BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan dapat mempengaruhi akidah umat. Salah satu sebab orang yang
keluar dari agama adalah karena kemiskinan dan kefakiran. Islam memerintahkan
umatnya untuk menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia dengan dua
tujuan, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup di akhirat. Secara sederhana, hablun minaaloh dapat
diartikan bahwa seorang muslim harus secara tulus dan ikhlas bahwa seluruh
aktivitasnya hanya untuk mengabdi kepada Allah. Sedangkan hablun minannas dapat
diartikan bahwa seorang muslim harus mempunyai kepedulian dengan orang lain.
Pedulian dengan orang adalah keharusan agar seorang muslim merasa punya
tanggungjawab untuk memberikan solusi atas permasalahan umat termasuk
kemiskinan.
Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang
mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka
yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu
unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah
wajib (fardhu) atas setiap muslim yanga telah memenuhi syarat-syarat tertentu
seperti sholat, haji, dan puasa. Di samping itu, zakat merupakan amal sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang strategis dan sangat berpengaruh pada
pembangunan ekonomi umat. Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin
secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu
mengentaskan kemiskinan (Qadir, 2001:83-84). Sebagian orang-orang Islampun
berkeyakinan bahwa zakat memunyai peran penting dalam pengentasan kemiskinan.
Namun banyak fakta di dunia empirik menujukkan hal yang berlawan. Negara-negara
dimana mayoritas penduduknya beragama Islam masih tergolong Negara berkembang
dalam tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Satu contoh yang pantas untuk
dikemukan adalah Negara Indonesia yang merupakan Negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia. Menurut Data BPS Maret 2013 jumlah penduduk muslim
hampir 80 % dari total jumlah penduduk warga Indonesia beragama Islam. Angka ke
miskinan di Indonesia terbilang cukup tinggi. Data BPS Maret 2013 menunjukan bahwa
jumlah penduduk miskin 31 juta jiwa. Sementara data dari bank dunia menunjukan
bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 59 % atau setengah dari penduduk
Indonesia. Terlepas dari perbedaan data
yang ditunjukan BPS dan bank dunia tersebut, yang jelas persoalan kemiskinan
masih menjadi persoalan yang amat krusial di indonesia. Dan pemerintah indonesia memberikan perhatian yang sangat
serius dalam soal mengatasi kemiskinan ini. Alokasi dana yang diperuntukan bagi
upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan tersebut sanagat besar.
Pada sisi lain, potensi zakat menunjukan angka yang sangat pantastis.
Hasil perhitungan kasar menurut ketua umum BAZNAS KH. Didin Hafidhuddin potensi zakat masyarakat Indonesia mencapai Rp 270 triliun
pertahunnya. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa potensi zakat yang besar tersebut belum dapat
tergali secara maksimal di Indonesia sehingga tidak mengherankan jika angka
kemiskinan di Indonesia masih cukup besar. Pertanyaan yang akan muncul kemudian
dari kenyataan seperti ini adalah mengapa potensi zakat yang besar tersebut
belum dapat tergali secara maksimal.
Kerna kemiskinan merupak sebuah kondisi hidup yang serba kekurangan.
Yusup Qorhdowi menyatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab
munculnya permasalahan ekonomi karena lemahnya sumber penghasil. Pakar ekonomi
melihat kemiskinan dari berbagai aspek. Pada aspek primer kemiskinan terlihat
dari miskin asset, organisasi sosial politik, pendidikan, dan keterampilan. Dan
pada asepek skekunder ke miskinan terlihat pada kemiskinan jaringan sosial,
sumber-sumber keuangan dan informasi.
Kemiskinan terjadi tidak serta merta disebabkan oleh faktor-faktor
bersifat ekonomi. Kemiskinan terjadi juga disebabkan oleh faktor budaya, sosial
dan politi. Penyebab utama kemiskinan adalah karena kelemahan dari segi modal.
Kelemahan modal disebabkan kerena ketidakmampuan untuk memamfaatkan dan mengembangkan
sumberdaya alam. Ketidak mampuan untuk memampaatkan dan mengembangkan
sumberdaya alam berdampak pada rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas
berakibat pada lemahnya pendapatan. Pendapatan yang rendah berakibat pada
rendahnya tabungan dan insentif. Rendahnya tabuangan dan insentif berakibat
pula pada rendahnya pembentukan modal. Lingkaran kemiskinan demikan menyisakan
variable lain yaitu variable sosial, budaya dan politik ketidak mampuan untuk
memfaatkan dan mengembangkan sumberdaya alam berakar pada rendahnya pendidikan.
Kemudian rendahnya produktifitas berakar pada lemahnya etos kerja. Dan
kelemahan etos kerja disebabkan oleh adanya sebuah keyakinan bahwa kemiskinan
takdir tuhan. variable politik terlihat
pada keberpihakan yang lebih dari pemerintah terhadap pemilik modal ketimbang
kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian kemiskian tidak berdiri
sendiri, banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemiskinan. Analisis
kepada faktor-faktor penyebab kemiskinan akan menghasilkan sebuah langkah-langkah
yang tepat dalam mengatasi kemiskinan tersebut.
Melihat realiatas yang ada maka
zakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sulit terwujud apabila
tidak ada peran aktif dari para muzakki dan pengelola zakat. Para muzakki harus
sadar betul bahwa tujuan mereka berzakat tidak hanya semata-mata menggugurkan
kewajibannya akan tetapi lebih luas yaitu untuk mengentaskan kemiskinan.
Pengelola zakat (amil) juga dituntut harus profesional dan inovatif dalam
pengelolaan dana zakat. Salah satu model pengelolaan zakat yang inovatif adalah
pengelolaan zakat secara produktif, di mana dengan motode ini diharapkan akan
mempercepat upaya mengentaskan masyarakat dari garis kemiskinan, mereka pada
awalnya adalah golongan mustahik kemudian menjadi seorang muzakki.
Pengelolaan distribusi zakat yang diterapkan di Indonesia terdapat dua
macam kategori, yaitu distribusi secara konsumtif dan produktif. Zakat
produktif merupakan zakat yang diberikan kepada mustahik sebagai modal untuk
menjalankan suatu kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha, yaitu untuk
mengembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahik (Qadir,
2001:46).
Saat ini, meski masih banyak yang mendayagunakan harta hasil zakat
secara konsumtif, akan tetapi sudah mulai muncul pendayagunan hasil zakat
secara produktif di BAZNAS semisal. Kinerja lembaga tersebut telah mengalami
kemajuan dan menerapkan metode pemberdayaan mustahiq zakat untuk usaha
produktif. Dengan metode BAITUL QIRD tersebut diharapankan agar para mustahik
mampu memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan serta kedepan
diharapkan menjadi muzakki dari hasil pengembangan harta zakat tersebut.
Perkembangan metode BAITUL QIRD Pada awalnya gagasan ini muncul karena
tujuan zakat telah hilang maka mempunyai interpretasi baru tentang zakat yang
selama ini dipahami oleh masyarakat pada umumnya yang masih mengelola zakat
secara konservativ. BAZNAS mempunyai interpretasi baru bahwa zakat itu
disamping sebagai ibadah individu, dalam zakat juga terkandung misi
pengembangan ekonomi umat. Pada awalnya gagasan konsep baru yang dirumuskan
oleh BAZNAS tersebut mendapatkan banyak kendala. Hal tersebut karena pemuka
agama dan masyarakat masih berpijak pada teks dan logika-logika klasik dalam
mengelola dana hasil zakat yang berorientasi konsumtif. Banyak masyarakat yang
masih memahami bahwa zakat hanya sebagai sebuah pemindahan harta tanpa konsep
yang berbasis
Sistem pengelolaan pendistribusian zakat di BAZNAS berbeda dengan
sistem yang biasa dipraktekkan. Pada umumnya pola pendistribusian yang terjadi
di berbagai BAZNAS masih bersifat konsumtif, di mana dana zakat didistribusikan
masih berwujud harta atau benda yang diserahkan muzakki semisal uang atau
kepentingam sosial. Di BAZNAS, dana hasil zakat oleh BAZNAS diserahkan kepada
para mustahiq diwujudkan berupa hal-hal produktif agar dikembangbiakkan menjadi
sebuah usaha. Sistem pengelolaan pendistribusian zakat yang sudah berjalan ini merupakan suatu terobosan baru dalam
menyelenggarakan zakat sebagai alternatif solusi persoalan kemiskinan. Sistem
pengelolaan pendistribusian zakat tersebut menurut hemat penulis menarik untuk
diteliti dan dikaji. Sebagai ikhtiar untuk mengetahui lebih mendalam terhadap
praktik pengelolaan pendistribusian zakat di BAZNAS.
B. Perumusan Masalah
Langkah pertama
dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Satu hal yang harus
disadari bahwa masalah itu tidak bisa berdiri sendiri dan terisolasi dari
foktor-faktor lain. Selalu terdapat konstelasi yang merupakan latar belakang dari suatu
masalah-masalah tertentu (Jujun S. 2009;309). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan
konstelasi yang bersifat situasional inilah maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana sistem pengelolaan pendistribusian
zakat oleh BAZNAS sebelum dibentuknya program Baitul Qird dalam upaya
pengetasan kemiskinan?
2.
Seperti apakah pelaksanan program Baitul Qirad
dalam upaya pengetasan kemiskinan?
3.
Bagaimana Efektifitas Program Baitul Qird dalam
upaya pengetasan kemiskinan ?
C. Tujuan Penelitian
Sudah menjadi keharusan bahwasanya dalam setiap
penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan, kegunaan serta target tertentu
sebagai upaya untuk mengukur tingkat pencapaiannya. Sebuah penelitian ilmiah
jika tanpa adanya sebuah tujuan maka akan absurd dan sia-sia belaka. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui pelaksanaan pengelolaan
pendistribusian zakat oleh BAZNAS sebelum dibentuknya program Baitul Qird dalam
upaya pengetasan kemiskinan .
2.
Mengetahui pelaksanan program Baitul Qirad
dalam upaya pengetasan kemiskinan.
3.
Mengetahui Efektifitas Program Baitul Qird
dalam upaya pengetasan kemiskinan.
D.
Kerangka
Pemikiran
E.
Langkah-langkah
Penelitan
Adapun
metode penelitian yang digunakan oleh penulis, sebagai berikut :
1. Pendekatan
dan jenis penelitian
a. Metode
dan pendekatan
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalkan perilaku dan tindakan secara holistik (Moleong, 2011: 6).
Adapun
pendekatan yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian adalah pendekatan
sosiologis yaitu pendekatan melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial
budaya suatu unit sosial, individu, kelompok atau lembaga-lembaga sosial.
sebagai jalan untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat. (Soekanto,
1999:45)
b. Lokasi
dan Waktu Penelitian
Peneliti bertindak sebagai instrument
sekaliguspengumpul data yang mana penulis langsung datang dan mewawancarai
Ketua BAZNAS Kabupaten Sukabumi.
c.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber
data, yaitu:
Merupakan
sebuah keterangan atau fakta yang secara langsung diperoleh melalui penelitian
lapangan. Data primer diperoleh dari:
a)
Informan
Informan
adalah orang yang di manfaatkan untuk memberikan informasinya tentang situasi
dan kondisi latar penelitian. Jadi seorang informan harus mempunyai banyak
pengalaman tentang latar penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka
rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal. Sebagai
anggota tim dengan kebaikannya dan dengan kesukarelaannya ia dapat memberikan
pandangan dari segi orang dalam, tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses
dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian setempat
(Moleong,
2002:90). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah panitia pengelola
zakat, aparat Desa, tokoh masyarakat dan masyarakat umum di Dusun Tarukan.
Selanjutnya informasi yang diperoleh dari para informan dideskripsikan dan
diolah menjadi data primer.
.
No comments:
Post a Comment