BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fenomena
tajdid, sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Islam lahir dan akan terus
berlangsung hingga sekarang ini. Mujadid sebelum Islam adalah para Nabi yang
telah dibebani tugas tajdid. Peristiwa ini telah diisyaratkan dalam hadits Nabi
saw., beliau bersabda: “Yang membimbing Bani Israil adalah para Nabi, tatkala
Nabi yang satu wafat maka Nabi yang lain akan datang menggantikannya…” (HR.
al-Bukhari dan Muslim). Tajdid yang mereka lakukan bukan pada ranah ushul
agama, melainkan pada syariatnya saja. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Isa
a.s. yang telah memberikan keringanan syariatnya Bani Israil.
Dan Islam adalah agama terakhir yang
pernah ada dimuka bumi hingga akhir nanti. Islam sendiri juga telah melakukan
tajdid atas agama-agama sebelumnya. Jika mujadid adalah para Nabi, maka apakah
mungkin saat ini akan ada mujadid baru mengingat Nabi Muhammad saw adalah
penutup para Nabi.? Jika demikian, maka yang pasti akan meneruskan mata rantai
mujadid adalah ulama. Mengapa demikian? Karena ulama adalah pewaris Nabi,
mereka dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan Nabinya Bani Israil dalam
hal mengemban tugas tajdid seperti sabda Nabi: “Ulamanya umatku seperti Nabinya
Bani Israil”. Lantas seperti apakah tajdid selepas Nabi Muhammad saw itu akan
diulas berikut ini.
B.
Pengertian Tajdid
Tajdid secara etimologi adalah
menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan
sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian
diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada
keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid
adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
Adapun tajdid secara terminologi adalah
(1) Menghidupkan/ihya’ dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran agama Islam yang
telah luntur atau terlupakan. (2) Beramal sesuai dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah. (3) Membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali di sini memiliki
arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang telah banyak luntur agar kembali
hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi Muhammad saw. Adapun
maksud dari membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah melakukan ijtihad agar
keduanya dapat dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini pernah
dilakukan oleh Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud
mengutusnya ke Yaman beliau bertanya:.
Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus
hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan
berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
C.
Landasan
Dan Teori Ide Tajdid
Istilah
tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi Muhammad saw,
yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
.Artinya: "Sungguh, iman itu dapat usang sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim.)
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله.
Artinya: “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( HR. Ibnu Hanbal )
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
.Artinya: "Sungguh, iman itu dapat usang sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim.)
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله.
Artinya: “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( HR. Ibnu Hanbal )
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akar
Historis Tajdid Pada Masa Klasik
Membagi
Sejarah Perkembangan Peradaban Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik
650-1250 M, dibagi dalam dua masa : Masa kemajuan Islam I 650-100 b .masa
disintegrasi 1000 - 1250 M Jejak tajdid pemikiran Islam klasik2 dapat dilacak
dari warisan khasanah kelilmuan klasik (turats) yang kaya dengan varian dan
bidang kajian.Turats itu dapat ditemukan dengan mudah di
perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam tradisi
intelektualisme Islam modern sekarang ini.Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu
dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan
khasanah keilmuannya.
Pada
era Sahabat,bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori Umar ibn
Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan tuntutan
realitas.Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat
Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian
di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut
berperang,tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini
belum menjadi Muslim.
Pemikiran
Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan
Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh
Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut mereka, telah jelas
menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S.
al-Anfal).Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian
rampasan serupa itu kepada tentara,yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah
dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi. Contoh klasik lain yang
dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi
menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an
jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5).Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah
teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat
Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi
kasus-kasus penelantaran kaumMuslimah. Tajdid adalah suatu
keniscayaan. Dan ia adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Semua yang ada
disekitar manusia melakukan tajdid, karena hidup senantiasa bergerak progresif.
Demikian juga waktu yang terus berputar.
Ia juga melakukan tajdid. Waktu yang telah berlalu berbeda dengan waktu
sekarang dan yang akan datang. Dengan begitu, permasalahan baru senantiasa
muncul dan membutuhkan legitimasi hukum yang kuat dari ajaran islam, baik
permasalahan politik, ekonomi maupun sosial.
Disamping itu, pengembangan serta
pengamalan ajaran Islam itu sendiri, seiring bergantinya zaman juga semakin
lesu dan tidak bergairah, sehingga ajaran Islam nyaris lenyap tak tersisa.
Karena itulah, tajdid sangat diperlukan guna membangkitkan kembali gairah dan
semangat keagamaan. Sehingga dengan itu, Islam akan senantiasa sholih di segala
zaman dan tempat.
B.
Latar Belakang Munculnya Tajdid
Ada dua aspek yang melandasi kemunculan
tajdid dalam Islam antara lain:
1. Aspek Teologis
1. Aspek Teologis
Aspek Teologis adalah landasan atau dasar-dasar keagamaan
yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan tajdid.Dasar-dasar keagamaan yang
dijadikan rujukkan digali dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-qur'an dan
As-Sunnah sebagai penjelas yang dipahami dengan akal pikiran.
2.
Aspek Historis
Aspek historis ialah tantangan-tantangan dan respon yang
dimunculkan umat Islam pada kurun waktu tertentu.Nabi Muhammad SAW adalah
seorang Mujaddid, bila kita melihat dari sisi bahwa Nabi Muhammad SAW.
Menurut Drs. Syaikhul Hadi Permana MA adalah keterbelakangan kondisi
umat Islam sejak abad ke-12 sampai dengan abad ke-19, bahkan sampai dengan
sekarang. Faktor-faktor penyebab keterbelakangan umat Islam sepanjang sejarah
berbeda-beda dan tidak hanya satu faktor, tetapi beberapa faktor secara
kumulatif akan tetapi faktor-faktor itu tidak lepas dari hal-hal sebagai
berikut:
- Ambisi perebutan kekuasaan (perpecahan politik)
- Kemorosotan moral terutam pada penguasa yang melenyapkan identitas muslim, korupsi, kemewahan hidup, sistem feudal yang menguasai tanah yang sangat luas
- Politik adu domba yang dilancarkan pihak lain
- Kurang atau tidak mengamalkan ajaran agamanya (lemah iman)
- Kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesemuanya itu kalau diringkas ada 3 penyebab, yaitu perpecahan,
dekadensi moral dan kebodohan. Untuk itu perlu adanya toleransi internal,
peningkatan pendidikan dan pengajaran terutama dalam bidang sains dan teknologi.
Tajdid dalam konteks ini diberi makna pembaruan, atau mondernisasi
C.
Tema-Tema Tajdid dalam Islam
Tema pembaharuan dalam Islam yang disuarakan oleh para pembaru adalah :
Tema pembaharuan dalam Islam yang disuarakan oleh para pembaru adalah :
1. Kembali kepada AL-Qur'an dan Sunnah
Seruan para pembaharu Islam kepada Ummatnya untuk Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah dimaksudkan agar mereka kembali kepada Islam sejati dan meninggalkan segala bentuk praktek keagamaan yang menyimpang dari tuntunan al-Qur'an dan As-Sunnah.
Seruan para pembaharu Islam kepada Ummatnya untuk Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah dimaksudkan agar mereka kembali kepada Islam sejati dan meninggalkan segala bentuk praktek keagamaan yang menyimpang dari tuntunan al-Qur'an dan As-Sunnah.
2. Membuka kembali pintu ijtihad.
Jika AL-Qur'an dan As-Sunnah merupakan sumber hakiki dan sempurna sebagai pedoman, maka sumber-sumber selain kedua sumber tersebut tidak wajib diikuti secara mutlak.Proses Ijtihad adalah menggunakan segenap kemampuan intelektualnya melalui kedalaman ilmu untuk menggali hikmah yang terkandung dalam ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jika AL-Qur'an dan As-Sunnah merupakan sumber hakiki dan sempurna sebagai pedoman, maka sumber-sumber selain kedua sumber tersebut tidak wajib diikuti secara mutlak.Proses Ijtihad adalah menggunakan segenap kemampuan intelektualnya melalui kedalaman ilmu untuk menggali hikmah yang terkandung dalam ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah.
D.
Metodelogi
Tajdid
1.
Metode
2.
Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan
pendekatan kebahasaan
3.
Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum
yang menggunakanpendekatan penalaran
4.
Istislahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang
menggunakan pendekatan kemaslahatan
2. Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiah adalah :
1.
Al-Tafsir al-ijtima’i al-ma’asir (hermeneutik)
2.
Al-Tarikhiyyah (historis)
3.
Al-Susiulujiyah (sosiologis)
4.
Al-Antrufulujiyah (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang
digunakan dalam menetapkan hukum adalah :
1.
Ijmak
2.
Qiyas
3.
Mashalih Mursalah
4.
Urf
E.
Ta’arudh Al-Adillah
1.
Ta’arudh Al-Adillah adalah pertentangan beberapa dalil
yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.
2.
Jika terjadi ta’arudh diselesaikan dengan urutan
cara-cara sebagai berikut :
1.
Al-Jam’u wa al-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil
yang walaupun dhairnya ta’arudh. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi
kebebasan untuk memilihnya (tahyir).
2.
Al-Tarjih, yakni memilih dalilyang lebih kuat untuk
diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah.
3.
Al-Naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih
akhir.
4.
Al-Tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap
dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
4.
Metode Tarjih terhadap Nas
Pentarjihan
terhadap nash dilihat dari beberapa segi :
1.
sanad
1.
kualitas maupun kuantitas rawi
2.
bentuk dan sifat periwayatan
3.
sighat al-tahamul wa al-ada’
2.
Segi matan
1.
Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari
sighat amr
2.
Matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari
sighat ‘am
3.
Segi Materi hokum
4.
Segi Eksternal
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami
perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru
pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan
ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam
pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian
pada pase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan
masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ketiga,
menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah.
Dan
yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi,
pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan
terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya
yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal
syahadah.
B.
Saran
Tajdid atau
pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan
oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama
yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat.
Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas
cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang sebenarnya.
Disinilah
peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran –
pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan kehidupan
tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al –
Qur’an dan Hadist.
Daftar
Pustaka
1. Ahmad
Baso, Kritik Nalar Al-Jabiri : Sumber,
Batas-batas, dan Manifestasi, Jurnal Teks, Vol. I Tgl. 1 Maret 2002,
2. Azhar
Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, 1993, MIZAN, Bandung.
3. Hendar
Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam
Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, edisi Senin 24 Februari 2003.
4. Ibnu
Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis,
1998, LSI UMS, Yogyakarta.
5. M.
Amin Abdullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Ke Arah
Perubahan Paradigma Kitab Suci, Jurnal Al-JAmiah Vol. 39, Juli-Desember
7. ya/muhammadiyah.or.id
8. Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Meret 2015
9. Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Maret
2015