Saturday, March 14, 2015

FIQH PENGELOLAAN ZAKAT



FIQH PENGELOLAAN ZAKAT : MEMBANGUN DESA PERADABAN
(Studi Kasus Pemberdayaan Zakat pada BAZIS Kab. Sukabumi)
Oleh :GUGUM GUMELAR[1]
ABSTRAK
Zakat merupakan ibadah sosial yang berpengaruh bagi kesejahteraan hidup masyarakat jika harta zakat dikelola dengan baik dan tanggung jawab oleh para pengelola zakat profesional yang memahami fiqh pengelolaan zakat. Fiqh pengelolaan zakat menguraikan tentang pemberdayaan harta zakat, cara pengambilan dan distribusi zakat yang tepat sasaran. Dengan fiqh pengelolaan zakat akan mampu mewujudkan pembangunan desa peradaban yang berdaulat, mandiri, memiliki daya saing, berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan moral dan etika yang baik. Pengelolaan dan pemberdayaan zakat harus difokuskan untuk pembangunan desa peradaban, pendidikan orang-orang yang tidak mampu, pembangunan ekonomi masyarakat, dan pembangunan ruhiyah dan rupiah masyarakat desa. Harta zakat tidak hanya dibagikan kemudian habis dalam waktu sesaat. Harta zakat demikian hanya bersifat konsumtif, padahal makna asli dari zakat adalah tumbuh atau berkembang yakni harta itu terus tumbuh dan berkembang layaknya sebuah pohon yang senantiasa memberikan buah kepada pemiliknya.

Kata Kunci, Fiqh Pengelolaan zakat, desa peradaban, harta zakat

PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang memberikan solusi bagi kehidupan manusia, karena di dalamnya terkandung ajaran yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, jasad dan ruhnya, akal dan dan qalbunya, fisik dan psikisnya. Ajaran-ajaran tersebut harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan manusia, sehingga sempurnalah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya duniawi dan ukhrawinya.
Diantara ajaran Islam adalah zakat. Menurut Yusuf Qardhawi[2] bahwa zakat adalah ibadah sosio-economy yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan baik dari sisi doktrin Islam maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat. Program zakat ini ini tidak hanya menuntut seorang muslim untuk mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya, tetapi menuntut agar kehidupan ini menjadi seimbang antara si kaya dan si miskin. Harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan tertentu saja, tetapi harus merata pada setiap manusia apapun profesi mereka. Bahkan zakat diyakini akan mampu membangun sebuah masyarakat peradaban yang memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajibannya, masyarakat yang peduli terhadap sesama dan masyarakat yang tinggi loyalitas dan kinerjanya. Inilah yang menjadi salah satu program Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) Kab. Sukabumi atau bahkan menjadi program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Desa peradaban adalah gambaran masyarakat yang telah dibangun oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya, mereka memiliki sikap yu’tsiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khasasah yakni mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun diri mereka amat sangat memerlukan. Mereka adalah masyarakat yang Allah ridha terhadap mereka begitu pun mereka ridha terhadap-Nya. Mereka menyadari bahwa hidup ini harus saling berbagi, saling mencintai dan saling tolong-menolong. Itulah gambaran masyarakat peradaban yang sangat didambakan oleh masyarakat hari ini.  
Membangun masyarakat peradaban tidak perlu bergantung kepada dana utang luar negeri yang bunganya bisa jauh lebih besar dari utangnya, dan juga tidak bergantung kepada pihak-pihak asing yang hanya mencari keuntungan buat negeri mereka, sehingga masyarakat kita menjadi asing di negerinya sendiri, menjadi budak dan teraniaya di negerinya sendiri. Kita dapat saksikan masyarakat kita yang datang ke luar negeri mayoritas menjadi budak/pembantu, tetapi sebaliknya mereka (orang asing) datang ke negeri kita justru menjadi Bos atau penguasa di negeri kita.
Membangun desa peradaban dari zakat sangat potensial. Menurut Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bahwa potensi zakat umat Islam Indonesia dapat mencapai 19,3 triliun rupiah. Sebuah angka yang cukup signifikan di tengah keterpurukan ekonomi Indonesia. Berbagai sektor perekonomian yang mampu menghasilkan zakat cukup besar yakni pertanian, perkebunan, perniagaan, investasi, maupun simpanan berupa emas, perak, atau deposito.
Dengan pengelolaan zakat akan mampu mewujudkan pembangunan desa peradaban. Pembangunan desa peradaban adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan guna meningkatkan kondisi yang lebih baik dan kondusif, terwujudnya kehidupan masyarakat yang berdaulat, mandiri, memiliki daya saing, berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan moral dan etika yang baik. Tidak ada cara lain untuk bangkit mewujudkan desa peradaban selain kembali kepada program-program ilahiyah yakni dengan memahami kembali fiqh zakat.
Program zakat akan menjadi solusi bagi negeri yang sedang terpuruk jika program zakat dipahami dan diimplementasikan. Pengelolaan dan pemberdayaan zakat harus difokuskan untuk pembangunan desa peradaban, membangun pendidikan orang-orang yang tidak mampu, membangun ekonomi masyarakat, mencerdaskan dan membangun ruhiyah dan rupiah masyarakat desa.
Pentingnya program zakat ini terhadap pembangunan desa peradaban, pemerintah telah mengatur pengelolaan zakat melalui undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Keberadaan UU tersebut diharapkan mampu memberikan pengaruh positif bagi pengelolaan zakat.
Zakat pun kini semakin menunjukkan perannya yang semakin strategis. Bahkan, zakat saat ini telah dianggap mampu sebagai solusi atas permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam pembangunan ekonominya, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak untuk menyukseskan pembangunan ekonomi umat berbasis zakat di seluruh daerah Indonesia.
Zakat yang akan membangun desa peradaban adalah zakat yang dikembangkan dan dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Karena itu, diantara orang yang berhak menerima zakat adalah amilin (pengelola zakat). Sebagai pengelola zakat tentunya adalah seorang yang memahami bagaimana zakat yang dikelolanya memberikan manfaat besar bagi kehidupan para mustahiq. Harta zakat tidak hanya dibagikan kemudian habis dalam waktu sesaat, dan mengharapkan kembali untuk diberi harta zakat. Harta zakat demikian hanya bersifat konsumtif, padahal makna asli dari zakat adalah tumbuh atau berkembang yakni harta itu terus tumbuh dan berkembang layaknya sebuah pohon yang senantiasa memberikan buah kepada pemiliknya.
Menurut sejarah bahwa syariat zakat bertujuan antara lain memelihara manusia dari kehinaan dan kemelaratan, menguatkan persatuan dan kesatuan umat manusia, membantu memperlancar tugas-tugas untuk kepentingan umum atau masyarakat luas, membersihkan kekayaan dalam arti secara nyata menunaikan fungsi sosial dari harta kekayaan, menolong orang-orang berhutang yang tidak mampu membayar untuk mengurangi ketegangan dan perselisihan di dalam masyarakat, mengurangi terjadinya akumulasi kekayaan pada beberapa orang/kelompok dan membersihkan dari sifat rakus dan kikir
Tercapainya tujuan syariat zakat tersebut akan menghilangkan fenomena masyarakat yang mengantri dalam pembagian zakat, mengurangi tindakan kriminalitas karena pengangguran, dan menghilangkan kebodohan karena tidak mampu membayar biaya pendidikan.
Ketidakberhasilan program zakat dalam membangun desa peradaban dan mengatasi kemiskinan sangat dipengaruhi oleh kurang pemahaman terhadap zakat dan pengelolaannya. Padahal, Islam telah memotivasi umatnya untuk menggunakan ijtihad dengan akalnya dalam mengembangkan dan memberdayakan program zakat yang menjadi syari’at Ilahi ini. Zakat bukanlah sekedar kewajiban yang tidak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, tetapi justru zakat mampu membangun masyarakat madani, masyarakat berperadaban, masyarakat yang bertanggung jawab, masyarakat unggul dan masyarakat berpengetahuan, serta masyarakat yang bermartabat.
Dengan demikian, zakat dan pengelolaannya perlu dikembangkan dan diperdayakan melalui fiqh pengelolaan zakat sehingga terbentuk masyarakat madani yang diharapkan dari syariat zakat tersebut. Karena itu, penulis mengambil judul “Fiqh Pengelolaan Zakat : Membangun Desa Peradaban (Studi Kasus pada BAZIS Kab. Sukabumi).     
PEMBAHASAN
A.  Profil Bazis Kab. Sukabumi
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Sukabumi memiliki tekad bersama kaum muslimin Kab. Sukabumi untuk mewujudkan masyarakat zakat dengan program-program sebagai berikut:
Visi : Mewujudkan Perubahan BAZNAS Kab. Sukabumi menjadi Lembaga yang Amanah dan Profesional menuju Kabupaten Sukabumi sejahtera.
Misi : Menumbuhkembangkan zakat sebagai basis ekonomi syariah yang berorientasi pada kerakyatan/keumatan.
Memiliki program-program unggulan sebagai berikut:
1.      Program Produktif Sukabumi Sejahtera, melalui:
a.       Desa Peradaban Zakat di 5 kecamataan. KUM3.
b.      Program Bangkit Usaha Mandiri Sukabumi (BUMI)
c.       Bantuan Mustahik di lingkungan PNS
d.      Program Qardun Hasan PNS
e.       Program Pengembangan Usaha Bergulir Masyarakat Miskin.
2.      Program Pendidikan Sukabumi Cerdas, melalui:
a.       Bantuan Santri Khusus
b.      Pendidikan kader Ulama
c.       Bantuan Pendidikan Siswa SMA yang tidak mampu
d.      Bantuan Mahasiswa tidak mampu
e.       Bantuan insentif Guru Madrasah Diniyah melalui FKDT Kab. Sukabumi.
3.      Program Kesehatan Sukabumi Sehat
a.       Bantuan Kesehatan Rawat Inap Masyarakat Tidak Mampu
b.      Program Khitanan Masyarakat Tidak Mampu
c.       Pelayanan Ambulance
d.      Pembangunan Rumah Jompo Binaan
e.       Rumah Singgah Muallaf.
4.      Program Sukabumi Taqwa
a.       Penanganan Pekat di Citepus dan Ujung Genteng
b.      Gerakan memakmurkan Masjid
c.       Bantuan Pendidikan Kader Ulama
d.      Bantuan Sarana Keagamaan
e.       Bantuan Alim Ulama Pondok Pesantren
f.       Bantuan Lembaga Keagamaan
g.      Penanganan dan Pembinaan Muallaf
5.      Program Sukabumi Peduli
a.       Bantuan Bencana Alam
b.      Pembrantasan dan Penanganan Korban Rentenir
c.       Pembangunan Rumah tidak layak Huni
d.      Santunan Khusus Masyarakat Miskin di Daerah Binaan
e.       Rumah Singgah Muallaf
B.  Fiqh Pengelolaan Zakat
1.    Syariat Islam tentang Pengelolaan Zakat
Zakat adalah salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam sesuai dengan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, dan Allah telah menyebut zakat berbarengan dengan shalat di 82 tempat di Al-Qur’an, bukti dari keagungan perkaranya, dan zakat mempunyai ikatan yang kuat dengan shalat, sampai Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq berkata:” Akan aku perangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat”. Dalil kewajiban zakat adalah firman Allah Ta’ala:
Dan kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat”(Al-Baqarah : 110)[3].
Kata zakat disandingkan dengan kata shalat memiliki arti menurut Ibnu Katsir[4] bahwa shalat adalah hak Allah yang mencakup pengesaan, penyanjungan, pengharapan, pemujian, pemanjatan doa serta tawakkal. Sedangkan zakat merupakan amal baik kepada sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada merekaa.
Juga didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fituah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat ‘Id (hari Raya)” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
Kewajiban zakat itu sendiri mewajibkan adanya pengelolaan zakat yang bertanggung jawab sehingga hikmah syariat zakat itu dapat dirasakan oleh masyarakat di negeri ini. Kewajiban untuk mengelola zakat terdapat dalam firman Allah swt :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengelola zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60).
Berdasarkan ayat tersebut bahwa ‘amilin (para pengelola) termasuk bagian dari penerima zakat ketiga setelah fakir dan miskin. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan dan pemberdayaan zakat sangat penting sama pentingnya dengan perintah zakat itu sendiri. Berdasarkan kaidah fiqh menunjukan, ma la yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Zakat adalah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali melalui para pengelola zakat, maka hukum pengelolaan zakat adalah wajib.
Adapun tugas para pengelola zakat menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada pasal 1 berbunyi bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Berdasarkan undang-undang tersebut, tugas para pengelola zakat meliputi:
a.    Perencanaan; pada tahap ini para pengelola zakat merencanakan program-program zakat yang diawali dengan sosialisasi zakat kepada masyarakat, mendata jumlah muzakki dan jumlah mustahik yang berhak menerima harta zakat.   
b.    Pelaksanaan; pada tahap ini para pengelola zakat melakukan kegiatan inti yang meliputi pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.  
c.    Pengoordisian; pada tahap ini para pengelola zakat melakukan koordinasi kepada pihak-pihak yang bisa diajak untuk mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai potensi untuk meninggikan taraf hidup masyarakat, seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga-lembaga formal dan non formal, lembaga-lembaga keuangan dan lain sebagainya.  
2.    Ketentuan Harta Zakat
Syariat zakat terkait dengan harta. Harta didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki ketertarikan oleh semua umat manusia untuk dimilikinya atau memiliki nilai tukar finansial. Dengan demikian semua yang dimiliki dan memiliki nilai finansial adalah bagian dari harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Berdasarkan fiqh zakat bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi emas, perak, hewan ternak yang meliputi unta, sapi, kambing/domba, hasil pertanian, hasil perdagangan dan harta temuan (rikaz).
Di zaman modern ini, harta-harta tersebut sangat sedikit para agniya yang memilikinya kecuali emas atau perak, mereka lebih cenderung memiliki rumah atau toko untuk disewakan, memiliki mobil yang tidak sedikit, dan harta yang disimpan di bank-bank yang jumlahnya sangat banyak. Penghasilan mereka pun bukan dari pertanian atau perdagangan tetapi dari profesi-profesi lain yang berkembang di dunia modern ini seperti dokter, pengacara dan lain sebagainya. Harta-harta seperti inilah yang para ulama harus berani berijtihad dalam mewajibkan untuk mengeluarkan harta mereka.
Sayyid Quthub[5] menyatakan, bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu, nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah Saw. maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunnah Rasulullah Saw baik yang sudah diketahui secara langsung maupun yang di-qiyas-kan kepadanya.
Berdasarkan pendapat di atas bahwa semua harta yang wajib dizakati selain apa yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu, terdapat harta lain yang juga menjadi wajib untuk dikeluarkan zakatnya:
Pertama, uang simpanan di bank. Uang simpanan seperti uang kertas, cek, deposito atau sejenisnya[6]. Dengan syarat pemilik sempurna bukan milik orang lain atau perusahaan lain.  Kadar ukuran (nishab) zakatnya adalah nishab emas yaitu 85 gram. Jika harta emas Rp. 400.000/gram. Maka nishab zakat uang simpanan di bank adalah : Rp. 34.000.000,00 (Tiga puluh empat juta rupiah). Maka wajib mengeluarkan zakatnya adalah 2,5 %. Dengan demikian seorang yang memiliki harta simpanan di bank melebihi nishab tersebut maka wajib mengeluarkan zakatnya pada masa haul sebesar 2,5% menjadi Rp. 850.000.00 (delapan ratus limapuluh ribu rupiah).
Kedua, zakat profesi. Zakat profesi jika diqiyaskan dengan pertanian, maka wajib dikeluarkan pada setiap kali panen dan telah mencapai nishab sebanyak 750 kg. Jika harga beras Rp. 8.000/kg. Maka nishab zakat profesi Rp. 6.000.000,00 (Enam juta rupiah). Dengan demikian, jika setiap profesi memberikan penghasilan minimal Rp. 6. 000.000,00 (enam juta rupiah); maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5%. Yaitu : Rp. 300.000 (tiga ratus ribu ruipah) setiap kali gajian.  
Ketiga, zakat kendaraan. Kendaraan yang wajib dizakati adalah kendaraan yang dimiliki lebih dari satu. Adapun kendaraan yang digunakan tidak perlu dizakati seperti halnya emas yang hanya untuk dipakai. Adapun kendaraan yang dimiliki lebih dari satu wajib dikeluarkan zakatnya seperti nishab emas sebesar 2,5 % dari harga mobil. 
Keempat, zakat kontrakan[7]. Kontrakan merupakan rumah yang tidak ditempati oleh pemiliknya tetapi ditempatkan oleh orang lain dengan harga sewa yang telah disepakati. Zakat kontrakan dapat diqiyaskan dengan zakat pertanian yang apabila mencapai nishab maka wajib dikeluarkan 5%. Nishab zakat kontrakan Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) wajib dikeluarkan 5 %. Jika ada para pengusaha kontrakan mendapatkan nilai rupiah kontrakan senilai Rp. 6000.000 (enam juta rupiah), maka wajib dikeluarkan zakatnya adalah 5% yaitu Rp. 300.000 (tigaratus ribu rupiah) setiap kali dibayarkan kontraknya.
Kelima, zakat bonus. Bonus adalah harta yang tidak disangka-sangka, bonus ini bisa berupa harta hadiah dari sebuah perlombaan atau undian yang dihalalkan. Zakat bonus ini dapat diqiyaskan dengan harta rikaz. Nishab zakat rikaz serupa dengan nishab emas dan wajib dikeluarkan zakatnya 20 %. Jika seorang mendapat bonus hadiah sebesar  Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) maka wajib dikeluarkan zakatnya adalah 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).   
3.    Mustahiq Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu : orang-orang fakir, miskin, amil. Mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.
Dari delapan kelompok penerima zakat di dalamnya terdapat 3 hak zakat yaitu: 1) hak faqir miskin yang merupakan hak esensial dalam zakat karena Allah telah menegaskan bahwa dalam harta kekayaan dan pendapatan seseorang ada hak orang- orang miskin. 2) hak masyarakat yang karena harta yang didapat seseorang sesungguhnya berasal dari masyarakat juga, terutama kekayaan yang diperoleh dari perdagangan dan badan usaha, hak masyarakat harus dikembalikan lewat jalan fi sabilillah. 3) hak Allah karena sesungguhnya harta kekayaan seseorang adalah milik Allah, yang diberikan kepada seseorang untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Meskipun ketetapan nash tersebut menjadi suatu kepastian, namun delapan golongan tersebut harus masih perlu diijtihadi sebagai kriteria kepastian sebagai berikut:
a.       Fakir, adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai penghasilan (pekerjaan) yang layak untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, perumahan dan kebutuhan primer lainnya,baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
b.      Miskin[8], adalah orang yang memiliki harta atau mempunyai usaha yang layak baginya, tetapi penghasilannya belum cukup untuk memenuhi keperluan hidup minimum bagi dirinya dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
c.       Amil[9], adalah orang-orang yang melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pendayagunaan zakat termasuk para tenaga administrasi, pengumpul, pencatat, penghitung, pengelola dan yang membagikannya kepada para mustahiq.
d.      Muallaf, adalah orang-orang yang hatinya perlu dijinakkan agar simpatik atau memeluk agama Islam atau untuk lebih memantapkan keyakinannya pada Islam.
e.       Riqab, adalah pembebasan budak (hamba sahaya) atau segala kegiatan yang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk perbudakan di muka bumi.
f.       Gharimin, adalah orang-orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri dalam melaksanakan ketaatan dan kebaikan atau untuk kemaslahatan masyarakat.
g.      Sabilillah, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakkan syi' ar agama atau kemaslahatan umat.
h.      Ibnu Sabil adalah orang yang melintas dari satu daerah ke daerah lain untuk melakukan perjalanan yang positif, kemudian kehabisan bekalnya bukan untuk melakukan perbuatan maksiat tetapi demi kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali kepada masyarakat atau agama Islam
4.    Pengambilan dan Distribusi Harta Zakat
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil sebagian harta dari para agniya sebagai bentuk shadaqah yang memiliki fungsi mensucikan dan membersihkan dan juga memerintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi mereka.
Berdasarkan ayat di atas bahwa terdapat etika dalam pengambilan harta dari para agniya. Pertama, yang mengambil harta adalah Rasulullah atau orang yang telah ditunjuk oleh beliau. Dalam hal ini adalah orang-orang yang telah ditetapkan sebagai pengelola zakat. Sebab diantara tugas pengelola zakat adalah mengambil harta dari para agniya. Dengan demikian, tidak dibenarkan membagi-bagi zakat atau shadaqah dengan mengumpulkan orang-orang (kaum fuqara dan masakin) untuk datang kerumah dan memberikan zakat kepada mereka. Prinsip pembagian seperti ini dapat menjatuhkan harga diri seorang fuqara dan masakin, sehingga inilah yang dilarang oleh Allah dalam firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian membatalkan shadaqah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan) mereka”. (QS. Al-Baqarah:264).
Kedua, orang yang mengambil zakat (pengelola) hendaknya mendoakan kebaikan bagi para agniya. Doa inilah yang membuat para agniya menjadi tenang, sehingga mereka akan termotivasi untuk memberikan zakat dengan penuh kesadaran tinggi.
Adapun distribusi zakat menurut Yusuf Qaradhawi yang mengutip pendapat Imam Ghazali bahwa memberikan fakir miskin sejumlah nishab zakat, memberikan fakir miskin kebutuhannya selama setahun, dan memberikan fakir miskin kebutuhan selama sisa hidupnya. (Yusuf qaradhawi.2005:38).
Menurut Sayid Sabiq[10] bahwa tujuan zakat adalah agar dapat mencukupi orang fakir dan memenuhi kebutuhannya sehingga bisa mengubah status kefakirannya. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
أغنوهم فى هذا اليوم
“Buatlah mereka kaya pada hari ini. (al-Hadis)
أغنوهم عن طواف هذا اليوم
“Buatlah mereka kaya agar tidak berkeliling (minta-minta ) pada hari ‘Ied. (al-Hadis).
Meskipun dalil tersebut terkait dengan zakat fitrah, maka seharusnya zakat mal (harta) pun distribusi zakat diupayakan dapat menghilangkan kefakiran dan kemiskinan mereka seperti halnya orang yang berutang dapat terbebas dari utangnya.
5.    Zakat Produktif
Zakat secara bahasa adalah tumbuh atau berkembang. Berdasarkan kata zakat ini menuntut bahwa harta zakat harus mampu ditumbuhkan dan dikembangkan sehingga berdampak lebih luas bagi masyarakat dalam kehidupannya. Karena tujuan dari zakat adalah mengangkat harkat dan martabat kaum fuqara dan masakin kepada kehidupan yang layak.
Zakat produktif ini akan mampu membangun perekonomian negeri, memberantas kemiskinan, menghilangkan kebodohan, dan menyiapkan masyarakat untuk menjadikan tangan mereka selalu ada di atas (dermawan). Karena itu, harta zakat tidak semata disalurkan dalam bentuk materi yang bisa langsung dinikmati oleh para mustahik, mereka mendapatkan uang atau bahan makanan yang bisa dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tetapi juga mampu menghilangkan kesulitan mereka dan mengangkat derajat kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Penyaluran zakat bukan dengan cara memberikan ikan yang bisa langsung dimasak namun bagaimana mendayagunakan kail sehingga bisa mendapatkan ikan yang lebih banyak. Peran inilah yang seharusnya menjadi ‘ruh’ dalam menyalurkan zakat, yakni memberdayakan masyarakat. Itulah yang disebut dengan zakat produktif.
Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat mengatur tentang zakat produktif sebagai berikut:
1.      Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
2.      Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dimaksud dalam ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik sudah terpenuhi.
3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana diatur melalui peraturan menteri.  
Harta zakat dapat diinfestasikan dengan syarat bahwa kebutuhan primer orang-orang fakir miskin telah dicukupi dari sebagian pengumpulan. Modal dan keuntungan perusahaan yang didirikan dari hasil Zakat dipergunakan untuk asnaf  yang telah ditentukan. Pengumpulan dan pembagian zakat serta penginvestasiannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah menjamin dan bertanggung jawab terhadap keselamatan modal dan kelebihan yang diperoleh dari zakat.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa tiap-tiap harta benda atau kekayaan dikenakan zakat apabila mencapai nisab dan haulnya. Demikian juga semua bentuk pendapatan atau penghasilan dari perusahaan jasa profesi atau gaji karyawan diwajibkan zakat. Zakat dapat dibayarkan setelah habis haul atau perbulan pada saat penerimaan gaji tersebut.
Menurut Taufiqullah[11] dalam artikelnya “Prospek Zakat Di Era Otonomi” di Media Pembebasan No.09/XXVIII Desember 2001 mengemukakan bahwa pendayaguanaan zakat perlu dilakukan dengan pendekatan skala prioritas yang disesuaikan dengan situasi krisis ekonomi yang melanda negeri Indonesia. Dalam hal ini pendistribusian yang bersifat konsumtif disalurkan bagi asnaf : 1) fakir miskin yang tidak ada harapan untuk memberdayakan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk berusaha secara produktif. 2) ibnu sabil dan 3) garimin. Sedang untuk usaha produktif diprioritaskan bagi : 1) sabilillah yang dipinjamkan tanpa bunga bagi pedagang kaki lima, bantuan SPP bagi Siswa SD-SLTP, sebagian bantuan bagi mahasiswa yang tidak mampu. 2) muallaf dan 3) biaya operasional-administrasi.
Zakat produktif merupakan pengelolaan dan pemberdayaan harta zakat untuk kepentingan para mustahiq. Seperti para mustahiq faqir-miskin dengan harta zakat dapat menghilangkan kefaqiran dan kemiskinannya, bagi mustahiq amilin dengan harta zakat untuk peningkatan ilmu pengelolaan zakatnya, mustahiq muallaf qulubuhum dengan harta zakat untuk menghilangkan keraguannya terhadap Islam, mustahiq gharimin untuk menghilangkan dan membebaskan utang-utangnya, mustahiq riqab untuk membebaskan dirinya dari perbudakan, mustahiq ibnusabil untuk menghilangkan kesempitannya dan fi sabilillah untuk memberikan penghargaan tertinggi kepadanya atas perjuangannya membela agama Allah swt.  
C.  Zakat dan Desa Peradaban
1.    Zakat membangun kesadaran masyarakat untuk berbagi
Zakat sangat terkait dengan pembangunan desa peradaban yakni masyarakat desa yang memiliki kesadaran tinggi untuk berbagi, yu’tsiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khasasah. Bagaimana tidak, zakat adalah perintah mengeluarkan harta yang diperuntukkan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh syariat. Itu artinya, zakat menuntut kepada para agniya untuk perhatian kepada kehidupan delapan orang tersebut.
Bentuk perintah untuk mengeluarkan sebagian harta selain zakat adalah infaq atau shadaqah. Hukum infaq atau shadaqah adalah sunah sedangkan zakat adalah kewajiban. Infaq, shadaqah dan zakat ini termasuk ibadah maliyah (harta) yang memiliki nilai untuk membangun masyarakat untuk peduli kepada sesama manusia.
Manusia harus menyadari bahwa segala harta yang dimiliki adalah titipan yang harus dijaga dan digunakan sesuai dengan kehendak Sang Pemilik (Allah Ta’ala), Dia telah menyatakan bahwa harta pada mereka ada hak yang telah ditentukan (wa fi amwalihim haqqum ma’lum).
Menurut Imam Prayogo[12] bahwa Andaikan semua orang suka melakukan berbagi dengan sesama secara ikhlas, maka tidak akan terjadi kesenjangan antar individu, kelompok, maupun bangsa. Sebaliknya, kebanyakan orang lebih suka menguasai sumber-sumber yang dibutuhkan oleh banyak orang, sehingga akibatnya, banyak orang tidak tercukupi kebutuhannya, sementara lainnya dalam keadaan berlebih dan bahkan melimpah.
Melalui zakat, infaq, dan shadaqoh serta jenis lainnya diharapkan tumbuh masyarakat untuk berbagai tidak hanya harta tetapi juga berbagi ilmu pengetahuan. Karena prinsipnya ajaran Islam menganjurkan agar ummatnya memperhatikan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, seperti terhadap fakir miskin, anak yatim, orang yang terbebani hutang, dan juga pihak-pihak selainnya yang memerlukan bantuan. Dengan tumbuhnya masyarakat untuk berbagi ilmu pengetahuan, harta keyayaan, dan bahkan kasih sayang, menjadikan ummat Islam diwarnai oleh suasana kebersamaan, saling memperkokoh satu dengan yang lain, terhapusnya kesenjangan dan lain-lain. Itulah masyarakat madani yang diharapkan dalam setiap tuntutan syariat seperti zakat, infak dan shadaqah.
Manfaat dari sikap berbagi ini telah dibuktikan dalam riset-riset ilmiah, seperti riset yang pernah dilakukan oleh Jorge Moll dari National Institutes of Health pada tahun 2006 bahwa ketika seseorang melakukan donasi kepada suatu yayasan, beberapa area di otak yang terkait dengan kenyamanan, koneksi sosial, dan rasa percaya dan memberi perasaan bahagia dan keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah hal yang benar serta dapat mengurangi stres, meningkatkan fungsi imunitas, dan mengembangkan rasa percaya dalam interaksi antar manusia.
Juga menurut penelitian Michael Norton dari Harvard Business School (2008) bahwa memberikan uang kepada orang lain membuat partisipan lebih bahagia ketimbang menggunakan uang tersebut untuk dirinya sendiri.
Demikianlah banyak manfaat yang dapat dirasakan dari syariat zakat. Zakat menuntut untuk untuk tumbuhnya sipaf berbagi. Kenapa harus berbagi, berikut ini alasan-alasan logis dari tuntutan untuk berbagi, pertama, agar perekonomian ini berjalan semakin lancar. Bayangkanlah jika hartamu bertumpuk terus menerus tanpa ada yang keluar. Bayangkanlah ketika engkau menjadi satu-satunya orang terkaya di muka bumi ini, sedangkan saudaramu, siapapun selain kamu, adalah orang miskin semiskin-miskinnya. Kau tak akan mendapatkan kenikmatan lainnya karena si miskin, yang senantiasa melengkapi dan memenuhi hasrat dan keinginanmu menjadi tak berdaya karena kemiskinannya. Kau tak akan mendapat ketenangan karena hidupmu senantiasa menjadi incaran kejahatan hati yang mengiri dan mendengki.

Diantara bentuk keberhasilan program zakat adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk memberikan sebagian dari apa yang mereka miliki. Zakat adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah memiliki harta seukuran nishab dan telah cukup pemilikannya selama satu tahun (haul). Nishab dan haul ini menjadi syarat seseorang memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, zakat khusus bagi para agniya (orang kaya). Namun kesadaran untuk mengeluarkan zakat harus sudah ditumbuhkan sejak dini. Karena itu, selain kewajiban zakat, ada kewajiban yang sifatnya sangat dianjurkan (sunnah) yaitu shadaqah atau infaq. Seseorang yang belum memenuhi syarat nishab, ia dianjurkan untuk mengeluarkan shadaqah atau infaq. Ukuran untuk mengeluarkan shadaqah jika merujuk kepada zakat, pada umumnya adalah 2,5 %. Sehingga seseorang yang memiliki harta Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dianjurkan untuk mengeluarkan shadaqahnya 2,5 % yaitu Rp. 25. 000,00.
Kesadaran untuk mengeluarkan shadaqah ini adalah ciri dari suatu masyarakat berperadaban, yang diantara mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan dan saling memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Inilah diantara kunci keberhasilan program zakat dalam menumbuhkan desa peradaban.
2.    Zakat menyeimbangkan harta antar si kaya dan miskin
Islam sangat memperhatikan golongan fakir dan miskin, karena itu harta zakat maupun harta ghanimah (rampasan perang) diberikan kepada mereka dengan tujuan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya sebagaimana firman Allah swt:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Diantara bentuk perhatian ajaran Islam terhadap kaum faqir dan miskin dapat dilihat dari berbagai aturan Islam yang sangat memperhatikan kehidupan mereka, pertama, zakat diutamakan untuk kesejahteraan fakir miskin yang merupakan mustahik pertama dan utama[13]. Kedua, infaq dan shadaqah (di luar zakat) salah satu fungsinya untuk kesejahteraan fakir-miskin, disamping untuk kerabat, ibnu sabil maupun anak yatim[14]. Ketiga, pembayaran fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa diberikan untuk orang-orang miskin[15].  Keempat, salah satu alternatif kifarat sumpah adalah memberikan makanan atau pakaian untuk fakir miskin.[16] (QS. Al-Maidah [5]: 89).
Keseimbangan harta antara si kaya dan si miskin dilakukan melalui program zakat yang dapat diinvestasikan bagi kesejahteraan kaum faqir dan miskin, membantu, mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari kesulitan hidup dan penderitaan mereka. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh algharimin, ibnu sabil dan para mustahik lainnya, membina dan merentangkan tali solidaritas (persaudaraan) sesama umat manusia, mengimbangi ideologi kapitalisme dan komunisme, menghilangkan sifat bakhil (kikir) dan loba dari para pemilik kekayaan dan penguasa modal, menghindarkan penumpukan kekayaan perseorangan yang dikumpulkan di atas penderitaan orang lain, mencegah jurang pemisah antara kaya dan miskin yang dapat menimbulkan malapetaka dan kejahatan sosial.
Dalam Teori Tanggung jawab Negara (mas’uliyyah ad-daulah), Ash-Shadr[17] menyatakan bahwa hukum Islam menugaskan Negara untuk menjamin kebutuhan seluruh individu. Teori ini memiliki tiga konsep dasar, yaitu (1) konsep jaminan sosial (adh-dhaman al-ijtima’i), (2) konsep keseimbangan sosial (at-tawazun al-ijtima’i), dan (3) konsep intervensi Negara (at-tadakhulad-daulah).  
Fungsi zakat lebih menekankan pada konsep yang kedua yaitu, keseimbangan sosial (at-tawazun al-ijtimai) menurut Ash-Shadr adalah keseimbangan standar hidup diantara para individu dalam masyarakat, bukan keseimbangan pendapat. Artinya kekayaan harus berputar di antara para individu sehingga masing-masing orang mampu hidup dalam standar kelayakan normal secara umum, walaupun terdapat perbedaan tingkatan (stratifikasi) yang beragam namun tidak mencolok.
Zakat menjadikan keseimbangan sosial, yakni keseimbangan standar hidup, sebagai sasaran dan tujuan yang harus diperjuangkan oleh Negara dengan sebaik-baiknya dalam  batas kemampuanya. Ash –Shadr menyebutkan tiga bentuk wewenang yang diberikan oleh hukum Islam kepada Negara, yaitu (1) Memberlakukan pajak-pajak permanen yang berkesinambungan dan pemanfatannya untuk memelihara keseimbangan sosial, (2) menciptakan sektor-sektor publik dengan dana-dana yang dimiliki Negara dan menjadikannya sebagai sarana untuk menambah pendapatan Negara, (3) membuat aturan aturan hukum untuk meregulasi berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Kekayaan dan kemiskinan adalah dua realitas yang senantiasa berdampingan dalam mengarungi dinamika kehidupan keseharian umat manusia. Kekayaan dapat berkonotasi harta yang banyak ataupun akses kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Adapun kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai kekurangan (ketiadaan) harta ataupun sulitnya akses terhadap sarana kehidupan sebagaimana layaknya orang yang berkecukupan.
Upaya harmonisasi relasi antara si kaya dan si miskin dalam keseharian dapat ditumbuhkembangkan dengan program zakat. Dari petunjuk al-Qur’an dan hadits dipahami bahwa zakat terambil dari kelebihan harta orang kaya untuk diberikan kepada orang yang berkekurangan. Orientasinya adalah terciptanya keseimbangan sosial, sehingga jurang pembeda antara si kaya dan si miskin tidak terlampau lebar. Kelebihan harta sebagian warga dalam suatu masyarakat akan menutupi kekurangan yang dialami warga lainnya. Dengan demikian, si kaya dan yang miskin merupakan mitra yang saling melengkapi.
Zakat juga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan mendasar keseharian bagi warga yang kurang atau tidak mampu. Dengan zakat, daya beli masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan akan meningkat, sehingga roda perekonomian pun dapat berjalan semakin efektif. Fungsi utama zakat dari perspektif ekonomi ini adalah agar harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang yang kaya (QS. al-Hasyr [59]: 7). Di samping itu, zakat semestinya dimaknai sebagai stimulus bagi meningkatnya taraf perekonomian warga yang miskin (mustahiq).
Si kaya dan si miskin,  tak ada yang menjadi jauh lebih penting dan tidak penting. Kaya dan miskin adalah sebuah perbedaan yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Si kaya maupun si miskin harus selalu berbaur, saling tumpang dan tindih. Itulah syariat zakat yang akan memadukan antara keduanya.
Adanya perbedaan antara kaya dan miskin agar hidup ini semakin indah, semakin berwarna, lestari, dan terus berputar dalam keselarasan dan harmoni. Dan keharmonian itu hanya akan tercipta dan terjadi jikalau dua kutub atau kubu yang berbeda, si kaya dan si miskin saling melengkapi. Saling menghargai. Saling menghormati. Harmoni itulah yang menciptakan kedamaian, ketentraman, dan ketenangan dalam hidup masyarakat peradaban.
3.    Zakat mengentaskan kemiskinan
Adanya perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seorang dengan orang lain, sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah (aturan Allah) yang bersifat pasti dan tetap, kapan dan dimanapun. Kaya dan miskin akan selalu ada, sama halnya seperti adanya siang dan malam, sehat dan sakit, tua dan muda serta lain sebagainya. Hal ini telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu. Kami telah menentukan antara mereka, penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka, atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik, dari apa yang mereka kumpulkan." – (QS. Al-Zukhruf{43}:32).
Berdasarkan ayat tersebut di atas bahwa ketetapan Allah atas seseorang yang telah ditinggikan atas sebagiannya yang lain dengan tujuan agar mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Orang kaya menggunakan jasa atau tenaga dari orang miskin begitu juga orang miskin berharap dari kedermawanan dan kasih sayang orang kaya. Dengan demikian seimbanglah kehidupan ini. Orang kaya akan terbantu dengan orang miskin dan orang miskin pun terbantu dengan orang kaya.
Bertolong-menolong dan bersinergi antara sesama orang-orang yang beriman kaya maupun miskin akan melahirkan kekuatan, sekaligus mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9] ayat 71).
Menghubungkan antara miskin dan kaya diantaranya adalah melalui program zakat. Zakat yang dikeluarkan dari orang kaya dan diberikan kepada fakir atau miskin akan mempererat hubungan antara mereka dengan tujuan agar kemiskinan tidak membuat si miskin lupa pada kewajiban dan tidak pula mendorongnya pada kefakiran. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan:
“Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih” (HR. Thabrani dalam Al Ausath dan Ash Shoghir).
Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Lapoe dan Colin, serta George dalam Hafidhuddin (1998) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population).
Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil (Hafidhuddin, 1998). Dalam Al-Quran dan Hadis, zakat, infaq dan sedekah di samping sering digandengkan dengan salat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 276 dan QS. Ar-Rum [30]: 39. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi ZIS akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Di tengah problematika perekonomian ini, zakat muncul menjadi instrument yang solutif dan sustainable. Zakat sebagai instrument pembangunan perekonomian dan pengetasan kemiskinan umat di daerah, memiliki banyak keunggulan dibandingkan intrumen fiscal konvensional yang kini telah ada (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu : orang-orang fakir, miskin, amil. Mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.
Kedua, zakat memiliki prosentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syarat sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5%, ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau diubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan public serta memberikan kepastian usaha.
Ketiga, zakat memiliki prosentase berbeda, dan mengizinkan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai misal, zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tariff-nya adalah 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tariff-nya 10%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly sehingga tidak akan mengganggu iklim usaha.
Keempat, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari asset atau kehlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan (QS. Al-Baqarah [2]: 267 dan QS. Adz-Dzariyat [51]: 19).
Al-Qurthubi[18] bahwa kata haq ma’lum yaitu harta zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 11 ayat (2) Bab IV Undang-undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a) emas, perak, dan uang; b) perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d) hasil pertambangan; e) hasil peternakan; f) hasil pendapatan dan jasa; dan g) rikaz.
Kelima, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalamjangka waktu yang cukup panjang.
Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) adalah merupakan asset berharga umat Islam sebab berfungsi sebagai sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahateraan seluruh masyarakat. Para pakar di bidang hukum Islam menyatakan bahwa, ZIS dapat komplementer dengan pembangunan nasional, karena dana ZIS dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan serta mengurangi jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin sekaligus meningkatkan perekonomian pedagang kecil yang selalu tertindas oleh pengusaha besar dan mengentaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan.
4.    Zakat menumbuhkan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas
Masyarakat yang tumbuh adalah masyarakat yang produktif. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk meningkatkan produktivitas dalam ibadah dan beramal. Sebagaimana firman-Nya : dan katakanlah (hai Muhammad) bekerjalah (berkaryalah), maka Allah akan melihat (hasil) karya kalian, dan para rasul dan kaum beriman pula (akan melihat hasil karya kalian) (QS. Al-Taubah:105).
Diantara bentuk perintah untuk meningkatkan produktivitas bahwa Islam memotivasi untuk mempergunakan dan memfungsikan aset ekonomi dan kekayaan materi berupa sumber daya alam ini dengan baik dengan tidak membiarkan sesuatu tanpa guna dan tetap memeliharanya dengan baik. Karena dia merupakan amanah yang harus dijaga dan nikmat yang wajib disyukuri dengan mempergunakannya secara tepat dan maksimal. Karena itulah Al Qur'an mengingatkan pada kita terhadap apa saja yang ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan kita, baik yang ada di langit maupun di bumi, serta yang ada di daratan maupun di lautan.
Al Qur'an juga bersikap keras terhadap orang-orang yang tidak memfungsikan kekayaan hewani atau pertanian karena mengikuti keinginan mereka yang tidak berdasarkan wahyu Allah. Mereka mengharamkan apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka dengan membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Tetapi hal itu di bantah dengan tegas oleh Allah dalam firman-Nya,
"Dan mereka mengatakan, "Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki" menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami" dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." (QS. Al An'am: 138-140).

Rasulullah SAW pun pernah mengingatkan kita akan kewajiban untuk memanfaatkan apa saja yang sekiranya bisa difungsikan dan tidak membiarkan atau menelantarkannya, meskipun kebanyakan manusia melecehkannya. Seperti dalam riwayat berikut ini:
Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan melewati bangkai kambing, kemudian beliau bertanya tentang bangkai kambing itu. Mereka berkata. Sesungguhnya ia adalah kambing milik pembantu Maimunah (Ummul Mukminin), maka Nabi bersabda: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnnya (untuk kemudian disamak) sehingga kamu dapat memanfaatkannya, sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya..." (HR. Muttafaqun 'Ala'ih).

Begitu juga, Rasulullah saw pernah melakukan pengarahan tentang masalah pertanian atau bercocok tanam bagi seseorang yang mampu untuk menanami sendiri atau dipinjamkan kepada orang muslim lainnya yang bisa menanaminya. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya." (HR. Muttafaqun 'Alaih).
Apabila tanah itu bisa ditanami dengan perhitungan yang berlaku pada umumnya maka itu termasuk sesuatu yang baik, karena termasuk bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan petani yang menanami, mirip dengan mudharabah yang dijalankan oleh pemilik modal dengan pekerja. Bahkan Rasulullah saw pernah bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menanami tanah khaibar dengan sistem paroan (bagi hasil) dari hasil tanah.
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Fungsikanlah tanah itu untuk ditanami dengan memperoleh separuh, sepertiga, seperempat hingga sepersepuluhnya, dan janganlah kamu biarkan tanah itu rusak."
Demikianlah, Islam menganjurkan untuk memiliki sifat produktif. Dengan syariat zakat akan tumbuh karya-karya produktif yang akan meningkatkan kehidupan semakin bahagia dan sejahtera bagi kehidupan masyarakat terutama para mustahiq zakat.

D.  Pembangunan Desa Peradaban melalui Zakat di Kabupaten Sukabumi
Program zakat dalam membangun desa peradaban telah diimplementasikan dalam kurun waktu beberapa tahun ini oleh BAZ Kab. Sukabumi. Mereka memahami bagaimana pengelolaan dan pemberdayaan zakat yang membangun desa peradaban. Mereka berhasil menggerakan semua orang untuk berinfaq dan shadaqah dari mulai Rp. 1000,00 (seribu rupiah). Mereka telah memberikan kehidupan dan penghidupan kepada masyarakatnya untuk mengelola aset-aset harta zakat seperti pertanian, hewan ternak dan lain sebagainya. Mereka juga telah mampu membangun gedung 1000 rupiah, yakni gedung yang dikumpulkan dari infaq seluruh masyarakat Kab Sukabumi sebanyak Rp. 1000,00 (seribu rupiah).
Program Desa Peradaban Zakat Kab. Sukabumi meliputi kegiatan pemberdayaan Dana Zakat (Zakat Produktif) yang dikhususkan bagi  masyarakat dhuafa (mustahik) yaitu ;
a.       Pesanggrahan Domba Zakat ( PDZ )
b.      Komunitas Usaha Mikro Muamalat Berbasis Masjid ( KUM3 )
c.       Bangkit Usaha Mandiri Sukabumi Berbasis Masjid ( BUMI )
d.      Bangkit Usaha Mandiri (BUMI) Kelinci
Pesanggrahan Domba Zakat merupakan program awal yang dilaksanaan dengan pola pendampingan sekaligus pengontrolan, pendampingan dilakukan oleh seorang  juru ternak yang sudah terlatih, juru ternak mendapatkan pelatihan dengan cara magang di sebuah perusahaan ternak domba (PT Villa Domba) di Banjaran Bandung, sehingga para juru ternak memahami cara-cara pemeliharaan domba dimulai pemberian pakan, kesehatan ternak, reproduksi (kapan domba kawin, bunting, melahirkan, menyusui, sapih dan kawin lagi ) dan distribusi domba.
Juru ternak yang merupakan pendamping para mitra pemelihara domba bertanggung jawab atas kesehatan ternak dan reproduksi, jumlah populasi ternak dan bagi hasil dengan para mitra yang akan didistribusikan kembali kepada para dhuafa yang layak memelihara domba, sementara para mitra fokus pada pemeliharaan domba : cara pemberian pakan (rumput ), kebersihan kandang ,memandikan domba( kebersihan domba).
Dalam program KUM3 DPZ dan BUMI DPZ pendamping dalam menjaring peserta program ini harus beberapa kali kunjungan, dimulai dengan sosialisasi pada pertemuan umum yang di hadiri pengurus DKM masjid yang akan dilaksanakan program, para tokoh, ulama dan masyarakat di sekitar masjid, dilanjutkan dengan pertemuan khusus bagi masyarakat yang mau mengikuti program KUM3 atau BUMI DPZ ,yang terakhir dilaksanakan Training Wajib kelompok (TWK) selama lima hari berturut-turut dengan durasi satu jam setiap kali pertemuan.
Kunjungan ke rumah peserta dan juga kunjungan ke tempat usaha yang mereka lakukan menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan pendamping selain wawancara dengan peserta yang akan mengikuti program KUM3 atau program BUMI DPZ untuk memastikan kelayakan penerima program, jangan sampai salah sasaran, dalam hal ini harus tepat sasaran, tepat orang (benar – benar mustahik) dan benar – benar bahwa dana yang mereka terima akan dialokasikan sesuai dengan peruntukannya bukan untuk kepentingan yang lain.
Perubahan yang mendasar pada program pemberdayaan masyarakat dhuafa khusunya program KUM3 dan BUMI DPZ secara umum adalah peningkatan pemahaman tentang aqidah dan ibadah ,pengamalan ibadah ritual yang meliputi ibadah wajib yang disertai oleh ibadah – ibadah sunah lainnya , yang termasuk pada absensi ibadah ,seperti ; shalat dhuha ,shalat tahajud , tilawah ,ta’lim ,shaum senin dan kamis /shaum sunah ,shalat berjamaah ,dzikir / wirid ,secara khusus mereka sudah mulai menghindari dan menghilangkan pimjaman dari rentenir.
Program BUMI Kelinci merupakan program  bantuan  BAZNAS Jawa Barat, yang berbarengan dengan program Pesanggrahan Domba Zakat, dimana pada tahun 2010 menerima dua paket program pemeliharaan kelinci (2 ekor jantan dan 20 ekor betina), ditambah dengan pembelian bibit baru dari peternak maupun dari BALITNAK (Balai Penelitian Ternak) Bogor, yang sekarang berjumlah 20 ekor induk dan 4 ekor jantan anakan 60 ekor di pusat pembibitan khusus pedaging, yang memerlukan perluasan kandang untuk pembibitan dengan rencana induk kelinci mencapai 100 ekor induk dengan ukuran kandang 8 X 25 m.
Program-program pemberdayaan tersebut dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait yang dapat membantu mengembangkan dan memberdayakan harta zakat produktif untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Kabupaten Sukabumi sehingga terwujud masyarakat peradaban.
KESIMPULAN
Zakat secara bahasa adalah tumbuh dan berkembang, sehingga harta zakat harus mampu tumbuh dan berkembang untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat. Karena itu, perlu adanya fiqh pengelolaan zakat. Fiqh pengelolaan zakat adalah kajian fiqh yang mengatur bagaimana pengumpulan, distribusi dan pengelolaan zakat produktif.
Fiqh pengelolaan zakat merupakan ijtihad para pengelola zakat dalam mengembangkan dan memberdayakan zakat produktif yang dapat digunakan untuk kebutuhan para mustahiq zakat sehingga mereka mampu berdiri sendiri, bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Sehingga zakat mampu menumbuhkan desa peradaban yang memiliki kekuatan iman, ilmu dan amal.
Pengelolaan zakat yang telah dilakukan oleh BAZ Kab. Sukabumi telah mampu memberdayakan zakat pertanian, peternakan dengan melibatkan lembaga-lembaga ahli di bidang pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian dengan membudidayakan sayur-mayur, beras dan buah-buahan. Di bidang peternakan telah membudayakan hewan domba dan kelinci. Hasil budidaya tersebut digunakan untuk para mustahik dalam meningkatkan taraf kehidupan mereka. 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Yeni Priyatna Sari, Zakat, Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih (Solo : Era Intermedia, 2004).
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Fiqh Zakat, (Pekanbaru : Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Dep. Agama Provinsi Riau, 2002).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Makalah Pemberdayaan Zakat, (Pekanbaru, 2003).
Hasibuan, Ahmad Supardi, Drs., Zakat Profesi, (Pekanbaru : Artikel Riau Mandiri, 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : CV. Putra Sejati Raya, 2003).
Departemen Agama, Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta : PT. Cemara Indah, 1988/1989).
Departemen Agama, Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat, (Jakarta : Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji, 2003).
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Ahmad Shidiq, dkk. Terj. 2008. (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2008).
Shihab, Qurais, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2011).
Qardhowi, Yusuf, Hukum Zakat, (Jakarta/Bandung : PT. Pustaka Litera Antar Nusa/Mizan, 1999).
http://www.imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=1164#sthash.lSVkoR4v.dpuf



[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pascasarjana UIN SGD Bandung.
[2] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, 1993: ....
[3] Menurut Quraisy Shihab dalam Tafsir al-Misbah Jilid 1 bahwa kata wa aatu al-zakat mempunyai arti tunaikan dengan sempurna kadar dan cara pemberiannya. Lentera Hati, 2011:353.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Jilid 1 hal 50
[5] Sayyid Quthub, Fi Dzilali al-Quran, dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah:267, Juz 1:
[6] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Ahmad Shidiq dkk, 2008. Pena Pundi Aksara, hal. 461
[7] Istilah kontrakan dalam versi Sayid Sabiq adalah persewaan, jika memenuhi nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal. 463.
[8] Orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta lalu pergi dengan membawa sebiji korma atau dua biji atau satu suapan atau dua suapan makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang menjaga diri dari minta-minta. Jika kalian suka bacalah firman Allah swt: Mereka tidak meminta-minta secara paksa kepada orang lain.(lihat Sayid Sabiq, Jilid 1, hal. 495)
[9] Amil hendaknya diangkat oleh imam/pemerintah atau yang mewakilinya.
[10] Ibid, hal. 496 dan 520.
[11] Taufiqullah, artikel prospek zakat di Era Otonomi, Media Pembebasan, No.09/XXVIII Desember 2001,
=1164#sthash.lSVkoR4v.dpuf

[13] Lihat QS. Al-Taubah:60
[14] Lihat QS. Al-Baqarah [2] ayat 177, 215, 273, dan QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27
[15] Lihat QS. Al-Baqarah:{2} : 184
[16] Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak...(QS. Al-Maidah:89)
[17] Muhammad Baqir al-Shadr, sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, 2001:
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Jaami’ li Ahkam al-Quran, dalam penafsiran QS. Al-Dzariyat:19.

SURAT LAMARAN KERJA

Sukabumi . 17 Februari 2017 Perihal : Lamaran Kerja Lam     : - KepadaYth : Bapak/ibu Bagian Personalia/HRD PT.  ANGIN RI...