Prolog
Nahdlotul Ulama (NU) merupakan organisasi masyarakat pertama yang mendeklarkan diri sebagai organisasi yang berlandaskan islam Ahlusunnah Wal Jama’ah, begitupun juga PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang merupakan anak terbaik NU menjadikan Ahlusunnah wal Jama’ah sebagai landasar berfikir dan bergeraknya. Maka dari itu penggalian, penghayatan dan pengamalan islam Ahlusunnah wal Jama’ah di lingkungan NU dan PMII harus terus dilakukan karena Ahlusunnah wal Jama’ah merupakan sebuah ideologi yang menjadi basis/landasan bagi setiap proses berfikir, berdzikir dan beramal soleh.
Namun sesuai tuntutan zaman, makna Ahlusunnah wal Jama’ah (selanjutnya disebut ASWAJA) terus mengalami evolusi sehingga dalam setiap masa ada hal-hal baru yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan masa itu. Tapi dari perbedaan itu ada hal-hal yang menjadi ciri khas (karakteristik) orang-orang ASWAJA mulai zaman Nabi sampai sekarang.
Reinterpretasi ASWAJA serta meng-Up Grade nya harus terus dilakukan, karena realitas yang harus disikapi oleh ASWAJA yang dulu dengan yang sekarang itu berbeda. Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap ASWAJA sendiri juga harus berbeda, namun tidak keluar dari frame ushul yang dibangun oleh para pendekar ASWAJA dari masa ke- masa.
Tulisan ini akan mencoba menggali bagaimana karakteristik orang-orang ASWAJA, yang mana karakter ini akan menjadi bassic value (Nilai Dasar) bagi pola/metodologi berfikir ASWAJA dalam menyikapi setiap realitas yang ada di zamannya. Kajian sejarah serta doktrin ASWAJA merupakan pra-syarat yang harus dipenuhi untuk mengetahui hal di atas.
Ada dua kajian sejarah yang akan ditampilkan dalam tulisan ini, pertamasejarah Ahlusunnah dalam konteks dunia, kedua sejarah Ahlusunnah dalam konteks Nusantara. Dalam rangka membaca sejarah Ahlusunnah wal Jama’ah dunia, saya menampilkan sekelumit kajian mengenai realitas Arab pra islam agar nantinya diketahui suatu kontinuitas historis(kelangsungan sejarah) lahirnya Ahlusunnah wal Jama’ah. Untuk sejarah islam Ahlusunnah wal Jama’ah konteks Indonesia, saya mengawali dari awal proses masuknya islam ke Indonesia hingga islam zaman Hadlratussyakh Hasyim Asy’ari.
Kajian kedua mengenai doktrin pokok (ushul) ASWAJA yang dibangun oleh para ulama ASWAJA dari setiap zaman. Mulai dari definisi ASWAJA, pokok pemikiran ASWAJA serta yang lainnya. Selanjutnya penulis akan menampilkan bangunan epistemologinya agar bisa kontekstual untuk saat ini. Oleh karena itu tulisan ini akan menampilkan kajian kritis dari ulama ASWAJA masa kini dalam rangka penyegaran pemahaman ASWAJA, seperti yang dilakukan oleh K.H. Said Agil Siradj dan K.H. Hamdun Ahmad.
ASWAJA yang saya tampilkan dalam tulisan ini adalah ASWAJA dalamperspektif, artinya ASWAJA yang diyakini oleh warga Indonesia terutama Pesantren, NU dan PMII, bukan ASWAJA nya Ibnu Taimiyyah ataupun kelompok WAHABI.
Dalam tulisan ini sengaja tidak di buatkan footnote, endnote ataupun yang lainnya, agar pembaca dan pengkaji sekalian tidak dipusingkan dengan melihat daftar referensi, juga yang paling penting bagi para pemula dalam mengkaji ASWAJA adalah memiliki keinginan untuk melacak referensi yang ada dalam tulisan ini, karena pasti dalam tulisan ini banyak kesalahan. Tapi tenang saja kami akan menyajikan daftar referensi nanti dibelakang dalam DAFTAR PUSTAKA.
- A. REKONTRUKSI SEJARAH ASWAJA DUNIA
Sosio-Kultur Bangsa Arab pra-islam dan pengaruhnya terhadap munculnya firaq (aliran-aliran) dalam islam
Jazirah Arab adalah di antara teritori yang memiliki keunikan tersendiri namun sayangnya kajian tentang bangsa Arab sering luput dari perhatian di era kontemporer ini.
Meski luas Semenanjung Arab mencapai kurang lebih seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, namun yang kita ketahui tentang belahan dunia ini benar-benar di luar proporsi yang seharusnya. Kita bahkan mengetahui lebih banyak tentang wilayah Arktik dan Antartika dari pada wilayah Arab, itulah ungkapan Phillip K. Hitti dalam bukunyaHistory of The Arabs.
Dalam kesempatan ini akan diuraikan sealakadarnya mengenai kondisi geografis Jazirah Arab serta hubungan bangsa Arab dengan orang di luar bangsa Arab yang nantinya akan mempengaruhi system budaya, social, keagamaan bangsa Arab.
- 1. Kondisi geografis Jazirah Arab
Semenanjung Arab merupakan semenanjung Barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia.Wilayahnya dengan luas 1.745.900 km2. Di jazirah ini pegunungan berjejer serta gurun tandus yang membentang luas. Dari sisi kondisi cuaca, semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas, meskipun diapit oleh lautan di sebelah Barat dan Timur. Di daerah ini musim kemarau tiga tahun merupakan hal yang lumrah. Hujan badai yang singkat dan banjir yang cukup besar kadang-kadang menimpa Mekah dan Madinah, dan pernah berkali-kali meruntuhkan Ka’bah.
Batasan-batasan alam yang membatasi Jazirah Arab adalah:
- Di bagian Barat: berbatasan dengan Laut Merah.
- Di bagian Timur: berbatasan dengan Teluk Arab.
- Di bagian Utara: berbatasan dengan Gurun Irak dan Gurun Syam.
- Di bagian Selatan: berbatasan dengan Samudra Hindia.
Hanya di daerah Yaman dan Asir saja yang mendapatkan curah hujan yang cukup untuk bercocok tanam secara teratur. Tanaman yang tumbuh dua musim dapat dijumpai di lembah subur ini yang berjarak 340 km.
Udara yang kering dan tanah yang bergaram mengurangi kemungkinan tumbuhnya tanaman-tanaman hijau. Hijaz banyak ditumbuhi pohon kurma. Dan kurma ini merupakan tanaman perimadona di semenanjung Arab. Diantara tanaman yang tumbuh di daerah ini adalah; Gandum, pohon akasia, anggur, dan lain-lain.
Dalam dunia fauna (hewan), ada beberapa hewan yang bias bertahan hidup di padang pasir yang tandus, seperti namir (panter), fahd (macan-tutul), hyena, serigala, rubah dan kadal-kadalan (khususnya al-dhabb), dan singa, yang sering dikutif dalam syair-syair Arab klasik. Di antara burung-burung pemangsa yang hidup di daerah ini adalah elang, rajawali, burung hantu dan lain-lain. Hewan yang paling banyak dipelihara adalah unta, keledai, anjing penjaga, anjing pemburu (saluqi), kucing, domba, dan kambing. Menurut cerita, keledai dibawa dari Mesir setelah masa hijrah Nabi.
Negara-negara modern yang termasuk jazirah Arab adalah; Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Oman, Masqat dan Aden.
- 2. Hubungan Internasional pertama bangsa Arab
Hubungan antara bangsa Arab dengan yang lainnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi watak dan karakter bangsa Arab baik kepribadian, kehidupan sosial, budaya maupun kepercayaan.
Interaksi pertama bangsa Arab adalah antara Arab Utara dan Arab Selatan, orang-orang Arab Utara merupakan orang-orang nomad (berpidah-pindah tempat) yang tinggal di ‘rumah-rumah bulu’ di Hijaz dan Nejed, sedangkan orang-orang Arab Selatan kebanyakan adalah orang-orang perkotaan, yang tinggal di Yaman.
Kemudian bangsa Arab melakukan kontak dengan bangsa Ibrani yang waktu itu beragama yahudi. Kontak antara bangsa Arab dengan bangsa Ibrani terlihat dalam cerita-cerita klasik seperti yang diungkapkan oleh Herodotus (484-425 SM) seorang sejarawan Yunani, juga sebagaimana yang terungkap dalam perjanjian lama.
Selanjutnya bangsa Arab berinteraksi dengan imperium Romawi. Sebagai penguasa dunia sebelah Barat, orang-orang Romawi tidak berhasil menguasai Arab. Pengiriman 10.000 pasukan dari Mesir di bawah pimpinan Aelius Gallus pada 24 SM, yaitu pada masa pemerintahan Caesar Augustus, disertai dukungan sekutu mereka dari bangsa Nabasia, ternyata menemui kegagalan.
Ketertarikan bangsa Romawi ke kawasan ini, diantaranya; karena Arab dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan wewangian. Herodotus misalnya mengatakan, “semua daerah di semenanjung Arab menebarkan aroma yang sangat wangi”.
Selain dengan bangsa-bangsa di atas, bangsa Arab juga berinteraksi dengan penguasa Timur waktu itu yakni imperium Persia. Namun yang menjadi keunikan dari bangsa ini adalah walaupun mereka terkenal jahiliyah tapi mereka menjunjung kebebasan dan kemurnian tradisi. Jahiliyah bangsa Arab merupakan jahiliyah murni (artinya Jahiliyah yang dihasilkan dari gesekan di antara mereka), bukan jahiliyah kristen Romawi, juga bukan jahiliyah joroaster Persia serta bukan jahiliyahnya filsafat Yunani.
- 3. Kondisi sosio-kultur bangsa Arab pra-Islam
Sebagaimana telah jelas di atas bahwa daerah Arab merupakan daerah padang pasir yang gersang serta kontak bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Kemudian hal itu memperngaruhi watak dan kepribadian mereka. Kyai Said Agil Siradj menyatakan bahwa karakteristik jazirah Arab yang sebagian besar daerahnya berupa pasir. Watak alami pasir tidak bisa disatukan dan selalu labil, selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sifat labil ini secara antropologis tampak pada istilah “Arab” yang berarti bergerak, berubah, atau labil. Dengan demikian, kata “arobah” sering pula diartikan gerobak atau sejenis kendaraan yang selalu bergerak.
Senada dengan ungkapan di atas, Phillip K. Hitti menyatakan bahwa kesinambungan kehidupan yang monoton dan kegersangan gurun tercermin dengan baik dalam karakteristik fisik dan mental orang-orang badui. Secara anatomis, mereka merupakan kumpulan jaringan syaraf, tulang dan otot. Kegersangan tanah mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka.
Selain itu, ungkap Kyai Said Agil Siradj, suasana gersang di padang pasir yang teramat luas juga membentuk karakter bangsa Arab sebagai bangsa yang fatalis. Ketika kehabisan air, mereka tidak lantas berusaha mencarinya, karena di mana pun sama, hanya ada padang pasir. Satu-satunya upaya yang tersisa adalah menghadapkan muka ke atas, kemudian berdoa, “Ya Allah, berikan kami air, turunkanlah hujan.” Demikian pula halnya ketika mereka kehabisan rumput. Oleh karena itu, sama sekali mereka tidak punya upaya untuk berfikir bagaimana menciptakan hidup yang mapan, atau ekonomi yang berkembang pesat.
Karena kerasnya hidup di padang pasir, sehingga mereka sangat menghargai perjanjian, memuliakan tamu dan mereka sangat loyal terhadap suku mereka, maka mereka akan melindungi suku masing-masing baik yang berdzolim apalagi yang di dzolim oleh suku lain, namun jika mereka membunuh anggota sukunya sendiri maka tidak akan ada yang melindunginya. Juga yang menjadi salah satu fenomena penting mengenai relasi antar suku di jazirah Arab adalah maraknya peristiwa pembegalan atau perampokan terhadap kafilah yang lewat.
Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan sebutan ashabiyyah (semangat kesukuan). Ini mengisyaratkan loyalitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota klannya dan secara umum mirip dengan patriotisme yang bersifat fanatik dan cauvinistik. “setialah kepada suku kalian” ungkap seorang penyair. Tapi terkadang juga bersikap garang terhadap suku lain. Dengan demikian, wajarlah jika bangsa Arab terkenal gampang bermusuhan antara kabilah yang satu dengan yang lain. Bahkan, hanya karena ada tamu yang diganggu, perang saudara pun bisa tersulut. Seperti perang 40 tahun yang terkenal dengan perang Fijar, yang pada saat itu Rasulullah SAW sendiri sempat ikut. Sejak remaja, beliau sudah terlibat dalam permusuhan dengan suku lain dengan membantu pamannya, Abu Thalib, membawakan anak panah. Itulah sekedar ilustrasi sosial budaya bangsa Arab.
Kemudian masih menurut Hitti, bahwa watak antisosial dari individualisme dan ashabiyyah ini masih tetap menjadi ciri khas bangsa Arab hingga saat mereka berkembang setelah kelahiran islam, dan merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan perpecahan dan kehancuran total berbagai kerajaan islam.
Oleh karena itu, kiai Agil Siradj menyatakan bahwa pada masa pra islam orang jahiliyah bangga dengan gelar kesukuanya, namun setelah islam lahir maka gelar kesukuan itu hilang, sebagai contoh Sayyidina Abu Bakar tidak pernah memakai nama Abu Bakar At-Taymi tapi As-Siddiq padahal beliau dari suku bani Taymiyyah, Sayyidini Umar tidak pernah memakai nama Umar Al-Adiyy tapi Al-Faruq, padahal beliau dari suku Adiyy, kemudian Sayyidina Utsman tidak pernah memakai nama Az-Zuhryy, juga Sayyidina Ali tidak pernah memakai nama Al-Hasyimi tapi Al-Murtdho.
Semangat kesukuan ini mulai timbul lagi ketika akan pengangkatan kalifah Utsman oleh enam tim formatur. Disitu semangat kesukuan mewarnai proses pengangkatan.
Selanjutnya dalam bidang kepercayaan, bangsa Arab adalah orang paganis yakni penyembah berhala. tapi jangan salah bahwa mereka asalnya mengikuti ajaran Hanif Nabi Ibrahim, kemudian Amr bin Luhayyi bin Qum seorang nenek moyang bani Khoza’ah, membawa berhala ke Mekah dari negeri Syam untuk disembah sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hisyam Al-Anshari dalam kitab Sirratunnabawiyyah. Untuk lebih jelas silahkan baca kitab-kitab Tarikh dan Sirah
- 4. Selayang pandang Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW lahir di Mekah yang menurut sebagian sejarahwan tanggal 20 April 570 ada yang mengatakan 571 bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awwal (bulan Mulud), namun menurut yang lain tanggal 9, dan masih banyak lagi perbedaan pendapat mengenai itu.
Yang terpenting bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW adalah mengambil Ibroh (gambaran/pigur) dari sepak-terjang hidup beliau. Al-Qur’an menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah(pigur yang baik), maka dalam hal apapun kita bisa mengambil contoh dari Nabi, kita sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai panglima, pemimpin Negara, pemimpin agama dan lain-lain semuanya bisa mencontoh Nabi Muhammad SAW.
Sepek-terjang hidup beliau terekam dalam banyak kodifikasi hadits juga dalam karya-karya siroh (penjalanan hidup) serta tarikh (sejarah) yang ditulis oleh ulama klasik maupun kontemporer, juga yang ditulis oleh non muslim (orientalis). Namun disini hanya akan diuraikan sealakadarnya untuk mengetahui sejarah hidup Nabi.
Pada tahun 610 Masehi beliau menerima wahyu, untuk menjadi utusannya Allah. Dari sinilah beliau berperan sebagai ad-dai ilallah (yang mengajak kepada jalan Allah) juga sebagai basyir (yang memberi kabar gembira bagi orang yang berbuat baik) dan nadzir (yang memberi peringatan bagi orang yang berbuat jahat).
Dakwah beliau pertama dilakukan di Mekah dengan menggunakan metodedakwah sirriyah (secara sembunyi-sembunyi) dan islam-pun disampaikan kepada orang yang dekat dengan beliau. Orang yang masuk islam pada masa ini disebut sebagai assabiqunal awwalun di antaranya Khadijah (istri beliau), Abu Bakar, Utsman (sahabat beliau), Ali bin Abi Thalib (keponakan beliau) serta yang lainnya, dakwah seperti ini dilakukan selama 3 tahun, kemudian dakwah secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) dengan menggunakan lisan tanpa perang, metode ini berlangsung sampai sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pada masa ini penyiksaan dan pembaikotan baik secara ekonomi maupun politik dilakukan oleh kelompok kafir Quraisy terhadap umat islam, maka dari itu hijrah sangat dibutuhkan, maka dipilihlah daerah Yatsrib (Madinah sekarang) sebagai tempat hijrahnya. Ia dinamakan Yatsrib Karena yang membuka dan membangun kota tersebut bernama Yatsrib bin Amliq bin Laudz bin Sam bin Nuh.
Menurut Kyai Said Agil Siradj, Nabi Muhammad SAW bersosialisasi di Mekah dengan menawarkan prinsip teologi la ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah. Di samping secara teologis bermakna penegasan tidak ada Tuhan yang absolut kecuali Allah. Pernyataan keimanan ini juga memberikan dampak sosial politik, yaitu penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan, dan intimidasi yang melanggar kebebasan dan hak asasi manusia. Soalnya, dalam pandangan islam, manusia dibangun atas dasar kebersamaan, kebebasan, dan persamaan derajat.
Setelah tiga belas tahun mengemban misi la ilaha illallah di Mekah, kemudian beliau hijrah ke Madinah, maka pola dakwah pun berubah disesuaikan dengan konteks. Di Madinah penduduknya sangat bhinekadan plural, ada muslim pendatang (muhajirin) yang terdiri dari dua suku yakni Bani Hasyim dan Bani Muthalib, ada muslim pribumi (Anshar) yang terdiri dari dua suku yakni Bani Aus dan Khajraj, ada pemeluk yahudi yang terdiri dari Bani Quraidloh, Qoinuqo dan Bani Nadzir, serta para penyembah berhala dan sebagian kecil Kristen Najran, maka dari itu perlu dibuat satu pemerintahan dan konstitusi. Negara kota (city-state) Madinah merupakan bentuk Negaranya sedangkan orang-orangnya disebutmutamaddin dengan konstitusi berupa mitsaqu madinah (perjanjian madinah). Dalam perjanjian/piagam Madinah tidak ada satupun kata yang menyebut Negara Islam. Dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah itu sangat besar sekali efeknya bagi orang Madinah pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun antara suku Khajraj dan Aus bisa didamaikan oleh Nabi dengan perjanjian di atas, sehingga mereka bahu-membahu bersama Sahabat Muhajirin untuk membangun kota Madinah.
Dalam piagam madinah tidak ada satu golonganpun yang disuperiorkan, tapi mereka semua sama dihadapan hukum. Baik orang muslim atau yahudi atau yang lainnya. Sebagaimana dalam pasal satu piagam madinah disebutkan al-muslimuna min quraisy wa yatsrib waman tabiahum falahiqo bihim wajaahada ma;ahum, ummatun waahidatun min duuninnasi (kaum muslimin, baik yang berasal dari Quraisy, dari Madinah, mapun dari kabilah lain yang bergabung dan berjuan bersama-sama, semuanya itu adalah satu umat.
Ini baru pasal satu, dalam pasal-pasal selanjutnya itu diperinci bagaimana seharusnya hak dan kewajiban antara berbagai suku dalam rangka memajukan Negara Madinah. Dari sinilah pada masa Nabi orang itu tidak merasa bangga ketika mereka berasal dari suku besar juga mereka tidak merasa hina ketika mereka berasal dari suku kecil yang tidak terkenal. Bahkan mereka malu memakai gelar serta simbol kesukuannya. Tapi yang membuat mereka bangga adalah ketika mereka berjuang, berjihad atas nama pembebasan (Futuhah), atas nama islam (perdamaian) dan sebagainya.
Setelah dakwah di Mekah selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun, Allah SWT memanggil kembali kekasihnya Muhammad untuk kembali keharibaannya dengan cara mewafatkannya, peristiwa itu terjadi pada tahun 10 Hijriyyah yang bertepatan dengan tahun 632 Masehi.
- 5. Sebab-sebab perpecahan umat
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat islam merupakan umat yang satu dan merdeka dari dominasi manapun sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Madinah (Medina Charter, Mitsaqu Madinah, Ahdu Yatsrib). Tapi setelah Nabi Muhammad SAW wafat, konsentrasi umat terpecah menjadi tiga, ahlul bayt sibuk mengurusi jenazah Nabi, Abu Bakar dan Muhajirin yang lain sibuk mengumumkan kepada umat muslim dipelosok Negeri atas kematian Nabi, namun ketika mendengar bahwa Nabi wafat, bangkitlah Sayyidina Umar seraya berkata “barang siapa yang mengatakan Nabi telah wafat maka aku penggal kepalanya” bahkan ada sebagian golongan yang beranggapan bahwa Nabi tidak wafat tetapi akan diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana Nabi Isa bin Maryam. Maka datanglah Abu Bakar untuk menyadarkan umat islam bahwa Nabi SAW telah meninggal dengan mengutif Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 30 “innaka mayyitun, wainnahum mayyituuna (kamu akan mati dan orang-orang sebelum kamu pun mati)” seraya menambahkan man kana ya’budu Muhammadan fainna Muhammadan qod maata, wa man ya’budu robba Muhammadin fainnahu hayyun laa yamuutu (barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah meninggal, tapi barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka dia senantiasa hidup, tidak akan pernah mati).
Polemik umat tidak sampai disitu saja, ada sebagian umat islam yang murtad dengan menyatakan bahwa ketika Nabi meninggal, maka risalahnya (ajarannya) pun sudah selesai. Tapi polemik ini masih bisa diatasi dengan kegigihan sahabat senior untuk meyakinkan mereka.
Masalah selanjutnya mengenai dimanakah Nabi di makamkan?. Orang Mekah menginginkan supaya Nabi di makamkan di Mekah, karena Mekah adalah tempat lahirnya, diutusnya, kiblatnya serta tempat keluarganya, dan di Mekah pula kuburan leluhurnya yakni Nabi Ismail AS berada. Sedangkan orang Madinah menginginkan agar Nabi di makankan di Madinah, karena Madinah merupakan tempat hijrahnya serta tempat para penolongnya. Bahkan sebagian kelompok yang menginginka Nabi Muhammad SAW agar di makamkan di Baitul Maqdis (Palestina), di sebelah kuburan leluhurnya, yakni Khlilullah Ibrahim AS. Kemudian Abu Bakar melerai perdebatan di antara mereka dengan dalil hadits Nabi yang berbunyi “annal anbiya’a yudfanuuna haitsu yuqbadhun (sesungguhnya para Nabi di makamkan di tempat meninggalnya)”. Akhirnya Nabi Muhammad SAW di makamkan di tempat meninggalnya, yakni di kamar Sayyidah Aisyah yang berada di emperan mesjid Nabawi Madinah.
Nah, sengketa yang paling berpengaruh terhadap perpecahan umat adalah mengenai siapakah pengganti Nabi?. Ketika itu Abu Bakar dan Muhajirin sedang mengumumkan meninggalnya Nabi Muhammad SAW kepada seluruh pelosok negeri islam. Di pihak lain, Sahabat Anshar sedang berkumpul di Tsaqifah bani Saidah untuk memilih khalifah menggantikan Nabi Muhammd SAW, dalam kesempatan itu sahabat Anshor telah memilih Sa’ad bin Ubadah (beliau kadang dipanggil Abu Tsabit atau Abu Qoish atau Abul Hibab bin Ubadah bin Dalim Al-Anshori..beliau merupakan gegeden suku Khazraj, meninggaldi daerah Khouran sebuah daerah di Syam tahun 15 H) untuk menjadi khalifah.
Kemudian proses pengangkatan khalifah di kalangan Anshor ini sampai ke telinga Abu Bakar, maka berangkatlah Abu Bakar dan Umar beserta seorang sahabat Muhajirin ke Tsaqifah bani Saidah untuk memusyawarahkan siapakah yang berhak menjadi khalifah. Di situ terjadilah perdebatan sengit antara pihak Muhajirin dan Anshor tentang siapa yang harus menjadi Khalifah. Sahabat Anshor membuat tesis “minna amirun waminkum amirun” ( kami punya pemimpin dan kalian punya pemimpin) tapi tesis tersebut dipatahkan oleh Abu Bakar dengan argumentasi Hadits Nabi “al-imamah min Quraisyin” (bahwa Pemimpin harus dari Quraisy). Akhirnya semua sepakat bahwa Khalifah harus dari Muhajirin (Quraisy) dan pilihan jatuh pada Abu Bakar.
Adapun konflik terbesar pada zaman Abu Bakar adalah memerangi orang pembangkang membayar zakat dan orang Murtad. Sepeninggal Abu Bakar maka Umarlah yang menjadi Khalifah, pada masa ini tidak ada konflik berarti dalam tubuh umat islam, karena para sahabat dilarang untuk keluar Madinah sehingga kebersamaan di antara para sahabat masih terjaga. Kemudian setelah Umar dibunuh oleh Abu Lu’luah maka beliau digantikan oleh Utsman bin Affan, pada masa inilah petaka besar umat islam dimulai dengan pro-kontra terhadap Khalifah karena kebijakannya yang bersifat Nepotis, sehingga Utsman dibunuh oleh para Demonstran, setelah Utsman terbunuh maka terjadilah kontroversi tentang siapakah yang membunuh Khalifah? Juga kontroversi tentang apakah harus diangkat Khalifah sebelum mengusut pembunuh Utsman? Ataukah diusut terlebih dahulu siapa pembunuh Utsman baru setelah itu diangkat Khalifah?
Pendapat yang harus mengangkat Khalifah terlebih dahulu dipelopori oleh Ali bin Abi Tholib dengan argumentasi “bahwa pembunuhan terhadap Utsman itu terorganisasi maka harus diusut secara sistematis dan terorganisasi pula oleh Khalifah”. Sedangkan pendapat yang harus mengusut terlebih dahulu dipelopori oleh Muawiyah bin Abi Supyan (Gubernur Syam) yang masih keluarga Utsman dari Bani Umayah dengan Argumentasi “karena pembunuhan terhadap Utsman bersifat Terorganisasi, maka tidak boleh buang-buang waktu dalam mengusutnya karena nanti musuh akan mempersiapkan strategi lain”. Pertentangan yang berlarut-larut antara Ali dan Muawiyah sehingga Siti Aisyah (istri rosul) juga menuntuk untuk menindak pembunuh Utsman maka terjadilah“Perang Jamal”, dalam perang jamal kemenangan ada di pihak Ali. Adapun puncak dari konflik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan adalah Perang Siffin, dalam perang ini Ali hampir menang, tapi dengan taktik muslihat Amru bin Ash maka terjadilah proses tahkim(Arbitrase) yang mana substansi dari isi Tahkim adalah Ali harus menyerahkan jabatan ke Khalifahan kepada Muawiyah.
Efek dari Tahkim adalah umat terpecah menjadi tiga golongan yaitu satuJumhur (yang mengakui hasil Tahkim dan mengakui Muawiyah sebagai Khalifah), dua syiah (yaitu pengikut setia Ali bin Abu Thalib) dan ketigaKhawarij (orang yang keluar dari kelompok Ali kemudian mengkufurkan kelompok Ali dan Muawiyah). Dengan adanya tiga kelompok ini maka pemerintahan Muawiyah menjadi tidak stabil karena kekuasaannya dirongrong oleh kaum Khawarij dan kaum syiah maka dalam rangka stabilisasi keadaan Muawiyah melontarkan tesis tentang Qodar yang berbunyi Lau lam yaroni rabbi anni ahlun li hadza amri ma tarokani wa iyyah, wa lau karihallah ma nahnu fihi laghayyarah (“seandainya Tuhanku tidak melihat diriku mampu untuk memegang tampuk pemerintahan ini, tentu ia tidak akan membiarkanku memegang tampuk kekuasaan ini. Seandainya ia tidak menyukainya, tentu ia akan mengubahnya”), dengan pernyataan politik diatas pergolakan sedikit demi sedikit bisa diredam. Kata Kyai Said, dengan pernyataandi atas mungkin Muawiyah berfikiran seperti ini: kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci kepadaku sebagai khalifah, niscaya Allah akan menggantiku dengan orang lain. Nyatanya saya berkuasa dan Ali kalah. Ini semua sudah merupakan ridha Allah. Dengan kata lain, karena hingga sekarang ini Muawiyyah masih berkuasa, berarti Tuhan masih merestui dan meridhai dirinya untuk tetap berkuasa! Tentu saja, doktrin seperti ini sangat efektif untuk meredam suasana tegang di kalangan umat islam. Mereka yakin bahwa semuanya sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah SWT.
kemudian paham ini dikembangkan pertama kali oleh Al-Ja’d ibnu Dirham dan dipopulerka oleh Jahm bin Sofwan dari khurasan dengan namaJabariyah.
Selanjutnya, faham jabariyyah di atas di counter oleh Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah (beliau adalah putra sayidina Ali dari istri kedua yaitu Haulah binti Ja’far al-Hanafiyah) sebagai anti tesisnya, dengan pernyataan terkenalnya la qodowala qodar af’alul ibad minal ibad (tidak ada Qodo dan tidak ada Qodar perbuatan manusia dari manusia), kemudian faham ini diteruskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailam ad-Dimasyqi dengan pernyataanya la qodowala qodar af’alul ibad minal ibad wal amru unuf(tidak ada Qodo dan tidak ada Qodar perbuatan manusia dari manusia bahkan Allah tidak tahu manusia akan berbuat apa, Allah baru tahu setelah dilakukan oleh manusia ) lalu Ma’bad dan Ghailam ini dikenal sebagai pendiri Qodariyah, pernyataan Ma’bad dan Ghailam diatas di modernisir oleh Washil bin Atho (pendiri Muktazilah) dengan pernyataannya la qodowala qodar af’alul ibad minal ibad bal wawlohu ya’lam (tidak ada Qodo dan tidak ada Qodar perbuatan manusia dari manusia tapi Allah tahu).
Kaum Khawarij sebagaimana diatas mereka mengkufurkan Ali dan Muawiyah beserta orang yang melakukan dosa besar, kata mereka orang yang melakukan dosa besar akan masuk neraka karena mereka melakukan tahkim, dan tahkim ini menghukumi sesuatu dengan hukum manusia. Kemudian faham Khowarij ini dibantah oleh suatu gologan yang menamakan diri Murjiah. Kemudian dalam masing-masing golongan (sekte/aliran) di atas terjadi pertentangan dan silang pendapat di internal mereka hingga akhirnya mereka mengkafirkan satu sama lainnya, maka jadilah kurang-lebih 72 golongan.
Setelah kita mengetahui aliran dalam islam maka pertanyaan sekarang dimana Ahlusunnah waljamaah berada?
Di tengah situasi kacau-balau dan situasi politik yang tidak menentu, ketika orang sulit menemukan kebenaran, ternyata ada beberapa orang dari generasi Tabiin (generasi penerus sahabat) yang bisa berfikir jernih dan tidak berpihak menyikapi situasi politik saat itu. Kelompok ini dipelopori oleh Imam Hasan Bashri (w. 110 H), Abu Sufyan Ats-Tsauri, Fudlail ibn Iyadl, serta Abu Hanifah. Mereka menyikapi situasi saat itu dengan memilih tindakan yang menyejukan, yakni dengan memancangkan suatu doktrin bahwa satu-satunya cara untuk bisa tetap berada di jalan yang lurus adalah dengan ruju’ ilal Qur’an (kembali kepada Al-Qur’an). Mereka memilih jarak dari segenap krisis politik saat itu.
Komunitas Hasan Bashri inilah yang sebenarnya merupakan fondasi awal faham Ahlusunnah wal Jama’ah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan oleh Abdullah ibn Kullab (w. 255 H), Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H) dan Abu Bakar Al-Qolanisi, yang pada abad berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Ma’turidi.
Dari kajian sejarah di atas bisa disimpulkan bahwa Islam Aswaja adalah islam yang mengikuti ajaran Nabi dan Sahabatnya (ma ana alaihi waashabii) . maka dari itu kemunculan Aswaja sebagai sebuah ajaran (doktrin) berbarengan dengan munculnya islam itu sendiri yang diajarkan oleh Nabi dan dipraktekan oleh Sahabat kemudian di ikuti oleh Tabiin dan dilanjutkan oleh Tabiit-tabiin, tapi pada waktu itu belum terdengar nama atau istilah Ahlusunnah wal Jamaah secara eksplisit, seandainya sudah ada niscaya Abu Hanifah (yang mengarang kitab alfiqhul Akbar yang berisi tauhid Ahlusunah wal jamaah) dan Syakh Hasan Bashri memakainya.
Selanjutnya ASWAJA sebagai sebuah nama dan madzhab itu dipopulerkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari ada pada zaman Al-Mutawakil Alawloh (khalifah Abasiyah ke 10) yang diposisikan sebagai anti tesis dari dominasi Rasionalisme Muktazilah, karena pada zaman Dinasti Abasiyah khusunya masa pemerintahan Harun, al ma’mun, mu’tasim sampai watsik, muktazilah menjadi madzhab Negara dan mereka memaksakan pemikirannya kepada khalayah yang puncaknya ditandai dengan tragedymihnah , tapi pada zaman al-Mutawakil keadaan berbalik dan Aswaja yang mendapat sokongan dari pemerintah, oleh karena ituAliran yang paling berkembang didunia adalah Ahlusunnah Wal Jamaah (dengan berbagai versinya)
Kemudian kalau kita renungkan sejarah ASWAJA, ternyata karakter yang dimiliki oleh tokoh-tokoh ASWAJA adalah tawassuth (moderat) dantasamuh (toleran). Sebagai contoh, pemikiran Al-Asy’ari memoderasi aliran-aliran yang berkembang di jamannnya sebagaimana penjelasa di atas, namun beliau selalu toleran, hal itu terbukti terbukti dengan statement beliau laa ukaffiru ahlal qiblat (aku tidak mengkafirkan orang masih bertauhid), pandangan ini berbeda dengan aliran lain yang gampang mengkafirkan orang/golongan yang berbeda dengan mereka (terutama khawarij). Atau kita bisa melihat ungkapan Asy-Syafi’i yang terkenal kullu ro’yi sowabun wayahtamilul khoto’ wakullu ro’yi goiri khoto’ wayahtamilussowab (setiap pemikiranku benar tapi terkadang salah dan setiap pemikiran orang selainku adalah salah tapi terkadang benar), dari pernyataan ini bisa kita simpulkan bahwa Asy’Syafi’i yakin akan kebenaran pemikirannya tetapi tidak menutup ada kebenaran selain yang diyakininya.
Selanjutnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gozali pada Abad ke 4-5 H/ (450-505 H), beliau seorang pengikut Asy’ari tulen, yang ditangan beliaulah ASWAJA mengalami kemapanan. Al-Gozali selalu mengarahkan setiap karyanya untuk memoderasi empat aliran ekstri di jamannya;
- Mutakallimin, adalah orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli berfikir, mereka adalah orang muktazilah
- Filosof, adalah orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli berdebat dan berdalil
- Batiniyyah, adalah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai ahlita’lim yang menjadi titisan para imam ma’sum (terpelihara dari dosa), mereka adalah orang syiah.
- Sufi, adalah orang yang menganggap dirinya ahli musyahadah dan mukasyafah.
Pertama-tama Al-Ghozali menekuni ilmu kalam, dari hasil kajian beliau terhadap ilmu kalam sehingga beliau menyimpulkan bahwa faidah mempelajari ilmu kalam adalah untuk menjaga aqidah ahlusunnah dari aqidahnya ahli bid’ah. Dan di antara kritik Al-Qhozali kepada para ahli kalam di jamannya adalah para ahli kalam terlalu disibukan dengan mempelajari istilah-istilah substansi (jauhar), eksistensi (wujud), aksidensi (sifat), sehingga tidak sampai kepada tujuan ilmu kalam itu sendiri yakni bertauhid kepada Allah SWT.
Setelah Al-Ghozali mempelajari kalam, kemudian beliau mempelajari filsafat selama dua tahun sehingga beliau memahami filsafat, pemahaman beliau tentang filsafat tertuang dalam karyanya Maqosidul falasifah, namun Al-Ghozali tidak hanya mempelajari filsafat tapi juga mengkritik filsafat, sebagaimana yang tertuang dalam karyanya yang lain Fahafutul falasifah, dalam kitab tersebut beliau mengkritisi para filosof dengan mengatakan ada 20 kesalahan filosof serta 3 hal yang menyebabkan para filosof keluar dari frame Ahlusunnah wal Jama’ah yakni tentang kekalnya alam, Allah tidak tahu Juz’iyyat (partikular jagat raya) dan manusia hanya dibangkitkan ruhnya saja.
Ketika jaman Al-Ghozali hidup, bukan hanya aliran kalam dan filsafat saja yang berkembang tapi juga syiah dan mereka menamakan diri sereka sebagai Ta’limiyyin, mereka berpendapat bahwa mereka bisa memiliki pengetahuan tentang segala hal tanpa perlu kasab, tapi pengetahuan mereka dihasilkan dari para imam yang ma’sum (terjaga dari salah).
Terkhir Al-Ghozali menyelami tasawuf, beliau sangat mengapresiasi ilmu tasawuf, bahkan tasawuf ini merupakan pelabuhan terakhir Al-Ghozali dalam pencarian kebenarannya. Namun kritik dan komentar Al-Ghozali tetap dilancarkan terhadap ajaran tasawuf yang menyimpang dari Ahlusunnah wal Jama’ah seperti ajaran Hulul, Ittihad,Wihdatil Wujud dan lain-lain.
Dari pemaparan di atas membuktikan ternyata, NU/PMII yang menyatakan bahwa karakter berfikir dan bertindak orang-orang ASWAJA adalah 4 T (tawasuth, tasamuh, ta’addul ,tawazun) bukan klaim belaka, tapi hasil perenungan dari sejarah dan sepak-terjang para pendahulunya.
- B. REKONTRUKSI SEJARAH ASWAJA NUSANTARA
- 1. Teori tentang masuknya islam ke Nusanta
Kali ini penulis akan memaparkan sedikit tentang proses masuknya islam ke Nusantara yang dirangkum dari bukunya Prof. Dr. Azyumardi Azra ‘Jaringan Ulama Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII’, buku ini merupakan intisari dari Disertasi beliau ketika menempuh S3 di Columbia University Amerika Serikat (1992) dengan judul The Transmission of islamic Reformism to Indonesia: Nerwork of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Camberra; Allen Unwin & AAAS; Honolulu; University of Hawaii Press; Leiden; KITLV; 2004).
Menurut Azra bahwa proses masuknya islam ke Nusantara menyisakan berbagai perdebatan panjang di antara para ahli. Perdebatan tersebut berkisar mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya.
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal-muasal Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapel. Dia mengaitkan asal-muasal islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di Indiatersebut yang kemudian membawa islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje dengan argumentasi, begitu islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India dan selanjutnya menjadi penyebar islam pertama ke Nusantara. Baru kemudian disusul orang-orang Arab.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, mengemukakan bahwa tempat asal islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan Sumatra Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzul Hijjah 831 H / 24 September 1428 M.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette di atas kemudian ditentang keras oleh Fatimi. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan teori “batu nisa” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475 H / 1082 M) yang ditemukan di Lehan, Jawa Timur.
Namun teori Fatimi juga bermasalah, dikarenakan kaum muslimin Nusantara memegang madzhab Syafi’i sedangkan di Bengal menganut madzhan Hanafi.
Selanjutnya ada teori yang mengatakan bahwa penyebaran islam di Nusantara itu dilakukan langsung oleh orang Timur Tengah (Arab) tepatnya Hadhramaut (suatu kota di Yaman), diantara tokoh-tokoh yang memegang teori ini, di antaranya Crawfurd. Namun Naquib Al-Attas lah yang paling lantang mendukung teori bahwa masuknya islam ke Nusantara itu dari Arab dengan beberapa argumenatasi. Al-Attas memandang bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas kedatangan islam ke Nusantara adalah karakteristik internal islam di dunia Melayu-Indonesia itu sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur islam Melayu-Indonesia dan sejarah pendangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke 10-11/16-17.
Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan islam, Al-Attas menyimpukan, sebelum abad ke 17 seluruh literatur keagamaan islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang muslim India, atau karya yang berasal dari Indi. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultur. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa pertama islam ke Nusantara menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia.
Mengenai siapa awal pembawa islam ke Nusantara, kalau kita melihat historiografi lokal ternyata islam dibawa ke Nusantara kebanyakan oleh para penguasa dengan maksud ingin menyebarkan islam, hal ini bisa kita baca dalam Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang Syaik Ismail datang dengan kapal dari Mekah via Malabar ke Pasai- di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk islam. Hingga akhirnya Merah Silau memakai gelar Malikussolih.yang wafat pada 698/1297. Seabad kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk islam penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis setelah 1630), juga dalam historiografi dari aceh memberikan informasi bahwa nenek-moyang sultan Aceh adalah seorang Arab bermana Syaikh Jamalul ala, yang dikirim sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya mengatakan, bahwa islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Absullah Arif sekitar 506/1111.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan pertama, teori yang paling kuat Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, islam dibawa oleh para profesional yang khusus menyebarkan islam; ketiga, yang mla-mula masuk islam adalah penguasa; keempat, kebanyakan para penyebar islam masuk ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema yang terakhir itu, seperti dibahas di depan, mungkin benar bahwa islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriyyah, sebagaimana dipegang oleh Arnold dan dipegan oleh sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad abad ke-12 pengaruh islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16. Itulah pernyataan Azra dalam bukunya.
Selanjutnya, mengenai penyebaran islam di daerah Jawa menurut Azra mayoritas sarjana bersepakat bahwa penyebar pertama islam di Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim, ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788-833/1386-1429) agar masuk islam. Tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang da’i Arab di Campa, islam memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran menetukan pemimpin Wali Songo dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syaikh Nuruddin Ibrahim bin Maulana Izrail yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati, namun dalam informasi yang lain yang lebih masyhur nama asli dari Sunan Gunung Jati adalah Syaikh Syarif Hidayatullah yang menurut sebagian sejarawan beliau adalah keturunan Arab, lalu leluhurnya mendirikan kerajaan Aceh selanjutnya beliau menjadi menantu dari Sultan Trenggono penguasa kesultanan Demak. Ia belakangan menampakan diri di kesultanan Cirebon. Seorang sayyid terkenal laindi Jawa adalah Maulana Ishaq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk islam.
- 2. Penyebaran awal Ahlusunnah wal Jama’ah di Indonesia
Sebelum mengurai sejarah awal ASWAJA perlu kiranya kita menampilkan analisis Gusdur dalam bukunya Menggerakan Tradisi. Gusdur menyatakan bahwa tradisi keilmuan di Pesantren khususnya dan Indonesia pada umumnya itu bersumber pada dua gelombang. Satu, gelombang ketika islam masuk ke Indonesia dengan nuansa fikih-sufistik, masa ini sebelum abad ke 18/19. Kedua, gelombang setelah abad ke 18/19, maka terjadi perubahan secara berangsur-angsur . Akibat dibukanya perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau yang luas di beberapa daerah. Pada masa ini terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka mereka menghasilkan korps ulama yang tangguh yang mendalami ilmu-ilmu agama di Semenanjung Arabia, terutama di Mekah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Termas, Kyai Abdul Ghani Bima, Kyai Arsyad Banjar, Kyai Abdus Shomad Palembang, Kyai Kholil Bnagkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan deretan ulama lain yang tidak terputus-putus sampai hari ini. Gusdur menambahkan, mereka ini membawakan orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fikih secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fikih yang besar-besar, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab yang tuntas, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan tidak lupa juga tentunya ilmu-ilmu akhlaq.
Marilah kita simak sejarah awal ASWAJA abad ke-17. Setelah islam di bawa oleh para da’i ke Indonesia, selanjutnya dawah diteruskan oleh ulama-ulama bumi putra. Mereka mempelajari islam dari para da’i Timur Tengah yang datang ke Indonesia, kemudian sekitar abad ke 17 mereka langsung mempelajari islam di pusat islam yakni haramayn (Mekah, Madinah). Menurut Azra, antara ulama Indonesia adalah Nuruddin ar-Raniri (w. 1068 H / 1658 M), Abdul Rauf As-Sinkili (1024-1105 H / 1615-1693 M) dan Muhammad Yusuf Al-Maqossari (1037-1111 H / 1627-1699 M). Mereka membangun jaringan ulama Indonesia-Timur Tengah, sehingga banyak guru-guru dan murid-murid mereka berasal dari berbagai pelosok dunia, bahkan dari Afrika. Ajaran yang paling inti dari mereka adalah kembali kepada ortodoksi Sunni terutama menyangkut keselarasan antara syariat dan tasawwuf.
Kemudian pada abad ke-18 islam Indonesia disegarkan kembali oleh Al-Falimbani beserta ulama palembang lainnya. Nama lengkap Al-Falimbani adalah Abdussomad Al-Falimbani lahir tahun 1116 H / 1704 M dan menurut Al-Baythar Al-Falimbani meninggal tahun 1200 H / 1789 M, namun menurut menurut Azra bahwa kemungkinan Al-Falimbani meninggal sekitar tahun 1203 H / 1789 M. Selain Al-Falimbani juga ada Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M), seorang ulama yang paling terkenal dari Kalimantan. Muhammad Arsyad mengambil langkah penting untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan Banjar.
Selanjutnya pada abad ke-19, islam Ahlusunnah wal Jama’ah Indonesia menemui momentumnya. Di antara ulama yang menjadi pengawal Islam Ahlusunnah wal Jama’ah pada masa ini adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875 M), seorang ulama terkemuka yang lahir di Sambas, Kalimantan Barat, sejak masa mudanya sudah menunjukan semangat menggebu-gebu untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, sehingga beliau berketetapan hati untuk bermukin lebih lama di Makkah al-Mukarromah. Pasalnya iklim politik di Nusantara waktu itu tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Syakh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar, “Qodiriyah wa Naqsabandiyyah”. Tarekat Qodariyyah digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abi Shaleh Zangi Dost Al-Jailani (w. 1166 M) yang mengacu pada tradisi madzhab Iraqi yang dibangun oleh Imam Al-Junaidi. Sementara Tarekat Naqsabandiyyah dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Bahauddin Al-Uwaisyi Al-Bukhori An-Naqsabandi (w. 1389 M) yang didasarkan pada tradisi Khurasani yang dipelopori oleh Al-Bushtomi. Kedua jenis tarekat inilah yang dengan briliyan diramu dan diracik oleh Syaikh Khatib Sambas dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal dikalangan umat islam sekarang ini. Kitabnya Fathul Arifin, menunjukan integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di lingkungan masyarakat islam. Tarekat Khatib Sambas diamalkan oleh masyarakat islam dibelahan dunia, terutama dinegara-negara yang bermadzhab syafi’i dan bertasawuf ala Al-Bustami dan Al-Junaidi.
Pelanjut tradisi ASWAJA kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813-1897 M). Dilahirkan di daerah Tanara, Banten. An-Nawawi menetap di Mekah untuk selamanya, pada tahun 1855 ia menjadi seorangJawi yang terkenal, bahkan menurut Kyai Said beliau mencapai derajat “Mujtahid Madzhab”. Ia belajar kepada guru-guru di Haramain, di antaranya Syaikh Ahmad An-Nahrowi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan dan Syaikh Muhammad Khatib Al-Hanbali. Beliau telah menulis sejumlah kitab keagamaan yang hingga kini masih digunakan di lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri islam lainnya. Syaikh Nawawi merupakan wujud dari geliat dan pergumulan islam lokal yang lahir di tengah keterbatasan Nusantara. Karya beliau lebih dari seratus judul dalam berbagai bidang baik berupa matan maupunsyarah atau pun khasiyah. Ada banyak murid beliau di berbagai penjuru dunia terutama yang dari Indonesia.
Penerus ASWAJA berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919 M). Ahli hadits ini merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab Manhaju dzawi nadzrI, sebuah kitab metodologi autentisitas hadits (ulumul hadits) yang hingga kini diajarkan di Universitas Al-Azhar, Mesir. Buku ini merupakan komentar atas karya Imam Abdurrahman As-Suyuthi (w. 911 H) Mandzumat ilmil Atsar. Selain Mahfudz Termas, ulama tersohor lainnya yang meneruskan tradisi ASWAJA adalah Kyai Kholil Bangkalan (1819-1925 M). Beliau adalah ahli gramatika Arab dan guru dari K.H. Hasyim Asy’ari. Meskipun dari sisi pemikiran tidak cukup dikenal, Kyai Kholil Bangkalan berhasil mencapai puncak popularitas dan karisma sehingga menjadi rujukan ulama jawa pada masanya. Ulama periode berikutnya adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan orang Jampes (1901-1952 M), ulama asal Kediri ini yang intens mendalami tasawuf. Dia mengarang kitab Sirajut-Thalibin, sebuah komentar cukup luas atas kitab Minhajut Abidin karya Al-Ghozali. Kitab ini menjadi penting di beberapa negara berpenduduk Muslim, tidak terkecuali di komunitas Al-Azhar Mesir dan beberapa negara di Afrika Barat.
- 3. Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA) abad ke-20 dan 21
Dalam pembacaan Hadlrotussyaikh Hasyim Asy’ari terhadap realitas keagamaan di Jawa waktu itu, bahwa umat islam di daerah Jawa sejak zaman dulu telah sepakat dan menyatu dalam pandangan keagama’an. Di bidang fikih mereka berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari dan di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu Hamid Al-Ghozali dan Abul Hasan Asy’Syadili. Kemudian pada tahun 1330 H timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran dan pertikaian di kalangan para pemimpin. Di antara mereka ada yang berafiliasi pada kelompok Salafiyyin yang memegang teguh tradisi para tokoh terdahulu. Mereka bermadzhab kepada satu madzhab tertentu dan berpegang teguh kepada kitab-kitab mu’tabar.
Di antara ahli bid’ah yang muncul pada tahun 1330 H adalah;
- Pengikut Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abdul, beliau adalah para pembaharu Mesir yang terpengaruh oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi dan Ibnu Taimiyyah serta dua murid Ibnu Taimiyyah yakni Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
- Kelompok Abahiyyun, yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan apa saja yang disukai, mereka berkata: “Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman dari pada kufur dan kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan larangan.
- Aliran Tanasukhil Arwah, kelompok ini mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad seseorang yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis.
- Hulul dan ittihad, menurut Syaikh Hasyim Asy’ari mereka adalah orang yang menjalankan tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT adalah wujud yang mutlak. Dan manusia tidak berwujud sama sekali. Hampir sepaham dengan konsep di atas ialah faham Wihdatul Wujud.
- Serta golongan-golongan yang lain yang beredar waktu itu di Tanah Jawa.
Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa karya Syaikh Hasyim Asy’ari yang 19 kitab sebagaimana di edit oleh cucu beliau yakni Gus Ishom (K.H. Ishomuddin Hadiq) itu merupakan jawaban serta respon dari golongan-golongan yang dianggap menyimpang dari ajaran islam Ahlusunnah wal Jama’ah di zamannya. Namun Syaikh Hasyim Asy’ari mempertahankan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah tidak hanya dengan karya tulis saja tetapi beliau mendirikan suatu komunitas ulama yang belakangan disebut dengan nama Nahdlotul Ulama (NU), hal ini terbukti ketika NU didirikan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari bersama ulama lainnya pada 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M merupakan respon dari penguasa Hijaz waktu itu yang mengadakan Muktamar Khilafah, yang di antara tujuan Muktamar itu adalah penguasa baru Hijaz (yakni Ibnu Saud yang merebut daerah Hijaz dari Syarif Husain) berambisi untuk menggantikan kedudukan daulan Utsmaniyyah sebagai pusat kekuasaan islam dengan Saudi Arabia dan penguasa Saudi sebagai khalifahnya. Tapi ulama NU waktu itu melihat lebih jauh, ternyata tujuan Muktamar Khilafah bukan hanya untuk pengangkatan Khalifah saja, tapi ada proyek terselubung di dalamnya yaitu agenda Wahabisme Internasional yang intinya supaya menghentikan bermadzhab, jiarah kubur, tahlil dan lain-lain. Dan Alhamdulillah usaha ulama kampung itu (maksudnya utusan komite Hijaz yang diwakili oleh K.H. Wahab Hasbullah, Syaikh Ghanaim, K.H.M. Dahlan) berhasil menggagalkan proyek internasional yang diselenggarakan oleh penguasa Saudi. Sekarang kita bisa menikmati berbagai literatur perintis madzhab juga kita bisa leluasa membaca solawat dengan keras, baca barjanjian tiap malam jum’at, itu semua atas jasa para pendahulu kita yang dengan gigih berdebat diforum Internasional. Andaikan proyek Muktamar Khilafah sukses niscaya umat islam Indonesia bahkan umat islam dunia akan dipaksa untuk memegang satu ajaran, yakni ajarannya wahabi.
Selanjutnya di abad dua satu atau abad ke lima belas ini kita menghadapi tantangan yang lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Kalau abad ke-2/3 Hijriyah ASWAJA menghadapi Muktazilah, Jabariyah, Qodariyah, Jabariyah, dan lain-lain, atau Abad ke 4/5 Hijriyyah Al-Ghozali menghadapi Falazifah, Mutasowwufah, Bathiniyyah dan Ta’limiyyah, sedangkan Syaikh Hasyim Asy’ari pada abad ke 13/14 menghadapi Wahabi, Ibahiyyun, Hulul, Ittihad dan Wahdatul Wujud, namun sekarang ASWAJA kita ditantang oleh dunia untuk bisa menyelesaikan masalahnya mulai dari Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, Sosialisme, Islam garis keras, Wahabisme Internasional yang dakwahnya makin halus dan tak terlihat serta yang terakhir Syi’isyme. Bagaimana menyikapinya?. Insyaallah di depan kita akan mendiskusikan formulasi ASWAJA saat ini yang lebih kontekstual dan paradigmatik.
- C. DEFINISI ASWAJA
Untuk lebih spesifik mengenai definisi ASWAJA kami akan menampilkan definisi umum dan khusus yang tertuang dalam kitab Ahlusunnah wal jama’ah madkhal wa dirasah yang diterjemahkan oleh Muhammad James.
Setelah mengkaji beberapa referensi yang ada mengenai makna istilah ahlusunnah waljamaah, maka jelaslah bahwa definisi ahlusunnah waljamaah terbagi dua. (1) Definisi Umum, (2) Definisi Khusus.
Definisi umum (general/global) Ahlusunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW dan Sahabatnya RA, dalam ke-Islaman, ke-Imanan, ke-Ihsanan, atau dengan kata lain dalam Aqidah, Syariah dan Hakikat (Tasawuf dan Akhlaq).
Definisi umum di atas berdasarkan sebuah hadits (sabda) Nabi SAW yang mulia: dari Abdullah Ibn Umar beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Akan terjadi kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani Israil bagaikan sepasang sepatu (maksudnya saking samanya-peny)sampai-sampai di Bani Israil ada yang menggauli Ibunya secara terang-terangan dan umatkupun nanti akan ada yang berbuat demikian.
Bahwa Bani Israil berpecah menjadi 72 sekte (millah) dan umatku akan berpecah menjadi 73 sekte (millah), semuanya masuk neraka kecuali satu sekte saja. Ibn Umar bertanya “Siapa itu Wahai Rasulullah ?”Kemudian Rasul menjawab “ orang-orang yang mengikuti ku dan sahabatku”. HR. Al-Turmudzi.
Pernyataan Rasulullah Ma ana alahi wa ashabi (orang-orang yang mengikutiku dan sahabatku) mengandung pengertian Aqidah, Syariah dan Hakikat, yang mana ketiganya ini maksud dari kata al-din dalam sebuah hadits syarif :
Umar Ibn Khatab Berkata, “ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, suatu ketika datang kepada kami seorang lelaki dengan pakaian sangat putih dan rambutnya hitam sekali, tidak terlihat bekas perjalanan, tidak ada seorangpun dari kami yang mengenalnya sehingga dia duduk dengan Rasulullah, kemudian menyandarkan lututnya kepada lutut Rasul lalu menyimpan kedua tangannya di atas paha Rasul, kemudian dia berkata “ Wahai Muhammad apa itu Islam?”, Rasul menjawab “ Islam adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mengerjakan solaht, membayar zakat puasa di bulan Ramadhan, dan naik haji baigi orang yang mampu di perjalanannya”, lalu dia berujar “kamu benar”, Umar berkata “ aku kaget dia yang bertanya dia juga yang membenarkanya”, lalu dia berkata lagi “ apa itu iman?” dan Rasul menjawab “ beriman kepada Allah, Malaikatnya, Kitabnya, Rasulnya, hari Akhir dan ketentuanya (al-qodr) yang baik maupun yang buruk” dia berujar lagi “kamu benar” kemudian dia bertanya lagi “apa itu ihsan?” Rasul menjawab “beribadah kepada Allah seolah-olah kau melihatnya, apabila kau tidak bisa melihatnya maka Allah selalu melihatmu” dia bertanya lagi “apa itu Qiyamat?” Rasul menjawab “yang bertanya lebih tahu dari pada yang ditanya?” lalu dia berujar “sebautkan ciri-cirinya” lalu Rasul menjawab “Hamba sahayamelahirkan tuannya, dan kau melihat orang tak beralas kaki, pakaiannya compang-camping, miskin dan penggembala kambing, mereka berlomba-lomba meninggikan bangunan”. Kemudian orang tersebut beranjak pergi sedangkan aku diam cukup lama, kemudian Nabi berkata kepadaku “wahai Umar, tahukan kamu siapa dia?” aku menjawab “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui” Nabi SAW bersabda “Dia adalah Jibril, datang kepada-mu untuk mengajarkan tentang agama-mu”
Prof. Rohil Said Hawa (semoga Allah mengampuninya) berkata bahwa maksud kata Al-Jama’ah dalam istilah syaari adalah sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya, maka dari sinilah diketemukan suatu istilah (maksudnya istilah Ahlusunnah wal Jamaah). Maka menurut Al-Mahdili, pernyataan ini menguatkan pendapatku tentang definisi umum di atas.
Definisi umum di atas juga berdasar kepada sebuah hadits Rasulullah SAW, dalam sabdanya:
Auf Ibn Malik berkata, Rasul SAW Bersabda “ Telah berpecah-belah umat Yahudi menjadi 71 golongan, satu golongan masuk surga sedangkan 70 golongan masuk neraka, kemudian umta Nasroni terpecah-belah menjadi 72 golongan 71 masuk neraka sedangkan yang satu golongan masuk surga. Dan demi dzat yang nasf Muhammad berada dalam genggamannya yakin akan terpecah-belah umatku menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan 72 lagi masuk neraka, dikatakan “siapa mereka wahai Rasulullah?” Rasul menjawab Al-Jama’ah
Banyak Ulama yang besungguh-sungguh menjelaskan dan menulis kitab tentang ahlusunnah waljamaan diantaranya, (Pemikir besar islam dalam bidang ushul) yang sangat mumpuni dalam bidang ini dia adalah Abdul Qohir Ibn Tohir Ibn Mumahhad Al-Bagdadi Al-Isfiraini Al-Tamimi yang meninggal tahun 429 H, telah mensfesifikan sebuah kajian tentang Ahlusunnah waljamaah dalam kitabnya yang terkenal “Al-Farqu baina al-Firoq” kitab ini merupakan kitab referensi yang paling otoritatif dalam kajian Al-Firaq Al-Islamiyyah (sekte-sekte dalam islam).
Al-Bagdadi (semoga Allah merahmatinya dalam Al-Faqu bainal Firaq) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ahlusunnah waljamaah adalah mereka yang berpegang terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan semua Sahabatnya RA baik dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq Tasawwu. Sebagaimana ungkapannya;
Hari ini aku tidak menemukan dari golongan umat (islam. peny) orang-orang yang sesuai dengan Sahabat RA selain Ahlusunnah waljamaah, baik dari kalangan Fuqohanya, ahli kalamnya yang murni, yang berlainan dengan ajaran Rafidoh, Qodariyah, Khowarij, Jahmiyyah, Nijariyyah, Musybihah, Al-Gullah dan Hululiyyah.
Kemudian dalam kitab tersebut Al-Bagdadi menjelaskan kelompok-kelompok orang yang termasuk Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah baik dari kalangan Ulama Aqidah, dan Imam-imam Ahli Fiqih, serta Ulama Hadits, tafsir dan ahli zuhud sufiyyah, juga Ulama ahli bahasa (ahli lugot) serta orang-orang yang dipadati aqidah ahlusunnah wal jamaah.
Adapun definisi khusus (spesifik) Ahl Sunnah wa al-Jama’ah : adalah orang-orang yang berkeyakinan sebagaimana keyakinannya pengikut Al-Asy’ari dan Al-Ma’turidi. Sebagaimana Dr. Jalal Muhammad Abdul Hamid Musa memberikan indikasi bahwa istilah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah merupakan istilah yang ada dalam ilmu kalam, yang memiliki makna khusus Para pengikut Al-Asy’ari (Asya’iroh). Oleh karena itu aku mendapati sebagian pendapat peneliti dalam bidang Sekte-sekte dalam Islam (al-firaq al-islamiyyah) yang menyatakan bahwa istilah Ahlusunnah wal Jamaah sepadan dengan istilah Al-Asya’iroh .Berdasarkan pemikiran khusus di atas maka jelaslah dalam sejarah Ahlusunnah wal Jama’ah di atas pada awalnya diperuntukan bagi kelompok orang yang mengikuti Al-Asy’ari.
Definisi khusus ini pada hakikatnya tidak lain merupakan bagian dari definisi umum Ahlisunnah wal Jamaah, karena Al-Asyaa’iroh (pengikut al-Asy’ari) atau Ahlusunnah wal Jama’ah (dalam arti khusus) menjalankan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya RA dalam Aqidah. Adapun penamaan Al-Asya’iroh dengan nama Ahlusunnah wal Jama’ah merupakan menamai sebagian dengan nama keseluruhan (min bab tasmiyyat al-juz bi al-ismi al-kull) (hal ini merupakan kajian ilmubayan tentang majaz mursal), begitu juga penamaan Ahli Hadits dengan nama Ahlusunnah wal Jama’ah.
Ada sebagian orang yang mempersempit cakupan Ahlusunnah wal Jama’ah hanya kepada Ahli Hadits saja, alasannya karena mereka (ahli hadits) merupakan orang yang paling mengetahui perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW, dan mereka juga orang yang paling mumpuni dalam membedakan hadits yang sohih dengan yang hadits tidak sohih, serta para imam mereka sangat faham terhadap haditsRasul, juga sangat faham terhadap makna-maknanya. Selain itu mereka juga mengikuti serta membenarkan, mengamalkan dan mencintai hadits Rasulullah, mereka akan selalu loyal kepada pemegang hadits dan memusuhi pengingkarnya.
Orang yang berpendapat seperti di atas (ahlusunnah hanya ahli hadits saja), berusaha untuk mempersempit sesuatu yang sebenarnya luas (memperkecil sesuatu sebenarnya besar.), sebab istilah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah meliputi Ulama-ulama islam baik dalam aqidah, syariah maupun hakikat serta Ulama tafsir, dintaranya Imam Al-Razi, Imam Al-Tobari, Al-Alusi, Al-Qurtubi dan lain-lain.
Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa metode paling baik dalam memahami makna istilah Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah metodenya Al-Bagdadi dalam kitabnya Al-Farq baina Al-Firaq. Al-Bagdadi telah memasukan delapan golongan manusia dalam deretan Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah, mereka adalah ulama aqidah, ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tasawuf, ulama ahli bahasa, sastrawan (budayawan), dan tentara-tentara yang berada di perbatasan wilayah muslimin untuk menghadapi orang kafir serta penduduk negeri yang disana terdapat syiar Ahlusunnah.
Kesimpulan
Ahlusunnah wal Jama’ah adalah setiap orang yang berpegang terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasul SAW serta Sahabatnya RA, baik dalam Aqidah, Syariah serta Tasawwuf, kemudian mereka diklasifikasikan menjadi dua kelompok, (1) kelompok Ulama, (2).kelompok Awam.
Kelompok ulama Ahlusunnah wal Jama’ah adalah ulama-ulama yang telah disebutkan oleh Al-Bagdadi, sedangkan kelompok awam adalah mereka yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadnya Ahlusunnah wal Jama’ah dan beribadah sebagaimana ibadahnya Ahlusunnah wal Jama’ah serta berakhlaq sebagaimana akhlaqnya Ahlusunnah wal Jama’ah, dan bertasawwuf sebagaimana tasawufnya Ahlusunnah wal Jama’ah.
- D. AJARAN ASWAJA
- 1. ASWAJA sebagai Madzhab
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlusunnah waljamaah menyatakan bahwa Aswaja adalah attoriqotul mardiyah al maslukah salakaha rosulullah saw waman tabiahu ( aliran yang diridoi yang dijalankan oleh rosul dan pengikutnya), kemudian dalam Qonun Asasi NU, beliau menyatakan bahwa Aswaja dalam ber-aqidah mengikuri al-Asy’ari dan al-Ma’turidi, dalam ber-fiqih mengikuti madzahibul arba’ah yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali, dalam ber-tasawuf mengikuti Junaedi Al-Bagdadi dan Al-Gozali. Pernyataan mbah Hasim diatas sejalan dengan pernyataan ulama-ulama Mutaakhirin (yakni ulam yang hidup sesudah tahun lima ratus Hijriyyah). Adapun menurut Mutaqodimin rumusannya agak berbeda bisa dilihat dalam alfarqu bainal firoq yang dikarang oleh Abdul Qohir bin Tohir al-Bagdadi beliau hidup di paruh abad ke empat
Kemudian Al-Bagdadi dalam alfarqu bainal firoq menjelaskan ada 15 hal yang disepakati oleh Aswaja dan sesatlah orang yang menyalahinya.
- dalam masalah Ushuludin menetapkan substansi ilmu ada yang khusus dan ada yang umum.
- mengetahui pencipta alam dan sifat-sifat dzatnya.
- mengetahui kebaruan alam.
- mengetahui sifat azaliayah.
- mengetahui asma dan sifat Allah
- mengetahui adilnya Allah serta Hukumahnya.
- mengetahui Rosul-Rosul dan Nabi-Nabinya.
- mengetahui Mukjizat Nabi dan Karomah Wali.
- mengetahui hal yang disepakati dalam syariat islam.
10. menetahui Hukum amar,nahyi dan taklif.
11. mengetahui kepanaan selain Allah dan pertanggungjawaban manusia di hari akhir.
12. khilafah, imamah dan syarat pemerintahannya.
13. mengetahui hukum-hukum islam secara global.
14. menegtahui hukum-hukum wali dan stratifikasi imam-imam yang disucikan Allah.
15. mengetahui hukum-hukum memerang orang kufur dan ahli ahwa.
Selanjutnya kalau yang lima belas ini kita kelompokan, maka akan terbagi menjadi empat kelompok.
- Tentang Uluhiyyah (ketuhana)
- Tentang Nubuwwah (kenabian)
- Tentang Samiyyah (sesuatu yang didengar dalam Al-Qur’an, seperti hari akkhir, surga, neraka dll)
- Tentang Ma’lumun minaddini biddoruroh (aturan agama yang telah jelas seperti wajibnya solat, puasa, haramnya zina, khomr, dan lain-lain)
Maka barang siapa yang membangkang (mengingkari) terhadap 4 hal di atas, dia telah dihukumi keluar dari islam dan pastinya telah keluar dari Ahlusunnah wal Jama’ah.
- 2. Golongan Ahlusunnah wal Jama’ah
Dalam kesempatan ini, perlu kiranya kita mengetahui siapa saja yang termasuk golongan ASWAJA menurut para ahli, di sini kami akan mengutif bukunya Dr. Sayyid Muhammad Aqil Al-Mahdili Ahlusunnah wal Jama’ah yang diterjemahkan oleh Muhammad James.
Al-Bagdadi telah berusaha mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengkaji golongan (kelompok orang) yang termasuk Ahlusunnah wal Jama’ah, kajian ini merupakan kajian tiada duanya (tiada bandingnya) pada masanya. Sebagaimana telah jelas bahwa mayoritas pemikir kontemporer mengikuti metode Al-Bagdadi, diantarnya Prof. Muhammad Hamzah seorang dosen di Fakultas Dakwah Islamiyyah dalam kitabnyaAL-Ta’lif baina Al-Firaq Al-Islamiyyah diterbitkan pertama kali di Damsyiq oleh Dar al-Qutaibah tahun 1405 H bertepatan dengan tahun 1985 M, dan Prof. Rahil Said Hawa dalam kitannya Al-Asas fi Al-Sunnah wa Fiqhiha Al-Aqoid Al-Islamiyyah diterbitkan oleh Dar Al-Salam Al-Qohiroh tahun 1409 H bertepatan dengan tahun 1989 serta ulama yang lainnya.
Golongan-golongan yang disebutkan oleh Al-Bagdadi, ialah
a. Golongan ulama ahli tauhid, kenabian (nubuwwat), hukum-hukum janji Allah (wa’d), ancaman (wa’id), pahala, siksa, serta syarat-syarat ijtihad, kepemimpinan (imamah) dan pemerintahan. Dalam membahas tauhid mereka menyusuri jalan para ahli kalam yang masih murni, yang tidak tercemar oleh golongan Tasybih, Ta’til, juga tidak tercemar oleh bid’ahnya Rafidoh, Khawarij, Jahmiyah, dan kelompok-kelompok sesat lainnya.
yang dimaksud golongan ulama aqidah disini adalah ulama Asya’iroh dan Ma’turidiyyah, diantara ulama besar Asya’iroh adalah:
- Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyr Ishaq Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdillah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Amir Ibn Musa Al-Asy’ari, beliau dilahirkan di kota Basrah pada tahun 260 menurut sebagian ulama namun menurut yang lain belau dilahirkan tahun 270 H, dan beliau meninggal tahun 330 H namun ada yang mengatakan tahun 324 H. beliau merupakan pembangun madzhab Al-Asy’ariy.
- Abu Bakar Muhamad Ibn Al-Tayib Muhammad Al-Qodi yang dikenal dengan nama Al-Baqilani atau Ibn Al-Baqilani beliau merupakan ahli kalam ternama dikalangan Al-Asya’iroh. Beliau terkenal dengan kemampuannya berdebat dan mengalahkan lawan debatnya dari Syiah, Muktazilah...di jamannya Al-Bagilanai merupakan orang yang paling faham mengenai masalah perikhtilafan secara umum dan Aqidah Umat Kristen secara khusus.
- Abu Mansur Abd Al-Qohir Ibn Tohir Ibn Muhammad Al-Tamimi...beliau merupakan ahli dalam bidang ilmu fiqih, sastra (budaya), syair, nahwu, kalam dan ushul fiqh. Imam Al-Baqilani mengerahkan segenap kemampuannya untuk membela dan memperkuat aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah. Bahwa Aqidah ini merupakan aqidahnya aliran yang selamat.
- Abu Al-Ma’ali Abd Al-Malik Ibn Abd Allah Ibn Yusuf Ibn Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi (Imam Al-Haromain) – (419-178 H). Dalam dirinya terpatri sebuah hubungan antara Asy’ariyyah sebagai madzhab kalam dan Syafi’iyyah sebagia madzhab fiqh, beliau sangat alim dalam ilmu fiqh, ushul fiqh dan kamal, beliau juga merupakan gurunya Imam Al-Gozali semoga Allah merahmati mereka berdua.
- Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Gozali yang dikenal dengan sebutan Hujat Al-Islam (450-505 H) beliau ini seorang faqih, ushuliy, mutasowif (sufi), akhlaqiy, mutakallm, filosof. Al-Gozali merupakan rujukan keilmuan pada masanya.
b. Golongan kedua mereka adalah Para Imam ahli fiqih dari kalangnahlu Ro’i maupun ahlu Hadits, yang dalam ushuluddin mereka merupakan ulama yang berpegang teguh terhadap madzhab murni (sofatiyyah), pandangan mereka tentang Allah dan sifatnya yang azali, sama sekali berbeda dengan Qodariyah, Muktazilah, mereka juga meyakini bisa melihat Allah dengan mata dengan menghindari tasybih dan ta’til. mereka juga meyakini akan kebangkitan kubur, pertanyaan kubur, serta meyakini adanya Haudh (sebuah telaga di akherat), Sirot (jembatan untuk menyebrang ke surga), Syafa’at, dan diampuninya dosa selain dosa syirik.
Mereka meyakini kekalnya nikmat surga kepada penghuninya dan kekalnya siksa neraka kepada orang kafir, mereka juga meyakini atas keimamanya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali..Mereka membaguskan pujian kepada para Salaf Al-Solih nya umat. Para Ahli fikih juga berpandangan akan kewajiban mengistinbath hukum dari Al-Qur’an, Al-Sunah dan Ijma’nya Sohabat, serta bolehnya mengusap kedua sepatu (ketika wudu) dan jatuhnya talak tiga dan haramnya nikah mut’ah. Dalam bernegara bernegara mereka berpendapat wajibnya mena’ati pemerintah selagi bukan dalam hal maksiat.
Yang termasuk kedalam golongan ini, diantaranya Ashab Malik, Syafi’i, Al-Auza’i, Tsauri, Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ashabnya Abi Tsur, Ashab Ahmad Ibn Hanbal, Ahlu Dzohir serta para ahli fikih yang memiliki Aqidah murni dalam masalah Aqliyyah dan tidak memcampur-adukan fikihnya dengan bid’ahnya ahli ahwa yang sesat.
c. Golongan ketiga adalah ulama yang menguasai kaidah-kaidah kritik khobar dan sunah (hadits) yang datang dari Nabi SAW serta membedakan antara hadits sohih dan tidak sohih (doif, maudu). Mereka juga mengetahui sebab-sebab Jarh wa Ta’dil (sebab cacatnya hadits dan mengunggulkan hadits. pen). Mereka tidak mencampurkan ilmunya dengan sesuatu yang datang dari ahlul ahwa yang sesat.
d. Golongan keempat adalah ulama yang menguasai bab-bab dalam ilmu Sastra, Nahwu dan Sharaf, Mereka memiliki corak pemikiran ahli tata bahasa seperti Al-Kholil, Ibn Umar Ibn Ala’, Sibawaih, Al-Faro’, Al-Ahfas, Al-Asmu’i, Al-Mazani, Abu Ubaid, dan imam-imah Nahwu yang lain baik dari kufiyyin maupun bashariyyin, Mereka tidak mencampurkan ilmunya dengan sesuatu yang datang dari bid’ahnya Qodariyah atau Rafidoh dan Khowarij Barangsiapa yang memiliki kecenderungan ahwayang sesat maka dia bukanlah bagian dari Ahl Al-Sunnah dan ungkapannya bukan merupakan hujjah dalam tatabahasa dan nahwu.
e. Golongan kelima adalah ulama yang menguasai ilmu Qira’at Al-Qur’an, ilmu tafsir dan ta’wil ayat Al-Qur’an sebagaimana ta’wilmainstream madzhab Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah, berbeda dengan ta’wilnya ahli ahwa yang sesat.
f. Golongan keenam adalah ulama Zuhad Al-Sufiyah mereka adalah orang-orang yang berkonsentrasi (absoruu), terfokus (aqsiruu), kontemplasi (ikhtabaruu,) merenungkan (i’tabaruu) dan rido terhadap sesuatu yang telah digariskan (maqdur) serta rela terhadap yang diperoleh. Mereka juga meyakini bahwa pendengan, penglihatan dan hati (fuad), kebaikan dan keburukannya akan dipertanyakan, dan diperhitungkan walaupun sekecil tepung dan mereka juga mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya persiapan untuk hari kiamat. Dan ucapan-ucapan mereka dalam mengeluarkan suatu Ibarot dan Isyarot
menapaki jalan ahli hadist bukan jalannya orang-orang yang memperjual-belikan hadits.
Mereka tidak beramal kebaikan karena riya dan tidak meninggalkan amal karena malu, agamanya adalah tauhid serta tidak menyekutukan, madzhabnya adalah berserah diri, tawakal dan rela atas ketentuan Allah SWT. Mereka selalu Qona’at terhadap rizki yang diberikan Wa Al-I’tirodz An Al-I’tirodz alaihi :
y7Ï9ºsã@ôÒsù«!$#ÏmÏ?÷sã`tBâä!$t±o4ª!$#urrèÈ@ôÒxÿø9$#ÉOÏàyèø9$#
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.
g. Golongan ketujuh adalah orang-orang yang berada di perbatasan wilayah muslimin untuk menolak orang kafir dan berjihad untuk melindungi umat muslim serta mempertahankan kehormatan dan tanah air umat muslim, kemudian di tanah perbatasan mereka menampakan (yudzhiruuna) madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah, mereka merupakan orang-orang Allah SWT menurunkan ayat tentangnya :
z`Ï%©!$#ur(#rßyg»y_$uZÏùöNåk¨]tÏöks]s9$uZn=ç7ß4¨bÎ)ur©!$#yìyJs9tûüÏZÅ¡ósßJø9$#ÇÏÒÈ
69. dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Semoga dengan keutamaan dan karunianya, Allah menambah taufik kepada mereka.
h. Golongan kedelapan, di antaranya mereka adalah penduduk suatu daerah yang sampai kepadanya syiar Ahlusunnah wal Jama’ah, berlainan dengan penduduk kampung yang disana terlihat syiar orang-orang sesat.
Al-Bagdadi berkata, yang aku maksud dengan kelompok awamadalah orang-orang yang meyakini kebenaran ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dalam masalah keadilan Allah (al-adl), tauhid, janji dan ancaman Allah. Mereka menjadikan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah sebagai rujukan agamanya dan mereka bertaqlid kelada ulama Ahl Al-Sunnah dalam masalah halal dan haram sekaligus mereka tidak meyakini sesuatu yang datangnya dari bid’ahnya ahl al-ahwa yang sesat, mereka adalah orang-orang yang dalam istilah tasawuf disebut “penghuni surga (Hasyw Al-Jannah)” .
Semua golongan Ahlusunnah wal Jama’ah, keseluruhnya merupakan pengikut agama yang benar dan pengikut jalan yang lurus.
Semoga Allah SWT mengokohkannya dengan qoul al-tsabithdalam kehidupannya di dunia maupun di akherat, sesungguhnya Allah maha pantas dan kuasa untuk mengijabah doa
Golongan yang delapan terbagi menjadi dua kelompok besar
Kelompok pertama adalah ulamanya, mereka ada enam golongan: (1) ulama aqidah, (2) ulama fiqih atau fuqoha, (3) ulama hadits, (4) ulama tafsir, (5) ulama tasawuf, (6) ulama sastra, nahwu dan sharaf.
Kelompok kedua adalah awamnya, mereka ada dua golongan: (1) para tentara muslim dari Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah (2) orang-orang yang hidup di suatu daerah yang disana tersyiar Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Sejalan dengan itu, terdapat Ahlusunnah wal Jama’ah yang hidup di suatu daerah yang disana mayoritas penduduknya non-Alusunnah wal Jama’ah. Bahkan saat ini muslim Ahlusunnah wal Jama’ah hidup di Negara yang dipimpin oleh non-muslim seperti di Amerika, Eropa, Cina, Thailand, Singapura dan lain-lain.
- 3. Ahlusunnanh Wal Jamaah sebagai Manhajul Fikri
Dalam perkembangannya ASWAJA sebagai madzhab mengalami kejumudan dan dirasa sulit menjawab kompleksitas problematika masa kini, maka para pemikir kontemporer seperti Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA melakukan rekontruksi terhadan rumusan ASWAJA yang asalnya hanya dipahami sebagai madzhab (diantaranya rumusan mbah Hasyim) menjadi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri (metodologi berfikir) dengan salah satu Argumentasinya “tidak mungkin ada madzhab diatas madzhab” (makudnya tidak mungkin ada madzhab ASWAJA diatas madzhab fiqh, tauhid dan tasawuf) bahkan dalam salah satu makalahnya, beliau menyatakan bahwa rumusan definisi Aswajanya Mbah Hasyim itu memalukan karena mengatakan “ASWAJA adalah berfiqih madzhab yang empat, beraqidah Asy’ari-Ma’turidi, tasawuf Ghozali-Al bagdadi” secaramantiqi itu bukan definisi, karena syarat ta’rif (definisi) itu harus jami’-mani’ (jelas cakupannya dan jelas batasannya). Kendati demikian definisi di atas itu kondusif untuk zaman mbah Hasyim, namun untuk saat ini perlu dicari formula definisi yang pas dan ilmiah, maka beliau merumuskan definisi ASWAJA sendiri .Ahlusunnah waljamaah hiya manhajul fikriddini asyamil ala syu’unil hayati wamuqtadoyatiha alqoim alal asas tawasuth, tawajun, tasamuh wal I’tidah (ASWAJA ialah Metodologi Berfikir keagamaan yang meliputi seluruh Aspek kehudupan yang berdiri diatas dasar Moderat, berimbang, Toleran dan Proporsional).
Pemikiran diatas didasari oleh kenyataan sejarah, bahwa yang membedakan pola fikir Aswaja dengan yang lainnya adalah sikapnya yang toleran (seperti tidak mengkafirkan orang yang masih melaksanakan solat) dan moderat (seperti menengahi konsepsi qodo qodar antara pemikiran Qodariyah dan Jabariyah)
Moderat, seimbang, Proporsional dan Toleran itu digunakan dalam segala aspek baik dalam Aspek:
- Tauhid; dalam tauhid Aswaja memproporsikan mana yang harus menggunakan dalil Aqli dan mana yang harus menggunakan dalil Naqli.
- Fiqih; dalam fiqih Aswaja sangat Moderat dalam menengahi dominasi Nash dan Ro’yu, contohnya Imam Syafi’i dalammengistinbath hukum pertama melihat Nalam Nash kalau tidak ada maka memakai Qiyas
- Tasauf; dalam tasauf Aswaja memposisikan secara berimbang antara memakai hasil Mukasyafah dan hasil Bayan (al-Qur’an wal Hadist)
- Politik; dalam berpolitik Aswaja tidak Ekstreme tidak seperti Syiah yang Guluw yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dalam berpolitik Aswaja tidak Otoriter seperti konsep imamahnya Syiah tapi Aswaja menegedepankan Musyawarah.
- Sosial Kemasyarakatan;
- Dan lain-lain
Walhasil, menurut K.H.Said Agil Siradj, siapapun yang berfikir Moderat, berimbang, Proporsional dan Toleran maka dia adalah ASWAJA.
- E. MANHAJUL FIKRI LI AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
Rumusan Aswaja K.H.Said Agil Siradj dinilai sangat naïf karena masih global dan tidak aplikatif bahkan menempatkan watak (karakter) berfikir Aswaja sebagai Manhaj berfikir , selain itu terjadi liberalisasi ASWAJA sehingga ASWAJA tidak akan punya identitas dan akan melebur dengan golongan lain, karena Kyai Said mengungkapkan dalam buku “Tasauf Sebagai Kritik Sosial” bahwa syiah dan muktazilah itu masih termasuk islam dan termasuk ASWAJA, dengan Argumentasi bahwa syiah, muktazilah dan ahlusunnah sama secara konsepsional dalam masalah Uluhiyah (ketuhanan), Nubuwah (kenabian) dan sam’iyat ( yang didengar/hal diluar logika seperti adanya surga, neraka, dan lain-lain)
Oleh karena itu K.H. Hamdun Ahmad mencoba membuat elaborasi baru tentang Aswaja dengan nama manhajul fikri liahli sunnah wal jamaahsupaya tercapainya “almuhafadotu alal qodimissolih wal akhdu biljadidil aslah” dengan cara mempertahankan identitas ASWAJA sebagai Madzhab yang mana itu warisan intelektual masa lalu yang masih baik dan mencoba mendinamisir Aswaja dengan cara mengembangkan Manhajul Fikrinya, tapi Manjahul Fikri
( Pola Fikir/metodologi berfikir) nya tidak terlepas dari watak berfikir Aswaja yaitu tasamuh, taadul, tawazun, dan tawasuth.
Adapun konsep manhajul harokah Kyai Hamdun Ahmad adalah sillaturrahmi, sillatul fikri dan sillatul amal.
Ini merupakan konsep sederhana yang padat arti, di mana silaturahmi merupakan proses analisis terhadap suatu objek, baik objek tersebut berupa realitas sosial ataupun realitas individual, dari hasil analisis itu kemudian di olah (nah, pengolahan ini termasuk sillatul fikri) agar bisa diaplikasikan dalam rangka menyelesaikan suatu masalah, yang mana pengertian dari masalah (problem)adalah kesenjangan antara yang seharusnya (das sollan) dengan kenyataannya (das sein).
- 1. Rumusan Manhajul Fikri Lil ahli Sunnah Wal Jamaah
Manhajul fikr liahli sunnah waljama’ah adalah pola/metode berfikirnya orang ASWAJA. Sebagaimana dijelaskan di atas dari hasil kajian sejarah ternyata ada kesamaan pola yang dimiliki oleh orang-orang yang dinyatakan sebagai ASWAJA.
Maka dalam tulisan ini kami akan mencoba untuk memaparkan sedikit tentang pola fikir ASWAJA.
KH. Hamdun Ahmad menyatakan dalam islam itu ada dua pola fikir, satu pola fikir hukum, dua pola fikir ilmu. Pola fikir hukum itu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Ar-risalah atau kitab Fawaidul makiyyah, yang intinya suatu hukum bisa dikatakan benar jika sesuai dengan Al-Qur’an, Al-Hadits dan Akal. Kemudian pola fikir ilmu, jika kita merasa seorang muslim yang menganut ASWAJA maka setiap pencarian dan penerapan ilmu kita harus memiliki basis world-view (pandangan dunia) Tauhid, dengan rumusan sebagai berikut; minallah (segala ilmu dari Allah), billah(melaksanakan ilmu tersebut dengan Allah/ada campur tangan atau taqdiri Allah) dan yang terakhir harus lillah (semua ilmu akan dikembalikan kepada Allah).
Berawal dari basis tauhid di atas, kemudian Allah SWT memberikan dua tanda (ayat) kepada umat manusia, satu ayat qouliyyah, dua ayat kauniyyah. Ayat qouliyyah adalah bahan ilmu yang berupa teks (Al-qur’an dan Hadits), sedangkan ayat kauniyyah adalah bahan ilmu berupa realitas.Tapi yang menjadi masalah teks dan realitas tidak bisa ngomong sendiri, maka tugas manusia-lah untuk menerjemahkan makna-makna yang terkandung dalam teks dan realitas tersebut.
Maka dari itu manusia membutuhkan seperangkat metode untuk membongkar teks dan realitas, teks dibongkar dan dicari makna yang terkandung dalam teks tersebut menggunakan metode yang disebut dengan ushul fiqh, sedangkan realitas itu dibongkar oleh filsafat serta anak-anaknya yakni sains. Tidak sampai berhenti disitu sejarah pun membutuhkan penafsiran yang cerdas agar pengetahuan kita tentang realitas masa lalu bisa aplikatif untuk masa kini, maka dibutuhkanlah penguasaan ilmu historiografi. Tapi jangan lupa islam punya metode mencari kebenaran yang tidak dimiliki oleh Barat modern, metode itu adalah intuisi, di mana umat islam meyakini bahwa do’a dan kontemplasi (riyadhoh) serta imajinasi bisa menjadi jalan untuk mencapai kebenaran.
Dari basis ontologis di atas, maka secara epistemologis ASWAJA diproyeksikan untuk membangun peradaban ilmu dengan berdasar kepada metode Burhani (Rasional, Aqli), Bayani (tekstual, Naqli) serta Irfani(Intuisi, Isyari’) agar menghasilkan Al-Fiqhu Syamil (pengetahuan yang komprehensif) tapi tidak keluar dari karakter Tawasuth, Tasamuh, Tawazun dan I’tidal.
Sebagaimana kita ketahui para ulama ASWAJA dalam bidang tauhid selalu memakai dalil Aqli dan Naqli, dalam fikih juga sama namun dengan istilah yang berbeda Syar’i dan Adi’ (adat/kebiasaan), dalam tasawuf juga begitu memakai dalil Naqli dan Isyari’ (hasil intuisi). Setiap komponen di atas diposisikan secara berimbang dan moderat. Maka untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora, ilmu-ilmu science juga harus memakai metode di atas secara berimbang dan moderat serta toleran atas metode yang lain yang tidak bertentangan dengan prinsip universal Ahlusunnah wal Jama’ah.
Untuk lebih jelas memahami uraian di atas perlu kiranya kita buatkan skema sebagai berikut:
Epilog
Alhamdulillah! Atas berkat pertolongan Allah SWT di sela-sela menulis buku “Anomalie Modernisme; Kritik ASWAJA atas Modernisme; Suatu telaah Historis dan Filosofis” tulisan ini dapat dirampungkan. Dan mudah-mudahan tulisan sederhana ini walaupun hanya alakadarnya bisa menjadi pengantar bagi para pemula untuk memahami Ahlusunnah wal Jama’ah.
Penulis sadar bahwa dalam tulisan ini banyak sekali kekurangan, maka kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini menjadi harapan.
Jika ditinjau dari persfektif akademik, tulisan ini sangat tidak akademik-ilmiah, namun itu sengaja dilakukan karena kriteria ilmiah yang ada sekarang ini merupakan kriteria ilmiah versi orientalis. Kemudian dunia ilmiah digiring pada satu kriteria ilmiah yakni versi orientalis itu.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan perlawanan terhadap dominasi objektivisme ilmiah, sebagai mana yang telah dikakukan oleh K.H. Ahmad Baso dalam bukunya “Agama NU untuk NKRI”.
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh guru, senior, sahabat yang bersedia untuk ihtikaf dan munafasah serta berdialektika dengan penulis mudah-mudahan ini bisa menjadi amal baik. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al- Anshari, Ibn Hisyam, Siratunnabawiyyah,
Al-Asy’ari, Muhammad Hasyim, Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah, dalam Ishomuddin Hadiq, Irsyadusyari fi jam’i musonnafati Hasyim Asy’ari,Jombang: Ihya’ut Turats (tt)
Al-Bagdadi, Abu Al-Qohir Bin Tohir, Al-Farqu bainal firaq, Bairut: Darul kotob islamiyyah (2009)
Al-Buthi, Siad Ramdhan, Siratunnabawiyyah, Lebanon: Darul Fikr (1397 H/1977 M)
Al-Mahdiliy, Sayyid Muhammad Aqil Ibn Ali, Ahlusunnah wal Jama’ah; madkhal wa dirasah, Kairo: Darul Hadits (tt)
Armstrong, Karen, Islam; A Short History, New York: Modern Library (2000)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana (2005)
Bathonah, Badawi, Muqodimah Al-Ghozali wa ihya’ ulumiddin, dalam Ihya Ulumuddin Juz I, Semarang: Toha Putra (tt)
Harits, Busyairi, Islam NU, pengawal tradisi suni Indonesia, Surabaya: Khalista (2010)
Hitti, Philip. K, History of the Arabs; From the Earlies Times to the Present, New York: Palgrave Macmillan (edisi revisi ke-10, 2002)
Siradj, Said Agil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Bandung: Mizan (2006)
Wahid, Abdurrahman, Menggerakan Tradisi; esai-esai Pesantren,Jogjakarta: LkiS (2001)
Lain-lain
Ceramah-cermah KH. Hamdun Ahmad