Pancasila, Agama dan Toleransi
“Kekerasan tidak lain adalah komunikasi bisu par excellence” (Hannah Arendt).
Setiap 1 Juni mengunjungi kalender nasional, sebuah kata yang sangat akrab otomatis tertayang di benak kita. Pancasila! Pada hari itu Bung Karno menyampaikam pidato monumental berjudul “Lahirnya Pancasila” di depan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPK; Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Pancasila sudah banyak dibicarakan, dibahas dan diteriakkan, malah pada masa Orba sering ditampilkan sebagai sesuatu yang dijejalkan dan kadang sebagai alasan represi. Namun, bagaimana nasibnya kini? Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Konflik-konflik menjadi berita harian mulai dari konflik dan tawuran antar pelajar, antar pendukung klub sepakbola, antar penduduk desa dan kampung, antar massa pendukung calon bupati, antar suku hingga konflik antar elite kekuasaan. Meski kita bangga Presiden SBY menerima penghargaan atas prestasinya sebagai presiden paling toleran sedunia, hingga detik ini belum terlihat sebuah fenomena yang mencerminkannya. Ada banyak contoh termasuk penyerangan dan pengusiran warga Syiah di Sampang yang sampai saat ini “terpenjara” dalam GOR. Percik noda seperti ini yang harus dibersihkan dari Pancasila.
Agama dan Kebangsaan
Agama (Islam sebagai agama mayoritas) sering kali dibenturkan dengan kebangsaan. Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan kebangsaan didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, 1) Pencampur-adukan pengertian ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian ‘umat’ (ummah); 2) Trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam atau sikap negative orang-orang yang mengaku beragama; 3) Ketidakmampuan membedakan antara kebangsaan yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat.
Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbedai. Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad). Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.
Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.
Pandangan ini memang secara tidak langsung mengkonfirmasi pemisahan agama dan negara. Tapi nampaknya dalam masayarakat yang heterogen, itu bisa dianggap opsi yang cukup logis.
Pengunaan agama tertentu atau pandangan kemazhaban dalam masyarakat majemuk sebagai dasar berbangsa akan mengantarkan negara ini ke dalam tirani atas nama agama atau mazhab. Lebanon, misalnya, yang secara konsitusional dibangun atas sistem pembagian kekuasaan berdasarkan etnik dan agama juga sekte, adalah negara yang tdk mungkin bisa diarahkan menjadi negara yang berasas satu agama apalagi mazhab.
Hezbollah yang semula menginginkan penerapan sistem Islam di lebanon selatan, harus realistis dengan mentransformasi ideologi atau strategi ideologisnya menjadi salah satu elemen dan gerakan politik yang selaras dengan realitas kemajumukan. Hezbollah pun tak lagi mengangkat jargon negara Islam, namun nasionalisme yang koheren dengan hak setiap komunitas melaksanakan keyakinannya dengan asas konstitusi.
Intoleransi
Kekerasan atas nama agama dan aliran adalah bentuk paling purba dari intoleransi. Ia tak selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul sebagai sebuah sikap personal. Kadang muncul sebagai pilihan komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, Kadang pula diyakini secara naïf sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Intoleransi biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang tidak menerimanya.
Dari sinilah, intoleransi berpeluang mengalami ekspansi makna. Intoleransi keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. Intoleransi sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama.
Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak.
Intoleransi berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di luar lingkarannya.
Realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat manusia intoleran menjadi gamang dan paranoid. Ia menganganggap setiap gagasan yang berbeda sebagai ancaman. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secara ekstrem dan skriptural, ia merasa harus membasminya dengan kekerasan baik verbal maupun fisik sembari berharap perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.
Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu menjustifikasi intoleransi sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya. Atas nama “fatwa”, manusia yang lugu dan santun menjadi beringas dan sadis.
Selama masih ada lembaga di luar struktur Negara yang mengambil peran Pemerintah dan Tuhan yang menjadi pusat pembibitan intoleransi di negeri ini, maka Peringatan Hari kelahiran Panacasila belum memberikan makna yang berarti.
“Kekerasan tidak lain adalah komunikasi bisu par excellence” (Hannah Arendt).
Setiap 1 Juni mengunjungi kalender nasional, sebuah kata yang sangat akrab otomatis tertayang di benak kita. Pancasila! Pada hari itu Bung Karno menyampaikam pidato monumental berjudul “Lahirnya Pancasila” di depan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPK; Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Pancasila sudah banyak dibicarakan, dibahas dan diteriakkan, malah pada masa Orba sering ditampilkan sebagai sesuatu yang dijejalkan dan kadang sebagai alasan represi. Namun, bagaimana nasibnya kini? Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Konflik-konflik menjadi berita harian mulai dari konflik dan tawuran antar pelajar, antar pendukung klub sepakbola, antar penduduk desa dan kampung, antar massa pendukung calon bupati, antar suku hingga konflik antar elite kekuasaan. Meski kita bangga Presiden SBY menerima penghargaan atas prestasinya sebagai presiden paling toleran sedunia, hingga detik ini belum terlihat sebuah fenomena yang mencerminkannya. Ada banyak contoh termasuk penyerangan dan pengusiran warga Syiah di Sampang yang sampai saat ini “terpenjara” dalam GOR. Percik noda seperti ini yang harus dibersihkan dari Pancasila.
Agama dan Kebangsaan
Agama (Islam sebagai agama mayoritas) sering kali dibenturkan dengan kebangsaan. Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan kebangsaan didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, 1) Pencampur-adukan pengertian ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian ‘umat’ (ummah); 2) Trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam atau sikap negative orang-orang yang mengaku beragama; 3) Ketidakmampuan membedakan antara kebangsaan yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat.
Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbedai. Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad). Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.
Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.
Pandangan ini memang secara tidak langsung mengkonfirmasi pemisahan agama dan negara. Tapi nampaknya dalam masayarakat yang heterogen, itu bisa dianggap opsi yang cukup logis.
Pengunaan agama tertentu atau pandangan kemazhaban dalam masyarakat majemuk sebagai dasar berbangsa akan mengantarkan negara ini ke dalam tirani atas nama agama atau mazhab. Lebanon, misalnya, yang secara konsitusional dibangun atas sistem pembagian kekuasaan berdasarkan etnik dan agama juga sekte, adalah negara yang tdk mungkin bisa diarahkan menjadi negara yang berasas satu agama apalagi mazhab.
Hezbollah yang semula menginginkan penerapan sistem Islam di lebanon selatan, harus realistis dengan mentransformasi ideologi atau strategi ideologisnya menjadi salah satu elemen dan gerakan politik yang selaras dengan realitas kemajumukan. Hezbollah pun tak lagi mengangkat jargon negara Islam, namun nasionalisme yang koheren dengan hak setiap komunitas melaksanakan keyakinannya dengan asas konstitusi.
Intoleransi
Kekerasan atas nama agama dan aliran adalah bentuk paling purba dari intoleransi. Ia tak selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul sebagai sebuah sikap personal. Kadang muncul sebagai pilihan komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, Kadang pula diyakini secara naïf sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Intoleransi biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang tidak menerimanya.
Dari sinilah, intoleransi berpeluang mengalami ekspansi makna. Intoleransi keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. Intoleransi sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama.
Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak.
Intoleransi berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di luar lingkarannya.
Realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat manusia intoleran menjadi gamang dan paranoid. Ia menganganggap setiap gagasan yang berbeda sebagai ancaman. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secara ekstrem dan skriptural, ia merasa harus membasminya dengan kekerasan baik verbal maupun fisik sembari berharap perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.
Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu menjustifikasi intoleransi sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya. Atas nama “fatwa”, manusia yang lugu dan santun menjadi beringas dan sadis.
Selama masih ada lembaga di luar struktur Negara yang mengambil peran Pemerintah dan Tuhan yang menjadi pusat pembibitan intoleransi di negeri ini, maka Peringatan Hari kelahiran Panacasila belum memberikan makna yang berarti.
No comments:
Post a Comment