Thursday, July 30, 2015

ANTARA WAHDATUS SYUHUD DAN MANUNGGALING

Waktu mengikuti kuliah Filsafat Manusia pak Damardjati Supajar (1987), pada bab mengenai roh beliau memberi semacam rambu atau wacana jika hendak merefleksikan tentang Tuhan. Rambu itu adalah dimensi titik-garis-bidang-ruang-pribadi-Pribadi.
Garis adalah jarak antara dua titik, tetapi berapapun banyaknya titik, ia tetap tidak akan menjadi garis karena dimensinya berbeda. Bidang terdiri dari beberapa garis, tetapi berapapun banyaknya garis, ia tetap tidak akan menjadi bidang karena dimensinya berbeda. Ruang terdiri dari beberpa bidang, tetapi berapapun banyaknya bidang, tetap tidak akan menjadi ruang karena dimensinya berbeda. Sebagai pribadi, manusia terdiri dari berbagai ruang, tetapi berapapun banyaknya ruang, ia tetap tidak akan menjadi pribadi. Seunggul-unggulnya pribadi, ia tetaplah pribadi dan tak akan pernah bisa menjangkau Pribadi (dengan P huruf besar).
Sampai di sini, apakah akal manusia tidak bisa menjangkau keberadaan Tuhan? Saya tetap berpandangan bahwa kita bisa berbicara tentang Tuhan, artinya akal mampu, setidaknya mampu menetapkan apa yang dapat dikatakan tentang Tuhan dan apa yang tidak dapat dikatakan. Dalam hal ini bukan berarti akal hendak membuktikan adanya Tuhan, tetapi membuktikan bahwa ada dasar yang kuat untuk percaya. Dengan demikian akal membuka ruang untuk iman. Yang perlu diingat adalah Tuhan tidak dicipakan oleh akal manusia, melainkan ditemukan oleh akal, sebab Tuhan sudah selalu di sana, tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya.
Kembali pada dimensi titik garis tadi, ketika kita secara berurutan menangkap titik-garis-bidang-ruang dalam akal kita, apakah terpikirkan juga di mana titik-garis-bidang-ruang itu menampak? Tentu saja titik-garis-bidang-ruang menampak pada suatu (katakanlah) bidang. Pada saat itu saya mengambil kesimpulan bahwa seluruh jagad raya ini berada di dalamNya. Dalam bahasa Eksistensialsme, Tuhan adalah sesuatu yang melingkupi. Dalam jenis kepercayaan disebut panteisme.
Persamaan panteisme dan monisme adalah bahwa segala sesuatu adalah tunggal adanya. Perbedaannya, dalam monisme Tuhan terlebur dalam dunia. Dunia merupakan ada yang tunggal dan mutlak. Karena sifatnya yang mutlak itu, maka dunia masih dapat disebut dengan nama Tuhan. Sedangkan dalam panteisme, dunia melebur dalam Tuhan. Dunia merupakan bagian dari hakikatNya.
Pertanyaan "Apakah Tuhan ada?" dan "Bagaimana Tuhan?", oleh agnotisisme tidak dijawab. Oleh ateisme disangkal. Oleh monoteisme (Yahudi, Kristen, ISlam), dijawab sedikit. Oleh monisme-panteisme dijawab secara penuh. Monisme-panteisme terlalu banyak mengetahui tentang Tuhan, dan Tuhan tidaklah sungguh-sungguh transenden.
Lalu di manakah keberadaan Tuhan? Dalam monoteisme-islam, inilah yang dilakukan para sufi, dengan tasawufnya mereka mencari titik wahdatus syuhud, kesatuan dalam penyaksian. Meskipun antara Tuhan dan manusia berada dalam satu titik, tetapi tetap ada yang menyaksikan dan yang disaksikan. Semanunggal-manunggalnya antara manusia dan Tuhan, tetap ada jarak yang tak terjembatani antara keduanya. Tuhan ya Tuhan, manusia ya manusia.
Konsep wahdatus syuhud ini diserap oleh pandangan kebatinan orang jawa menjadi manunggaling kawulo gusti Syekh Siti Jenar. Melalui pandangan panteistik inilah kepercayaan jawa bisa menyerap agama Islam. Dan sebaliknya agama Islam bisa tumbuh subur di Jawa.
Secara kasar dapat dikatakan bahwa dalam Islam, Tuhan bersifat person dan bersinggasana di arsy-nya dan tetap transenden. Sedangkan dalam panteisme, manusia dan Tuhan melebur jadi satu, seluruh kosmos itu illahi, Tuhan tidak lagi transenden.

No comments:

Post a Comment

SURAT LAMARAN KERJA

Sukabumi . 17 Februari 2017 Perihal : Lamaran Kerja Lam     : - KepadaYth : Bapak/ibu Bagian Personalia/HRD PT.  ANGIN RI...