Saturday, March 14, 2015

MAKALAH TAJDID

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fenomena tajdid, sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Islam lahir dan akan terus berlangsung hingga sekarang ini. Mujadid sebelum Islam adalah para Nabi yang telah dibebani tugas tajdid. Peristiwa ini telah diisyaratkan dalam hadits Nabi saw., beliau bersabda: “Yang membimbing Bani Israil adalah para Nabi, tatkala Nabi yang satu wafat maka Nabi yang lain akan datang menggantikannya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tajdid yang mereka lakukan bukan pada ranah ushul agama, melainkan pada syariatnya saja. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. yang telah memberikan keringanan syariatnya Bani Israil.
Dan Islam adalah agama terakhir yang pernah ada dimuka bumi hingga akhir nanti. Islam sendiri juga telah melakukan tajdid atas agama-agama sebelumnya. Jika mujadid adalah para Nabi, maka apakah mungkin saat ini akan ada mujadid baru mengingat Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi.? Jika demikian, maka yang pasti akan meneruskan mata rantai mujadid adalah ulama. Mengapa demikian? Karena ulama adalah pewaris Nabi, mereka dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan Nabinya Bani Israil dalam hal mengemban tugas tajdid seperti sabda Nabi: “Ulamanya umatku seperti Nabinya Bani Israil”. Lantas seperti apakah tajdid selepas Nabi Muhammad saw itu akan diulas berikut ini.
B.     Pengertian Tajdid
Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
Adapun tajdid secara terminologi adalah (1) Menghidupkan/ihya’ dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran agama Islam yang telah luntur atau terlupakan. (2) Beramal sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. (3) Membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali di sini memiliki arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang telah banyak luntur agar kembali hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi Muhammad saw. Adapun maksud dari membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah melakukan ijtihad agar keduanya dapat dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini pernah dilakukan oleh Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud mengutusnya ke Yaman beliau bertanya:.
Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
C.    Landasan Dan Teori Ide Tajdid
Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
.Artinya: "Sungguh, iman itu dapat usang sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim.)
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله.
Artinya: “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( HR. Ibnu Hanbal )




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Akar Historis Tajdid Pada Masa Klasik
Membagi Sejarah Perkembangan Peradaban Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik 650-1250 M, dibagi dalam dua masa : Masa kemajuan Islam I 650-100 b .masa disintegrasi 1000 - 1250 M Jejak tajdid pemikiran Islam klasik2 dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik (turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian.Turats itu dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini.Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan khasanah keilmuannya.
Pada era Sahabat,bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan tuntutan realitas.Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut berperang,tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim.
Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal).Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara,yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi. Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5).Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaumMuslimah. Tajdid adalah suatu keniscayaan. Dan ia adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Semua yang ada disekitar manusia melakukan tajdid, karena hidup senantiasa bergerak progresif.
Demikian juga waktu yang terus berputar. Ia juga melakukan tajdid. Waktu yang telah berlalu berbeda dengan waktu sekarang dan yang akan datang. Dengan begitu, permasalahan baru senantiasa muncul dan membutuhkan legitimasi hukum yang kuat dari ajaran islam, baik permasalahan politik, ekonomi maupun sosial.
Disamping itu, pengembangan serta pengamalan ajaran Islam itu sendiri, seiring bergantinya zaman juga semakin lesu dan tidak bergairah, sehingga ajaran Islam nyaris lenyap tak tersisa. Karena itulah, tajdid sangat diperlukan guna membangkitkan kembali gairah dan semangat keagamaan. Sehingga dengan itu, Islam akan senantiasa sholih di segala zaman dan tempat.
B.     Latar Belakang Munculnya Tajdid
      Ada dua aspek yang melandasi kemunculan tajdid dalam Islam antara lain:
1. Aspek Teologis
Aspek Teologis adalah landasan atau dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan tajdid.Dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukkan digali dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-qur'an dan As-Sunnah sebagai penjelas yang dipahami dengan akal pikiran.
2. Aspek Historis
Aspek historis ialah tantangan-tantangan dan respon yang dimunculkan umat Islam pada kurun waktu tertentu.Nabi Muhammad SAW adalah seorang Mujaddid, bila kita melihat dari sisi bahwa Nabi Muhammad SAW.
     Menurut Drs. Syaikhul Hadi Permana MA adalah keterbelakangan kondisi umat Islam sejak abad ke-12 sampai dengan abad ke-19, bahkan sampai dengan sekarang. Faktor-faktor penyebab keterbelakangan umat Islam sepanjang sejarah berbeda-beda dan tidak hanya satu faktor, tetapi beberapa faktor secara kumulatif akan tetapi faktor-faktor itu tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut:
  1. Ambisi perebutan kekuasaan (perpecahan politik)
  2. Kemorosotan moral terutam pada penguasa yang melenyapkan identitas muslim, korupsi, kemewahan hidup, sistem feudal yang menguasai tanah yang sangat luas
  3. Politik adu domba yang dilancarkan pihak lain
  4. Kurang atau tidak mengamalkan ajaran agamanya (lemah iman)
  5. Kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi.
     Kesemuanya itu kalau diringkas ada 3 penyebab, yaitu perpecahan, dekadensi moral dan kebodohan. Untuk itu perlu adanya toleransi internal, peningkatan pendidikan dan pengajaran terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tajdid dalam konteks ini diberi makna pembaruan, atau mondernisasi
C.    Tema-Tema Tajdid dalam Islam
     Tema pembaharuan dalam Islam yang disuarakan oleh para pembaru adalah :
1.      Kembali kepada AL-Qur'an dan Sunnah
Seruan para pembaharu Islam kepada Ummatnya untuk Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah dimaksudkan agar mereka kembali kepada Islam sejati dan meninggalkan segala bentuk praktek keagamaan yang menyimpang dari tuntunan al-Qur'an dan As-Sunnah.
2.      Membuka kembali pintu ijtihad.
Jika AL-Qur'an dan As-Sunnah merupakan sumber hakiki dan sempurna sebagai pedoman, maka sumber-sumber selain kedua sumber tersebut tidak wajib diikuti secara mutlak.Proses Ijtihad adalah menggunakan segenap kemampuan intelektualnya melalui kedalaman ilmu untuk menggali hikmah yang terkandung dalam ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah.
D.    Metodelogi Tajdid
1.      Metode
2.      Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan
3.      Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakanpendekatan penalaran
4.      Istislahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan
2.      Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiah adalah :
1.      Al-Tafsir al-ijtima’i al-ma’asir (hermeneutik)
2.      Al-Tarikhiyyah (historis)
3.      Al-Susiulujiyah (sosiologis)
4.      Al-Antrufulujiyah (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah :
1.      Ijmak
2.      Qiyas
3.      Mashalih Mursalah
4.      Urf
E.     Ta’arudh Al-Adillah
1.      Ta’arudh Al-Adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.
2.      Jika terjadi ta’arudh diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut :
1.      Al-Jam’u wa al-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun dhairnya ta’arudh. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (tahyir).
2.      Al-Tarjih, yakni memilih dalilyang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah.
3.      Al-Naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
4.      Al-Tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
4. Metode Tarjih terhadap Nas
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi :
1.      sanad
1.      kualitas maupun kuantitas rawi
2.      bentuk dan sifat periwayatan
3.      sighat al-tahamul wa al-ada’
2.      Segi matan
1.      Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr
2.      Matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari sighat ‘am
3.      Segi Materi hokum
4.      Segi Eksternal

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah.
Dan yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
B.     Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang  sebenarnya.
Disinilah peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran – pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan kehidupan tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al – Qur’an dan Hadist.




Daftar Pustaka

1.      Ahmad Baso, Kritik Nalar Al-Jabiri : Sumber, Batas-batas, dan Manifestasi, Jurnal Teks, Vol. I Tgl. 1 Maret 2002, 
2.      Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, 1993, MIZAN, Bandung.
3.      Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, edisi Senin 24 Februari 2003.
4.      Ibnu Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, 1998, LSI UMS, Yogyakarta.
5.      M. Amin Abdullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Ke Arah Perubahan Paradigma Kitab Suci, Jurnal Al-JAmiah Vol. 39, Juli-Desember
7.      ya/muhammadiyah.or.id
8.      Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Meret 2015
9.      Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Maret 2015


MAKALAH TAJDID

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fenomena tajdid, sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Islam lahir dan akan terus berlangsung hingga sekarang ini. Mujadid sebelum Islam adalah para Nabi yang telah dibebani tugas tajdid. Peristiwa ini telah diisyaratkan dalam hadits Nabi saw., beliau bersabda: “Yang membimbing Bani Israil adalah para Nabi, tatkala Nabi yang satu wafat maka Nabi yang lain akan datang menggantikannya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tajdid yang mereka lakukan bukan pada ranah ushul agama, melainkan pada syariatnya saja. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. yang telah memberikan keringanan syariatnya Bani Israil.
Dan Islam adalah agama terakhir yang pernah ada dimuka bumi hingga akhir nanti. Islam sendiri juga telah melakukan tajdid atas agama-agama sebelumnya. Jika mujadid adalah para Nabi, maka apakah mungkin saat ini akan ada mujadid baru mengingat Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi.? Jika demikian, maka yang pasti akan meneruskan mata rantai mujadid adalah ulama. Mengapa demikian? Karena ulama adalah pewaris Nabi, mereka dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan Nabinya Bani Israil dalam hal mengemban tugas tajdid seperti sabda Nabi: “Ulamanya umatku seperti Nabinya Bani Israil”. Lantas seperti apakah tajdid selepas Nabi Muhammad saw itu akan diulas berikut ini.
B.     Pengertian Tajdid
Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
Adapun tajdid secara terminologi adalah (1) Menghidupkan/ihya’ dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran agama Islam yang telah luntur atau terlupakan. (2) Beramal sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. (3) Membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali di sini memiliki arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang telah banyak luntur agar kembali hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi Muhammad saw. Adapun maksud dari membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah melakukan ijtihad agar keduanya dapat dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini pernah dilakukan oleh Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud mengutusnya ke Yaman beliau bertanya:.
Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
C.    Landasan Dan Teori Ide Tajdid
Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
.Artinya: "Sungguh, iman itu dapat usang sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim.)
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله.
Artinya: “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( HR. Ibnu Hanbal )




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Akar Historis Tajdid Pada Masa Klasik
Membagi Sejarah Perkembangan Peradaban Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik 650-1250 M, dibagi dalam dua masa : Masa kemajuan Islam I 650-100 b .masa disintegrasi 1000 - 1250 M Jejak tajdid pemikiran Islam klasik2 dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik (turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian.Turats itu dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini.Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan khasanah keilmuannya.
Pada era Sahabat,bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan tuntutan realitas.Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut berperang,tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim.
Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal).Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara,yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi. Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5).Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaumMuslimah. Tajdid adalah suatu keniscayaan. Dan ia adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Semua yang ada disekitar manusia melakukan tajdid, karena hidup senantiasa bergerak progresif.
Demikian juga waktu yang terus berputar. Ia juga melakukan tajdid. Waktu yang telah berlalu berbeda dengan waktu sekarang dan yang akan datang. Dengan begitu, permasalahan baru senantiasa muncul dan membutuhkan legitimasi hukum yang kuat dari ajaran islam, baik permasalahan politik, ekonomi maupun sosial.
Disamping itu, pengembangan serta pengamalan ajaran Islam itu sendiri, seiring bergantinya zaman juga semakin lesu dan tidak bergairah, sehingga ajaran Islam nyaris lenyap tak tersisa. Karena itulah, tajdid sangat diperlukan guna membangkitkan kembali gairah dan semangat keagamaan. Sehingga dengan itu, Islam akan senantiasa sholih di segala zaman dan tempat.
B.     Latar Belakang Munculnya Tajdid
      Ada dua aspek yang melandasi kemunculan tajdid dalam Islam antara lain:
1. Aspek Teologis
Aspek Teologis adalah landasan atau dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan tajdid.Dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukkan digali dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-qur'an dan As-Sunnah sebagai penjelas yang dipahami dengan akal pikiran.
2. Aspek Historis
Aspek historis ialah tantangan-tantangan dan respon yang dimunculkan umat Islam pada kurun waktu tertentu.Nabi Muhammad SAW adalah seorang Mujaddid, bila kita melihat dari sisi bahwa Nabi Muhammad SAW.
     Menurut Drs. Syaikhul Hadi Permana MA adalah keterbelakangan kondisi umat Islam sejak abad ke-12 sampai dengan abad ke-19, bahkan sampai dengan sekarang. Faktor-faktor penyebab keterbelakangan umat Islam sepanjang sejarah berbeda-beda dan tidak hanya satu faktor, tetapi beberapa faktor secara kumulatif akan tetapi faktor-faktor itu tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut:
  1. Ambisi perebutan kekuasaan (perpecahan politik)
  2. Kemorosotan moral terutam pada penguasa yang melenyapkan identitas muslim, korupsi, kemewahan hidup, sistem feudal yang menguasai tanah yang sangat luas
  3. Politik adu domba yang dilancarkan pihak lain
  4. Kurang atau tidak mengamalkan ajaran agamanya (lemah iman)
  5. Kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi.
     Kesemuanya itu kalau diringkas ada 3 penyebab, yaitu perpecahan, dekadensi moral dan kebodohan. Untuk itu perlu adanya toleransi internal, peningkatan pendidikan dan pengajaran terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tajdid dalam konteks ini diberi makna pembaruan, atau mondernisasi
C.    Tema-Tema Tajdid dalam Islam
     Tema pembaharuan dalam Islam yang disuarakan oleh para pembaru adalah :
1.      Kembali kepada AL-Qur'an dan Sunnah
Seruan para pembaharu Islam kepada Ummatnya untuk Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah dimaksudkan agar mereka kembali kepada Islam sejati dan meninggalkan segala bentuk praktek keagamaan yang menyimpang dari tuntunan al-Qur'an dan As-Sunnah.
2.      Membuka kembali pintu ijtihad.
Jika AL-Qur'an dan As-Sunnah merupakan sumber hakiki dan sempurna sebagai pedoman, maka sumber-sumber selain kedua sumber tersebut tidak wajib diikuti secara mutlak.Proses Ijtihad adalah menggunakan segenap kemampuan intelektualnya melalui kedalaman ilmu untuk menggali hikmah yang terkandung dalam ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah.
D.    Metodelogi Tajdid
1.      Metode
2.      Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan
3.      Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakanpendekatan penalaran
4.      Istislahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan
2.      Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiah adalah :
1.      Al-Tafsir al-ijtima’i al-ma’asir (hermeneutik)
2.      Al-Tarikhiyyah (historis)
3.      Al-Susiulujiyah (sosiologis)
4.      Al-Antrufulujiyah (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah :
1.      Ijmak
2.      Qiyas
3.      Mashalih Mursalah
4.      Urf
E.     Ta’arudh Al-Adillah
1.      Ta’arudh Al-Adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.
2.      Jika terjadi ta’arudh diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut :
1.      Al-Jam’u wa al-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun dhairnya ta’arudh. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (tahyir).
2.      Al-Tarjih, yakni memilih dalilyang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah.
3.      Al-Naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
4.      Al-Tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
4. Metode Tarjih terhadap Nas
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi :
1.      sanad
1.      kualitas maupun kuantitas rawi
2.      bentuk dan sifat periwayatan
3.      sighat al-tahamul wa al-ada’
2.      Segi matan
1.      Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr
2.      Matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari sighat ‘am
3.      Segi Materi hokum
4.      Segi Eksternal

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah.
Dan yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
B.     Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang  sebenarnya.
Disinilah peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran – pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan kehidupan tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al – Qur’an dan Hadist.




Daftar Pustaka

1.      Ahmad Baso, Kritik Nalar Al-Jabiri : Sumber, Batas-batas, dan Manifestasi, Jurnal Teks, Vol. I Tgl. 1 Maret 2002, 
2.      Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, 1993, MIZAN, Bandung.
3.      Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, edisi Senin 24 Februari 2003.
4.      Ibnu Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, 1998, LSI UMS, Yogyakarta.
5.      M. Amin Abdullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Ke Arah Perubahan Paradigma Kitab Suci, Jurnal Al-JAmiah Vol. 39, Juli-Desember
7.      ya/muhammadiyah.or.id
8.      Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Meret 2015
9.      Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Maret 2015


Saturday, March 7, 2015

PERAN PEMUDA DALAM TOLERANSI ANTAR IMAN

Toleransi Antar Iman di Indonesia
“Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Kutipan dari Gus Dur ini yang menjadi salah satu inspirasi terbesar saya dan kawan-kawan Forum Pemuda Lintas Iman Sukabumi (FOPULIS) untuk menyebarkan toleransi melalui dialog antar umat beriman. Berbicara kepercayaan di Indonesia, berarti kita berbicara lebih luas dari 6 agama besar di Indonesia. Indonesia memiliki beberapa    agama  dan puluhan mungkin ratusan kepercayaan lainnya.  Hanya saja yang dilayani oleh pemerintah hanya 6 agama besar, dan akhirnya masyarakat pada umumnya hanya mengetahui 6 agama itu  saja. Inilah awal dari ketidakpahaman sebagian  besar masyarakat Indonesia akan keberagaman iman  menurut saya.  Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan  iman  yang ada dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa, dimana para penganut agama/iman  yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling belajar, saling memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing. Keberagaman yang ada  tidak perlu dipertentangkan, tetapi harus dilihat dari sudut pandang positif dan dijadikan sebagai kekayaan dari bangsa Indonesia. Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai, saling menghargai,saling membantu dan saling mengasihi.  Namun dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan agama dan iman dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Dibanyak tempat di Indonesia telah terjadi konflik yang menelan banyak korban jiwa  dan harta benda, serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan diberbagai  bidang. Hal tersebut terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah unsur-unsur keagamaan dijadikan sebagai pemicu dan sasaran penghancuran dalam konflik tersebut. Bahkan ada orang-orang tertentu yang menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar atau  alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan orang-orang yang beragama lain. Kenyataan bahwa unsur-unsur keagamaan dijadikan sebagai pemicu konflik, baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional akhir-akhir  ini. Kejadian ini tentu sangat memprihatinkan dan mencemaskan banyak orang, terutama bagi kita bangsa Indonesia umumnya memiliki berbagai jenis suku, agama dan adat istiadat. Persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan, perdamaian dan ketenteraman akan terancam, terganggu jika hal  ini tidak dapat diatasi. Banyak orang cemas akan ancaman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, atau akan terjadinya disintegrasi bangsa, yang dipicu dengan isu agama. Maka kita sebagai pemuda perlu memberi perhatian khusus pada permasalahan yang ada, mendalami serta mengupayakan langkah-langkah  penyelesaian maupun antisipasi. Perlu diupayakan peningkatan akan pemahaman,  implementasi dan pelestarian akan wawasan kebangsaan kita seperti tersurat dan tersirat dalam falsafah bangsa Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. 

Pemuda dan Peranannya
Jika mengacu pada ketentuan PBB, jumlah pemuda Indonesia sesuai hasil Sensus Penduduk 2010 mencapai 40,8 juta orang atau 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu yang mencapai 237,6 juta jiwa. Maka,  peranan pemuda sangat penting pada saat ini ataupun dimasa yang akan datang. Sehingga, jika pemuda sejak dini sudah mengerti apa yang dibutuhkan oleh bangsanya maka akan berdampak baik untuk kedepannya. Indonesia adalah bangsa yang memiliki berbagai jenis agama, suku dan ras. Maka pemuda Indonesia harus mengerti dan memahami apa itu keberagaman dan bagaimana cara hidup di dalamnya. Salah satunya mengerti dan mengimplementasikan toleransi akan keberagaman tersebut.  Tetapi,  pada kenyataanya masih banyak pemuda Indonesia yang belum  memahami dan mengimplementasikan  toleransi  tersebut.  Seringakali pemuda A membandingkan agamannya dengan agama B atau ingin mengetahui agama A tetapi bertanya kepada pemuka agama B sehingga  terjadi kekeliruan.  Karena setiap agama memiliki  kebenaran masing-masing dan agama bukan untuk diperbandingkan. Pemuda yang mengerti akan toleransi antar umat beriman yang akan menjadi kuncinya.  Maka, dibutuhkan kegiatan yang bertujuan untuk membuka wawasan pemuda yang ada di Indonesia. Salah satu kegiatan yang telah kita lakukan adalah  mengadakan kegiatan nasional yang bertemakan semangat toleransi yaitu, Interfaith Youth Forum  pada bulan September  2012 di kota Palembang.  Kegiatan ini dihadiri oleh 40 pemuda dari berbagai agama serta  berasal dari berbagai universitas di Indonesia.  Road Show CINTA Indonesia (Committee for Interfaith Tolerance) di 5 kota Indonesia (Malang, Palembang, Manado, Lombok dan Jakarta) sejak Januari – Februari 2013 dan baru saja terlaksana di Ambon pada September 2013 ini serta di Yogyakarta pada bulan Oktober 2013 nanti. Kegiatan ini sangat membuka wawasan tentang pentingnya toleransi antar umat beragama.  Kegiatan ini merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membangun semangat para pemuda Indonesia untuk hidup saling berdampingan dan saling menghargai walaupun berasal dari berbagai agama serta menjelaskan bagaimana cara berdialog yang baik dan benar. Dialog bukan berdebat. Watak khas dari dialog ialah kelapangan hati untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan kehendak. Dalam terminologi Pancasila, kita menyebutnya musyawarah. Perdebatan, seperti debat calon presiden, mencari argumentasi yang paling unggul. Perlu digaris bawahi, dialog lebih pas digunakan untuk menggali wacana, bukan mengambil keputusan praktis. Tidak banyak orang yang menganggap harmonisasi dalam dialog ini adalah kegiatan yang layak diseriusi. Dialog ini tidak mendatangkan keuntungan pragmatis. Kebutuhan dan minat setiap individu dalam memahami agama lain bisa jadi berbeda-beda. Dulu  ketika  saya  masih kecil, saya  mengira kalau umat Hindu dan Budha itu menyembah berhala. Tetapi pemikiran saya itu berubah  setelah saya langsung bertanya dan berdialog kepada umat Hindu dan Budha. Saya jadi paham bahwa dengan mempelajari agama lain dan bertanya kepada orang yang tepat, kita akan  semakin rendah hati menemukan nilai kebenaran yang kita yakini juga dimiliki kelompok lain. Saya juga menemukan ajaran Budha yang indah, jika kamu menghina agama orang lain, kamu menghina agamamu sendiri. Sebab agama tak pernah mengajarkan energi kemarahan  dan  kejahatan. Ini perlu direnungkan oleh seluruh umat beragama. Kegiatan seperti ini sangat positif, dimana tidak ada ketakutan atapun prasangka antar umat beragama dalam kegiatan ini. Seluruh  peserta merasa damai dan saling mengerti.  Ini  adalah gambaran kecil bagaimana seharusnya perdamaian  tercipta di  Indonesia.  Para pemuda yang telah mengikuti kegiatan ini dapat menyalurkan atau menyebarkan  perdamaian di tempat mereka masing-masing.  Semakin  banyak yang mengerti akan hal ini, maka semakin mudah untuk menyuarakan perdamaian di Indonesia. Bukan konflik agama yang terjadi di Indonesia namun konflik antar-umat beragama. Agama tidak salah.

Friday, March 6, 2015

PANDANGAN ISLAM TENTANG TOLERANSI

Agama Islam yang bersumber dari Kalam Allah dan Sunnah Rosulillah serta berisi ajaran dan nilai-nilai fundamental, ternyata tidak bisa lepas dari persoalan interpre¬tasi, yang pada gilirannya memunculkan keragaman pandangan. Interpretasi ini merupakan manifestasi dari keinginan manusia untuk memahami dan memperkokoh keyakinan akan kebenaran agamanya melalui aktualisasi diri dalam aspek fikir, dzikir, dan amal sholeh.
Timbulnya keragaman pandangan dalam beragama adalah sesuatu yang wajar dan absah adanya. Kondisi ini terjadi karena manusia tidak mampu berhadapan langsung dengan Allah untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendaki dalam firman-firman-Nya yang tertuang dalam kitab suci dengan benar sesuai dengan kehendak dan ilmuNya jika menghadapi kesulitan pemahaman.
Keragaman pemahaman dan penafsiran tersebut pada gilirannya memunculkan pola-pola artikulasi keberagamaan, yang oleh Cak Nur dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) aliran, yaitu: (1) kelompok fundamental yang cenderung sangat literal, dan/atau ketaatan formal dan hukum agama dieks¬presikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan atau gerakan-gerakan keagamaan; (2) kelompok liberal yang lebih mementingkan substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit dengan memberikan tafsir teks-teks agama secara terbuka; dan (3) kelompok moderat yang lebih menekankan pada pemikiran agama secara toleran dan menghargai perbedaan pemikiran dalam beragama. Kelompok Islam moderat ini sering juga disebut dengan Islam tawasuth atau Islam toleran, yang mencoba mencari penafsiran secara seimbang antara teks-teks kitab suci dengan realitas sosial.
Klaim kebenaran bagi setiap kelompok agama adalah suatu keniscayaan, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan sosial, politik, dan budaya tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap pemeluknya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang jelas, konkrit, dan rasional. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai umat yang baik, loyal, tanggungjawab, dan bahkan siap meng”infaq”kan jiwa dan raga untuk berjuang dan berkorban demi agamanya kalau memang diperlukan.
Namun demikian, jika klaim kebenaran difahami secara emosional dan segmentatif, maka akan menimbulkan banyak masalah. Sejarah telah mengabarkan kepada kita bahwa adanya perselisihan, pertikaian, konflik dan peperangan antar komunitas agama baik di kawasan Asia, Afrika, Eropa, maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran yang melebar memasuki wilayah sosial, politik, dan budaya yang bersifat praktis-pragmatis.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat dewasa ini adalah kurangnya memahami Islam secara toleran, sehingga Islam belum menjadi rahmatan li al’alamin. Islam sebagai agama, seringkali dipahami sebatas ritual yang tidak bersentuhan dengan kehidupan duniawi. Padahal Islam kaya dengan berbagai argumen untuk hidup seimbang antara ibadah dan muamalah, antara keshalehan sosial dan keshalehan individual, berkah dan berbagi, serta selalu menghargai pendapat orang lain. Akibat dari pemahaman Islam yang segmentatif tersebut seringkali menjadi faktor penyebab utama dari gerakan radikalisasi agama.
Gerakan radikalisasi agama, semakin lama semakin massif mempertontonkan aksinya. Banyak kejadian pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang disebabkan oleh sentimen agama dan pemahamaan agama secara segmentatif. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan semangat kebangsaan yang menghargai pluralitas dan toleransi, yang menjamin setiap warga negara untuk hidup tenang dan damai dalam menjalankan aktifitas beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kalau kita telusuri secara seksama, dalam ajaran Islam kita terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan tertinggi/termulia (Q.S. al-Tin: 5), serta diciptakan dalam kesucian (fitrah), sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Di sisi lain, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang dlaif (Q.S. al-Nisa': 28), sehingga setiap manusia mempunyai potensi salah. Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada sikap dan perilaku seorang muslim yang berhak menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai pendapat serta pandangan orang lain, tidak men”tuhan”kan pendapatnya sendiri, serta tidak mengembangkan sistem kultus individu, fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada Allah semata.
Apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, juga dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual, skriptural, dan segmentatif karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru, dosen, dan tokoh agama yang bersifat normatif-doktriner serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai faktor pemecah-belah. Suatu hal yang ironi di alam kemerdekaan sekarang ini. Untuk itu, yang perlu ditumbuhkan sekarang adalah membangun pemikiran keagamaan yang toleran, agar cita-cita menjadikan Islam sebagai rahmatan li al’alamin dapat terwujud dengan baik di dunia umumnya dan di bumi pertiwi pada khususnya. Semoga.
Pancasila, Agama dan Toleransi
“Kekerasan tidak lain adalah komunikasi bisu par excellence” (Hannah Arendt).
Setiap 1 Juni mengunjungi kalender nasional, sebuah kata yang sangat akrab otomatis tertayang di benak kita. Pancasila! Pada hari itu Bung Karno menyampaikam pidato monumental berjudul “Lahirnya Pancasila” di depan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPK; Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Pancasila sudah banyak dibicarakan, dibahas dan diteriakkan, malah pada masa Orba sering ditampilkan sebagai sesuatu yang dijejalkan dan kadang sebagai alasan represi. Namun, bagaimana nasibnya kini? Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Konflik-konflik menjadi berita harian mulai dari konflik dan tawuran antar pelajar, antar pendukung klub sepakbola, antar penduduk desa dan kampung, antar massa pendukung calon bupati, antar suku hingga konflik antar elite kekuasaan. Meski kita bangga Presiden SBY menerima penghargaan atas prestasinya sebagai presiden paling toleran sedunia, hingga detik ini belum terlihat sebuah fenomena yang mencerminkannya. Ada banyak contoh termasuk penyerangan dan pengusiran warga Syiah di Sampang yang sampai saat ini “terpenjara” dalam GOR. Percik noda seperti ini yang harus dibersihkan dari Pancasila.
Agama dan Kebangsaan
Agama (Islam sebagai agama mayoritas) sering kali dibenturkan dengan kebangsaan. Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan kebangsaan didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, 1) Pencampur-adukan pengertian ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian ‘umat’ (ummah); 2) Trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam atau sikap negative orang-orang yang mengaku beragama; 3) Ketidakmampuan membedakan antara kebangsaan yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat.
Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbedai. Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad). Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.
Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.
Pandangan ini memang secara tidak langsung mengkonfirmasi pemisahan agama dan negara. Tapi nampaknya dalam masayarakat yang heterogen, itu bisa dianggap opsi yang cukup logis.
Pengunaan agama tertentu atau pandangan kemazhaban dalam masyarakat majemuk sebagai dasar berbangsa akan mengantarkan negara ini ke dalam tirani atas nama agama atau mazhab. Lebanon, misalnya, yang secara konsitusional dibangun atas sistem pembagian kekuasaan berdasarkan etnik dan agama juga sekte, adalah negara yang tdk mungkin bisa diarahkan menjadi negara yang berasas satu agama apalagi mazhab.
Hezbollah yang semula menginginkan penerapan sistem Islam di lebanon selatan, harus realistis dengan mentransformasi ideologi atau strategi ideologisnya menjadi salah satu elemen dan gerakan politik yang selaras dengan realitas kemajumukan. Hezbollah pun tak lagi mengangkat jargon negara Islam, namun nasionalisme yang koheren dengan hak setiap komunitas melaksanakan keyakinannya dengan asas konstitusi.
Intoleransi
Kekerasan atas nama agama dan aliran adalah bentuk paling purba dari intoleransi. Ia tak selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul sebagai sebuah sikap personal. Kadang muncul sebagai pilihan komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, Kadang pula diyakini secara naïf sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Intoleransi biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang tidak menerimanya.
Dari sinilah, intoleransi berpeluang mengalami ekspansi makna. Intoleransi keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. Intoleransi sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama.
Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak.
Intoleransi berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di luar lingkarannya.
Realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat manusia intoleran menjadi gamang dan paranoid. Ia menganganggap setiap gagasan yang berbeda sebagai ancaman. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secara ekstrem dan skriptural, ia merasa harus membasminya dengan kekerasan baik verbal maupun fisik sembari berharap perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.
Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu menjustifikasi intoleransi sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya. Atas nama “fatwa”, manusia yang lugu dan santun menjadi beringas dan sadis.
Selama masih ada lembaga di luar struktur Negara yang mengambil peran Pemerintah dan Tuhan yang menjadi pusat pembibitan intoleransi di negeri ini, maka Peringatan Hari kelahiran Panacasila belum memberikan makna yang berarti.

SURAT LAMARAN KERJA

Sukabumi . 17 Februari 2017 Perihal : Lamaran Kerja Lam     : - KepadaYth : Bapak/ibu Bagian Personalia/HRD PT.  ANGIN RI...