separuh, sepertiga, seperempat hingga
sepersepuluhnya, dan janganlah kamu biarkan tanah itu rusak."
Demikianlah, Islam menganjurkan untuk memiliki sifat produktif.
Dengan syariat zakat akan tumbuh karya-karya produktif yang akan meningkatkan
kehidupan semakin bahagia dan sejahtera bagi kehidupan masyarakat terutama para
mustahiq zakat.
D.
Pembangunan
Desa Peradaban melalui Zakat di Kabupaten Sukabumi
Program zakat dalam membangun desa peradaban telah
diimplementasikan dalam kurun waktu beberapa tahun ini oleh BAZ Kab. Sukabumi.
Mereka memahami bagaimana pengelolaan dan pemberdayaan zakat yang membangun
desa peradaban. Mereka berhasil menggerakan semua orang untuk berinfaq dan
shadaqah dari mulai Rp. 1000,00 (seribu rupiah). Mereka telah memberikan
kehidupan dan penghidupan kepada masyarakatnya untuk mengelola aset-aset harta
zakat seperti pertanian, hewan ternak dan lain sebagainya. Mereka juga telah
mampu membangun gedung 1000 rupiah, yakni gedung yang dikumpulkan dari infaq
seluruh masyarakat Kab Sukabumi sebanyak Rp. 1000,00 (seribu rupiah).
Program Desa Peradaban Zakat Kab. Sukabumi meliputi kegiatan
pemberdayaan Dana Zakat (Zakat Produktif) yang dikhususkan bagi masyarakat dhuafa (mustahik) yaitu ;
a.
Pesanggrahan
Domba Zakat ( PDZ )
b.
Komunitas
Usaha Mikro Muamalat Berbasis Masjid ( KUM3 )
c.
Bangkit
Usaha Mandiri Sukabumi Berbasis Masjid ( BUMI )
d.
Bangkit
Usaha Mandiri (BUMI) Kelinci
Pesanggrahan
Domba Zakat merupakan program awal yang dilaksanaan dengan pola pendampingan
sekaligus pengontrolan, pendampingan dilakukan oleh seorang juru ternak yang sudah terlatih, juru ternak mendapatkan
pelatihan dengan cara magang di sebuah perusahaan ternak domba (PT Villa Domba)
di Banjaran Bandung, sehingga para juru ternak memahami cara-cara pemeliharaan
domba dimulai pemberian pakan, kesehatan ternak, reproduksi (kapan domba kawin,
bunting, melahirkan, menyusui, sapih dan kawin lagi ) dan distribusi domba.
Juru
ternak yang merupakan pendamping para mitra pemelihara domba bertanggung jawab
atas kesehatan ternak dan reproduksi, jumlah populasi ternak dan bagi hasil
dengan para mitra yang akan didistribusikan kembali kepada para dhuafa yang
layak memelihara domba, sementara para mitra fokus pada pemeliharaan domba :
cara pemberian pakan (rumput ), kebersihan kandang ,memandikan domba(
kebersihan domba).
Dalam
program KUM3 DPZ dan BUMI DPZ pendamping dalam menjaring peserta program ini
harus beberapa kali kunjungan, dimulai dengan sosialisasi pada pertemuan umum
yang di hadiri pengurus DKM masjid yang akan dilaksanakan program, para tokoh,
ulama dan masyarakat di sekitar masjid, dilanjutkan dengan pertemuan khusus
bagi masyarakat yang mau mengikuti program KUM3 atau BUMI DPZ ,yang terakhir
dilaksanakan Training Wajib kelompok (TWK) selama lima hari berturut-turut
dengan durasi satu jam setiap kali pertemuan.
Kunjungan
ke rumah peserta dan juga kunjungan ke tempat usaha yang mereka lakukan menjadi
kewajiban yang harus dilaksanakan pendamping selain wawancara dengan peserta
yang akan mengikuti program KUM3 atau program BUMI DPZ untuk memastikan
kelayakan penerima program, jangan sampai salah sasaran, dalam hal ini harus
tepat sasaran, tepat orang (benar – benar mustahik) dan benar – benar bahwa
dana yang mereka terima akan dialokasikan sesuai dengan peruntukannya bukan
untuk kepentingan yang lain.
Perubahan
yang mendasar pada program pemberdayaan masyarakat dhuafa khusunya program KUM3
dan BUMI DPZ secara umum adalah peningkatan pemahaman tentang aqidah dan ibadah
,pengamalan ibadah ritual yang meliputi ibadah wajib yang disertai oleh ibadah
– ibadah sunah lainnya , yang termasuk pada absensi ibadah ,seperti ; shalat
dhuha ,shalat tahajud , tilawah ,ta’lim ,shaum senin dan kamis /shaum sunah
,shalat berjamaah ,dzikir / wirid ,secara khusus mereka sudah mulai menghindari
dan menghilangkan pimjaman dari rentenir.
Program
BUMI Kelinci merupakan program bantuan BAZNAS Jawa Barat, yang berbarengan dengan
program Pesanggrahan Domba Zakat, dimana pada tahun 2010 menerima dua paket
program pemeliharaan kelinci (2 ekor jantan dan 20 ekor betina), ditambah
dengan pembelian bibit baru dari peternak maupun dari BALITNAK (Balai
Penelitian Ternak) Bogor, yang sekarang berjumlah 20 ekor induk dan 4 ekor
jantan anakan 60 ekor di pusat pembibitan khusus pedaging, yang memerlukan
perluasan kandang untuk pembibitan dengan rencana induk kelinci mencapai 100
ekor induk dengan ukuran kandang 8 X 25 m.
Program-program
pemberdayaan tersebut dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan bekerjasama
dengan lembaga-lembaga terkait yang dapat membantu mengembangkan dan
memberdayakan harta zakat produktif untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat
Kabupaten Sukabumi sehingga terwujud masyarakat peradaban.
KESIMPULAN
Zakat
secara bahasa adalah tumbuh dan berkembang, sehingga harta zakat harus mampu
tumbuh dan berkembang untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat. Karena itu,
perlu adanya fiqh pengelolaan zakat. Fiqh pengelolaan zakat adalah kajian fiqh
yang mengatur bagaimana pengumpulan, distribusi dan pengelolaan zakat
produktif.
Fiqh
pengelolaan zakat merupakan ijtihad para pengelola zakat dalam mengembangkan
dan memberdayakan zakat produktif yang dapat digunakan untuk kebutuhan para
mustahiq zakat sehingga mereka mampu berdiri sendiri, bangkit dari keterpurukan
dan kemiskinan. Sehingga zakat mampu menumbuhkan desa peradaban yang memiliki
kekuatan iman, ilmu dan amal.
Pengelolaan
zakat yang telah dilakukan oleh BAZ Kab. Sukabumi telah mampu memberdayakan
zakat pertanian, peternakan dengan melibatkan lembaga-lembaga ahli di bidang
pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian dengan membudidayakan
sayur-mayur, beras dan buah-buahan. Di bidang peternakan telah membudayakan
hewan domba dan kelinci. Hasil budidaya tersebut digunakan untuk para mustahik
dalam meningkatkan taraf kehidupan mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi Yeni Priyatna Sari, Zakat,
Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih (Solo : Era
Intermedia, 2004).
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Fiqh Zakat, (Pekanbaru : Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Dep. Agama Provinsi Riau, 2002).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Makalah Pemberdayaan Zakat, (Pekanbaru, 2003).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Zakat Profesi, (Pekanbaru : Artikel Riau Mandiri, 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : CV. Putra Sejati Raya, 2003).
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Fiqh Zakat, (Pekanbaru : Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Dep. Agama Provinsi Riau, 2002).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Makalah Pemberdayaan Zakat, (Pekanbaru, 2003).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Zakat Profesi, (Pekanbaru : Artikel Riau Mandiri, 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : CV. Putra Sejati Raya, 2003).
Departemen Agama, Pedoman Zakat 9
Seri, (Jakarta : PT. Cemara Indah, 1988/1989).
Departemen Agama, Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat, (Jakarta : Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji, 2003).
Departemen Agama, Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat, (Jakarta : Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji, 2003).
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Ahmad
Shidiq, dkk. Terj. 2008. (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2008).
Shihab, Qurais, Tafsir al-Misbah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011).
Qardhowi, Yusuf, Hukum Zakat, (Jakarta/Bandung : PT. Pustaka Litera Antar Nusa/Mizan, 1999).
Qardhowi, Yusuf, Hukum Zakat, (Jakarta/Bandung : PT. Pustaka Litera Antar Nusa/Mizan, 1999).
http://www.imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=1164#sthash.lSVkoR4v.dpuf
[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung
Djati Bandung dan Pascasarjana UIN SGD Bandung.
[2] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, 1993: ....
[3] Menurut Quraisy Shihab dalam Tafsir al-Misbah Jilid 1 bahwa kata wa
aatu al-zakat mempunyai arti tunaikan dengan sempurna kadar dan cara
pemberiannya. Lentera Hati, 2011:353.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Jilid 1 hal 50
[5] Sayyid Quthub, Fi Dzilali al-Quran, dalam menafsirkan QS.
Al-Baqarah:267, Juz 1:
[6] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Ahmad Shidiq dkk, 2008. Pena Pundi
Aksara, hal. 461
[7] Istilah kontrakan dalam versi Sayid Sabiq adalah persewaan, jika
memenuhi nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal. 463.
[8] Orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta lalu pergi dengan
membawa sebiji korma atau dua biji atau satu suapan atau dua suapan makanan,
tetapi orang miskin adalah orang yang menjaga diri dari minta-minta. Jika
kalian suka bacalah firman Allah swt: Mereka tidak meminta-minta secara paksa
kepada orang lain.(lihat Sayid Sabiq, Jilid 1, hal. 495)
[9] Amil hendaknya diangkat oleh imam/pemerintah atau yang mewakilinya.
[10] Ibid, hal. 496 dan 520.
[11] Taufiqullah, artikel prospek zakat di Era Otonomi, Media Pembebasan, No.09/XXVIII Desember
2001,
[12] Imam Prayogo, dalam http://www.imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg
=1164#sthash.lSVkoR4v.dpuf
[13] Lihat QS.
Al-Taubah:60
[15] Lihat QS. Al-Baqarah:{2} : 184
[16] Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak...(QS.
Al-Maidah:89)
[17] Muhammad Baqir al-Shadr, sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, 2001:
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Jaami’ li Ahkam al-Quran, dalam penafsiran QS.
Al-Dzariyat:19.