Assalamu 'alaikum wr. wb.
Di dalam surat Al-Maidah ayat 44 disebutkan bahwa : Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, maka mereka itu orang-orang kafir.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Indonesia ini tidak menjalankan hukum Islam secara formal. Lalu bagaimana dengan ayat di atas, apakah kita semua bangsa Indonesia ini kafir?
Bagaimana pandangan ustadz dalam hal ini? Mohon penjelasannya dan terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan seperti ini memang banyak sekali disampaikan, sebab secara lahiriyah memang teks Al-Quran menyebutkan bahwa mereka yang tdak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan adalah orang kafir.
Biasanya yang menggunakan logika seperti ini adalah kalangan jamaah takfiriyah, yang punya doktrin mudah mengkafir-kafirkan orang lain yang berada di luar jamaahnya. Namun pemahaman yang sesungguhnya tentu tidak seperti itu. Para ulama di masa lalu sudah secara tegas menetapkan bahwa tidak boleh menuduh kafir orang lain begitu saja.
Mari kita uraikan satu persatu logika yang sering dipakai oleh jamaah takfiriyah itu.
1. Pendapat Kalangan Takfiriyah Yang Suka Mengkafirkan
Jamaah takfiriyah biasanya memasang doktrin dasar bahwa tidak terlaksananya hukum Islam di suatu negeri memastikan kekafiran total. Yang kafir itu semua orang, baik yang ada di level pemerintahan atau pun di kalangan rakyat. Sebab penerapan hukum Islam dalam pandangan kalangan ini termasuk ke dalam wilayah aqidah yang sifatnya fundamental.
Ayat-ayat yang mewajibkan pelaksanaan hukum Islam itu dijadikan dasar untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar garis jamaah mereka. Dalil-dalil tentang kafirnya suatu masyarakat yang tidak menerapkan hukum Islam antara lain adalah ayat-ayat Al-Quran yang pengertiannya diselengkan sedemikian rupa.
a. Ayat Al-Quran
Setidaknya dua kali Al-Quran menyebutkan status orang-orang yang tidak menerapkan hukum Islam. Pertama, Al-Quran menyebut mereka sebagai orang kafir. Kedua, Al-Quran menyebut mereka sebagai orang yang tidak beriman. Kafir dan tidak beriman, kurang lebih sama kedudukannya.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 44)
Di dalam ayat ini secara tegas tanpa perlu ditafsirkan lagi, disebutkan bahwa orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah SWT turunkan, yaitu hukum Islam, statusnya adalah orang kafir.
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ : 65)
Sedangkan di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang yang tidak berhukum kepada Muhammad SAW sebagai tindakan tidak beriman. Dan yang dimaksud dengan berhukum kepada Muhammad SAW adalah menerapkan hukum Islam.
b. Berhukum Islam Bagian Dari Aqidah
Selain menggunakan ayat A-Quran di atas, pendapat mereka juga didasari doktrin bahwa berhukum dengan hukum Islam merupakan bagian aqidah yang tidak terpisahkan. Istilah populernya adalah mulkiyatullah atau hakimiyatullah.
Ada tiga istilah tauhid yang sering mereka gunakan, yaitu tauhi rububiyah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah. Ketiganya jenis tauhid ini sering disandarkan pada tiga ayat pertama dari surat An-Nas.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ - مَلِكِ النَّاسِ - إِلَهِ النَّاسِ
Katakanlah, Aku berlindung kepada rabb manusia, malik manusia dan ilah manusia. (QS. An-Naas : 1-3)
Allah SWT diteorikan memilik tiga sifat dasar, yaitu sebagai rabb (ربّ), malik (ملك) dan ilah (إله). Sebagai rabb, Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan alam semesta dan juga manusia, memeliharanya dan memberi rizqi. Sebagai malik, Allah SWT wajib kita jadikan sebagai raja dengan cara kita menerapkan hukum Islam. Dan sebagai ilah, kita diwajibkan menghambakan diri kepada-Nya dalam ritual ibadah.
Bila ada suatu negara tidak menerapkan hukum Islam, dalam pandangan mereka, negara itu adalah negara kafir. Dan bila seorang muslim menjadi pemimpin di suatu negara, namun dia tidak menerapkan hukum Islam, maka pemimpin itu adalah orang kafir, meski dia shalat, puasa, zakat, dan berhaji tiap tahun.
Karena itu dalam paham doktrin mereka, negara dan pemerintahan macam ini wajib diperangi, pemimpinnya harus disebut sebagai thaghut. Dan intinya, pergerakan mereka akan terus memerangi negara macam ini, baik dengan jalan perang pisik ataupun lewat perebutan kekuasaan ala demokrasi dan pemilu.
Kekuasaan dari penguasa yang beragama Islam harus direbut, dengan alasan bahwa sistemnya sistem kafir. Dan oleh karena itu harus digulingkan.
2. Pendapat Yang Tidak Mengkafirkan
Namun kalau kita kembali kepada pandangan para ulama salaf yang muktamad, umumnya pandangan mereka agak berbeda. Memang hukum Islam itu wajib dijalankan, tetapi mereka tidak sampai mengkafirkan penguasa atau rakyatnya.
Mereka mengatakan bahwa ketika suatu negeri tidak melaksanakan hukum Islam secara hukum formal, negara itu tidak otomatis menjadi negara kafir. Demikian juga dengan warga negara serta pejabat negara, tentu tidak berstatus kafir.
Dalam pandangan para ulama umumnya bahwa hukum Islam itu memang wajib dijalankan, baik oleh pemerintah ataupun rakyatnya. Namun bila tidak dijalankan karena satu dan lain hal, atau tidak sampai semuanya dijalankan, tidak membuat mereka jadi kafir.
Lalu apa argumentasi dan dalil yang digunakan para ulama ini?
a. Kufrun Duna Kufrin
Memang benar bahwa Allah SWT menyebutkan bahwa siapa yang tidak pakai hukum yang Allah turunkan, dia menjadi kafir.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 44)
Namun kekafiran yang dimaksud di dalam ayat itu bukan seperti kafirnya kita kepada rukun iman yang enam itu.
Para ulama dalam hal ini merujuk fatwa shahabat Nabi SAW yang paling paham fiqih, yaitu Ibnu Abbas radhiyallahuanhu. Menurut Ibnu Abbas, pengertian kafir pada ayat itu bukan kafir yang sesungguhnya. Beliau mengistilahkan dengan kufrun duna kufrin (كفر دون كفر). Ibnu Abbas berkata :
إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه إنه ليس كفرا ينقل عن الملة
Sesungguhnya itu bukan kafir yang mengeluarkan seseorang dari agama
Jadi meski lafadznya menyebutkan kafir, tetapi maksudnya bukan kafir dalam arti keluar dari agama Islam.
Mengapa demikian?
Karena kalau dipahami sebagai kafir yang sesungguhnya, akan sangat bertentangan dengan sekian banyak ayat Al-Quran yang lain, termasuk juga bertentangan dengan sunnah nabawiyah, bahkan dengan ijma' para ulama sedunia. Dalam hal ini yang salah bukan ayatnya, tetapi yang salah adalah cara memahaminya.
Kalangan jamaah takfiriyah seringkali menuduh bahwa atsar dari Ibnu Abbas ini tidak shahih. Padahal riwayatnya sangat kuat. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak menshahihkannya. Demikian juga dengan Al-Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan Al-Albani pun sepakat dalam hal ini.
Selain Ibnu Abbas juga ada Ibnu Thawus yang berpandangan sama, yaitu bukan kafir.
وليس كمن كفر بالله وملائكته ورسله
Bukan kafir sebagaimana kafirnya orang kepada Allah, malaikat dan para rasul-Nya.
Maka menafsirkan ayat ini secara harfiyah tentu tidak benar dan keliru. Apalagi kita kenal bahwa Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bukan shahabat sembarangan. Beliau itu sejak kecil sudah berguru kepada Rasulullah SAW. Bahkan ada doa khusus dari Rasulullah SAW kepadanya. Allahumma faqqihhu fiddin wa 'allimhu at-ta'wil. Ya Allah, jadikan dia orang yang faqih dalam urusan agama dan ajarkan takwil (Al-Quran).
b. Menjadi Kafir Harus Lewat Pintu Yang Sama
Hujjah yang kedua dari kalangan para ulama yang tidak mengkafirkan adalah bahwa untuk menjatuhkan vinis kafir itu tidak boleh sembarangan. Sebab setiap orang pada dasarnya dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan muslim, dan tidak menjadi kafir kecuali setelah orang tuanya menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. Hal itu merupakan ketetapan nabi SAW :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلىَ الفِطْرَةِ إِلاَّ مِنْ أَبَوَيْهِ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan muslim, kemudian nanti kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.
Sedangkan mereka yang beragama Islam, tidak bisa tiba-tiba dijatuhi status kafir begitu saja, padahal dia tidak apa-apa. Masak orang yang lahir ke dunia tiba-tiba jadi kafir, hanya karena salah tempat kelahiran? Sungguh logika yang sangat aneh.
Mana mungkin hanya sekedar tinggal di sebuah negeri yang tidak menerapkan hukum Islam, tiba-tiba orang jadi kafir begitu saja? Padahal negeri itu adalah negeri kelahiran dan tanah tumpah darah, jadi harus pindah ke luar negeri? Pindah kemana?
Yang benar adalah bahwa status kekafiran didapat manakala seseorang secara tegas dan sepenuh kesadaran menyatakan diri murtad dan keluar dari Islam. Sebagaimana orang kafir kalau mau masuk Islam wajib bersyahadat dan menyatakan keislamannya dengan sepenuh kesadaran, maka orang Islam untuk bisa jadi kafir pun harus melewati pintu yang sama, yaitu secara sengaja dan sepenuh kesadaran menyatakan diri keluar dari agama Islam.
Dan menjadi sangat-sangat tidak logis cuma gara-gara perkara sepele seseorang tiba-tiba kehilangan status keislaman.
c. Bahaya Mudah Mengkafirkan
Hujjah lainnya bagi para ulama yang tidak mudah mengkafir-kafirkan adalah bahwa menuduh atau mengkafirkan seorang muslim akan berdampak konsekuensi hukum yang berat. Yang terkena akibatnya bukan sebatas orang yang dituduh kafir, tetapi juga semua keluarganya akan ikut menanggung akibatnya.
Bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Karena seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi isteri orang kafir.
Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.
Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.
Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.
Maka logika mudah mengkafirkan orang lain ini sangat sesat dan keliru besar.
d. Tidak Semua Shahabat Hidup Dalam Hukum Islam
Hujjah lainnya adalah realita kehiduan para shahabat Nabi SAW sendiri yang tidak selalu tinggal di negeri Islam.
Kalau sekedar tinggal di sebuh negeri yang tidak menerapkan hukum Islam dianggap kafir, maka ada banyak shahabat nabi yang jadi kafir juga. Karena banyak sekali para shahabat yang tinggal di luar Madinah, seperti Makkah, Thaif dan negeri lain yang saat itu belum ditaklukkan oleh umat Islam.
Kita menemukan banyak makam para shahabat Nabi di negeri yang tidak menjalankan hukum Islam. Lantas apakah kita akan memvonis mereka sebagai shahabat yang kafir? Tentu saja tidak. Dan memang salah besar kalau dikatakan bahwa syarat keIslaman itu harus masuk dan tinggal di dalam negara Islam.
e. Negara Islam Dalam Angan-angan
Hujjah yang lainnya adalah tidak adanya negara Islam hari ini, yang 100% menjalankan syariat Islam sebagaimana di zaman Nabi. Bahkan sekelas Saudi Arabia pun juga tidak sudah tidak lagi secara terang-terangan menjalankan hukum hudud seperti beberapa dekade yang lalu.
Jamaah haji di masa lalu masih bisa melihat langsung hukum rajam dan lainny dilaksanakan di depan masjid Al-Haram Mekkah. Tetapi sekarang ini kita sudah tidak lagi melihatnya. Entah kalau dijalankan secara diam-diam, tetapi setidaknya sudah tidak seperti dulu.
Lalu apakah 1,6 milyar umat Islam di dunia ini otomatis kafir semua? Tentu tidak.
Lucunya, jamaah takfiriyah menyebutkan bahwa agar tidak jadi kafir, maka wajiblah umat Islam ini masuk dan berhijrah ke dalam 'negara Islam' versi mereka sendiri.
Ternyata yang disebut sebagai negara Islam cuma 'negara' yang sifatnya ilusi dan hanya ada dalam imaginasi. Mereka mengklaim punya negara, tetapi sifatya rahasia. Bahkan imam dan pemerintahnya pun rahasia juga.
Sungguh aneh, kenapa ada negara tetapi rahasia? Padahal yang namanya negara harus ada wujud pisiknya. Harus ada wilayah, rakyat dan pemerintah. Ternyata ketiganya tidak ada. Tidak ada wilayah, tidak ada rakyat dan tidak ada pemerintah. Yang ada cuma sebatas klaim segelintir orang yang bermimpin seolah-olah mereka punya negara di alam imaginasi.
Kita yang muslim ini dan terlanjur dituduh kafir ini kalau mau jadi muslim harus berbaiat dulu kepada imam mereka. Menurut mereka, dengan berbaiat maka kita ini sudah jadi 'warga negara' dari negara 'imaginatif' buatan mereka, dan kita dianggap sudah jadi orang Islam dan selamat dari kekafiran versi mereka.
Memang sungguh lucu logika yang mereka bangun. Tentu saja tidak ada yang percaya dengan logika ngawur seperti ini. Bagaimana mungkin dengan berbaiat kepada kelompok mereka, kita lantas jadi muslim? Betapa sesatnya logika mereka ini.
Tetapi karena umumnya umat Islam ini awam dan mengalami krisis keilmuan yang parah, ada saja mereka yang percaya logika-logika sesat ini. Maklum saja, ternyata mereka cuma anak-anak muda yang tidak bisa bahasa Arab, tidak pernah belajar syariah, bahkan tidak lahir dari budaya tsaqafah islamiyah yang benar. Lalu kepala mereka dijejali dengan ayat-ayat Al-Quran yang makanya diplintir dan diselewengkan, maka jadilah mereka korban-korban yang ditipu mentah-mentah.
Parahnya, mereka rajin sekali mencari pengikut dari kalangan awam yang tidak mengerti apa-apa. Para pengikut yang tidak mengerti apa-apa itu dijejali dengan berbagai doktrin sesat untuk kemudian dibaiat. Kemudian diwajbkan bayar pajak kepada si penyebar ajaran sesat itu, kalau perlu berdusta, mencuri, merampok dan segala jalan yang haram.
Alasan bolehnya merampok itu pun lebih sesat lagi, yaitu karena semua orang Islam ini dalam pandangna mereka berstatus kafir. Dan karena kafir, maka boleh dirampok duitnya. Termasuk orang tua kita pun dibilang kafir. Dan karena kafir maka boleh dibohongi dan 'ditilep' duitnya.
Uang yang disetorkan itu bukan masuk ke negara, tapi masuk ke kantong pribadi. Jangan sekali-kali ada pengikut yang berani-berani menanyakan, apalagi mengaudit, bisa-bisa dibilang kafir dan murtad. Bahkan diancam tidak akan selamat darahnya.
Orang awam yang mengalami kejadian seperti ini sungguh sangat banyak. Biasanya, mereka yang sangat awam dari agama, tetapi karena tiap hari didoktrin habis dengan cara berpikir sesat macam itu, maka terpaksa harus ikut. Cuma nampak sekali kelihatan bingung, sebab ada yang aneh dalam doktrin itu yang tidak seperti biasanya dikenal.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
~Ahmad Sarwat, Lc., MA (RumahFiqh)