Akhir-akhir ini banyak mencuat tuduhan kafir, syirik dan munafik pada seseorang yang sama-sama muslim. Saya dulu sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren, dari mulai SD sampai Perguruan Tinggi, dan semua Pondok Pesantren yg saya jajaki dalam matedo belajarnya Salafi, sayapun sempat wara wiri untuk pasanaran (Pesantren Kilat) keberbagai pondok yg ada di Jawa Barat. Disana saya belajar banyak mengenai ilmu agama, Ya meskipun saya belum bisa mengamalkan apa yg saya dapat di Pondok secara menyeluruh.
Meskipun, banyak guru dan sahabat waktu itu, yang berbeda pendapat, namun tidak sedikitpun saya pernah mendengar guru-guru saya mudah menuduh kafir, munafiq dan Syirik ke pada sesama muslim, jika mereka masih menggap dan mengakui dirinya seorang muslim. Namun, entah kenapa saat ini begitu mudah saya dengar dan baca orang menuduh kafir, munafiq kepada sesamanya.
Dua bulan yg lalu, saya diskusi dengan sahabat dari Muhammadiyah, dia begitu mengagumi sosok Buya Hamka kata sahabat saya "
Buya Hamka diminta menshalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jezanah orang Munafik. Buya Hamka menjawab kalem, "Rasulullah diberitahu sesiapa yang Munafik itu oleh Allah, lah saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar Munafik atau bukan." Maka Buya Hamka pun tetap menshalati jenazah Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia".
Buya Hamka diminta menshalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jezanah orang Munafik. Buya Hamka menjawab kalem, "Rasulullah diberitahu sesiapa yang Munafik itu oleh Allah, lah saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar Munafik atau bukan." Maka Buya Hamka pun tetap menshalati jenazah Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia".
Begitulah, berhati-hatinya para ulama salaf menilai status keimanan orang lain. Apa yang tampak secara lahiriah bahwa mereka itu shalat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadan, maka cukup mereka dihukumi secara lahiriah sebagai Muslim, dimana berlaku hak dan kewajiban sebagai sesama Muslim, seperti berta'ziyah, menshalatkan dan menguburkan mereka. Masalah hati mereka, apakah ibadah mereka benar-benar karena Allah ta'ala itu hanya Allah yang tahu.
Saya teringatpula, waktu itu pasaran kitabnya Bidayah al-Hidayah. Guru saya di Pon-Pes Alfadiilah Cibadak memberi gambaran yg sangat lugas apa yg di sampaikan oleh Imam Al-Ghozali dalam kita tersebut. "Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak engkau tidak akan ditanya : 'mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau diam saja tentang dia?' Bahkan seandainya pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk seseorang makhluk Allah, kelak kau akan dituntut (pertanggung jawabannya oleh Allah SWT)".
Ya maskipun pun guru waktu itu, masih normatif dalam membedah makna ahlul kitab, tapi setidaknya beliau dalam menjabarkan sangat berhati hati mengatakan seseorang kafir dan munafiq.
Mungkin itu shear pengetahuan saya, saya sadari saya juga belum bisa mengamalkan, apa yg saya dapatkan waktu di pondok, tapi setidaknya saya mencoba ingin memahami konteks sosial, karena masalah ubuddiyah itu uran saya dan Tuhan.. Terimaksih. Hehehhe
No comments:
Post a Comment