FAKULTAS HUKUM Ekonomi Syariah
STAI Al-Masthuriyah Sukabumi 2015
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan kemiskinan di Indonesia sangat memprihatinkan, sudah lebih dari 63 tahun Indonesia merdeka dan lebih dari 10 tahun reformasi, tetapi masalah kemiskinan menjadi masalah urgent dalam pembangunan Indonesia. Padahal, program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, dengan dana penanggulangan kemiskinan yang terus meningkat.
Permasalahan kemiskinan dibicarakan tanpa berujung pada aksi nyata, oleh karena itu hal ini menarik banyak kalangan untuk dituntaskan dengan cara yang tepat dan cerdas. Setiap orang seolah bergairah untuk membicarakan tentang betapa miskinnya negeri ini, negeri yang konon elok rupawan, alamnya yang subur menghasilkan tetumbuhan yang menggiurkan, tetapi ternyata semuanya itu tinggal sekedar cerita masa lalu. Kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang belum terpisahkan dari bangsa yang indah ini. Yang lebih mengenaskan adalah, penyakit akut kemiskinan itu ternyata telah bersarang di tubuh mayoritas ummat Islam, ia menyerang jasad ummat yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai perjuangan untuk sukses dunia akhirat, tetapi kemudian harus mengalami sebuah ”bencana” kemiskinan yang sangat dahsyat.
Dalam buku World in Figure 2003 yang diterbitkan oleh The Economist, dipaparkan tentang Indonesia sebagai negara yang luar biasa, negeri terluas nomor 15 di dunia ini, ternyata dikenal sebagai pengekspor coklat dengan peringkat nomor 3 di dunia, penghasil sawit terbesar ke 2, dan beragam hasil perkebunan lainnya, dari penghasilan tambang, ternyata Indonesia menghasilkan emas ke 8 di dunia, negeri ini menghasilkan sungguh banyak bauksit, bahan bakar minyak, batubara, marmer, nikel dan kandungan mineral lainnya (sumber: ://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan). Luar biasa, demikianlah agaknya yang bisa kita ucapkan untuk menunjukkan potensi yang ada di Indonesia, negeri kaya raya. Keluarbiasaannya ternyata tidak hanya karena potensi yang dimilikinya itu saja. Paradoks, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi, dinegeri yang kaya raya ini, fakta yang amat jelas memperlihatkan kondisi terkini tentang kemiskinan dengan segala ancamannya menghantui anak negeri. Hal tersebut terbukti dengan adanya beban hutang luar negeri kita yang ternyata berada diperingkat 6 didunia, angka korupsi menempatkan Indonesia di posisi ke 3 diantara negara di dunia, penduduk miskinnya sebesar 26 % dan pengangguran terbuka berada di angka 10 juta(sumber://proletar.8m.com).
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kondisi penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58 persen, dengan garis kemiskinan Rp166.697 per orang per bulan. Dengan adanya kenaikan harga BBM, hingga bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan hidup layak bagi tiap individu adalah sebesar Rp195 ribu per orang per bulan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kalkulasi jumlah penduduk miskin di Indonesia yang juga dipastikan akan semakin meningkat (sumber://economy.okezone.com).
Berdasarkan data tersebut di atas, berbagai cara telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan mulai dari pembagian bantuan langsung tunai sampai pemberian bantuan kompor dan atau tabung gas atas upaya pemerintah mengalihkan (konversi) minyak tanah ke gas. Tetapi upaya yang dilakukan tak urung menyelesaikan masalah karena rakyat justru menolak konversi tersebut dengan berbagai alasan. Terlepas dari itu semua, secara garis besar dapat terlihat bahwa solusi yang dilakukan baru sekadar pemberian ’ikan’ bukan ’kail’. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seakan memberatkan rakyat.
Lantas dengan adanya kekayaan Indonesia yang sangatlah besar kenapa permasalahan kemiskinan selalu menjadi masalah yang seolah-olah tidak ada solusinya? Sebenarnya apakah ada yang salah urus (something wrong) dalam menangani masalah kemiskinan ini? Dalam Islam, peran zakat yang tepat dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan, apakah hal tersebut benar-benar dapat menjadi solusi. Adanya keterkaitan pembangunan ekonomi dan peranan zakat dalam mengentaskan kemiskinan menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis untuk mengkaji masalah ini dalam sebuah karya tulis yang berjudul ”ANALISIS PERAN ZAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN (Sebuah Jawaban atas Kegagalan 10 tahun Reformasi Pembangunan Hukum Ekonomi)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan, maka penulis mengambil rumusan masalah meliputi:
1. Bagaimana peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan?
2. Bagaimana strategi pembangunan hukum ekonomi mengawal zakat sebagai solusi pengentasan kemiskinan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui konsep peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan.
b. Untuk mencari jawaban atas kegagalan 10 tahun reformasi pembangunan hukum ekonomi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai peran zakat dalam pengentasan kemiskinan.
b. Untuk mengetahui keterkaitan antara kemiskinan, zakat dan adanya sumbangsih hukum ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoristis
a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu sosial, khususnya mengenai peran zakat dalam memberantas kemiskinan mengingat telah gagalnya reformasi hukum ekonomi.
b. Memberikan wacana peran zakat dalam pembangunan hukum ekonomi.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran dan kemampuan penulis dalam mengkritisi persoalan-persoalan sosial.
b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Peristilahan
1. Pengertian Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), analisis mempunyai arti 1. Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebebarnya (sebab musabab, duduk perkara dan sebagainya); 2. Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahanan arti keseluruhan.
2. Pengertian Reformasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah reformasi mempunyai arti perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.
B. Tinjauan Umum Tentang Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat menurut istilah bahasa dapat diartikan membersihkan dan mengembangkan, sedangkan menurut syara’ dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan sebagai kewajiban atas harta atau badan orang yang bersangkutan dengan cara yang khusus (tertentu) (Manshur Ali Nashif, 2002 : 2). Zakat merupakan salah satu dari rukun islam, tepatnya rukun islam yang ketiga, sebagaimana diungkapkan dalam hadist Nabi sehingga keberadaanya dianggap sebagai ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang (Didin Hafidhuddin,2006:1).
2. Pengaturan Zakat
Landasan kewajiban zakat ditegaskan di dalam Al-Qur’an dan Sunah, diantaranya adalah;
a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kalian kepada rasul, agar kalian diberi rahmat (An-Nuur:56).
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At-Taubah :103).
“Maka orang-orang yang beriman diantara kalian dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (Al-Hadid:7).
Berdasarkan ayat pertama, kedua dan ayat ketiga tersebut memberikan pengertian tentang kefardhuan zakat. Pada garis besarnya zakat merupakan salah satu dari rukun islam, ibadah zakat disyariatkan pada tahun 2 Hijriyah. Hikmah yang terkandung di dalam zakat ialah untuk memelihara harta benda dan menjadikanya berkembang. Zakat berfungsi pula untuk membersihkan jiwa(dari kotoran kekikiran) dan membersihkannya (dari dosa-dosa). Pelakunya akan mendapat pahala yang besar, rahmat Allah yang berlimpah, doa dari Rasul SAW, doa para malaikat, dan rida Allah, Rasul-Nya serta semua makhluk. Dengan demikian maka pelakunya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat (Manshur Ali Nashif, 2002 : 2).
b. SUNNAH
1. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
2. Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
3. Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
C. Tinjauan Umum Tentang Kemiskinan
Secara etomoligi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan berarti keadaan serba kekurangan. Masalah kemiskinan merupakan salah satu penyebab dari munculnya permasalahan perekonomian masyarakat, karena definisi kemiskinan adalah lemahnya sumber penghasilan yang mampu diciptakan individu masyarakat yang juga mengimplikasikan akan lemahnya sumber penghasilan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dalam memenuhi segala kebutuhan perekonomian dan kehidupanya (sumber: Yusuf Qaradhawi,2005 : 21).
Dirumuskan oleh Robert Chambers seorang pakar pembangunan pedesaan Inggris, menjelaskan bahwa masalah kemiskinan terjadi karena adanya faktor Deprivation Trap (jebakan kemiskinan). Jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima ketidak beruntungan yang terus melilit keluarga miskin. Pertama; Kemiskinan itu sendiri. Kedua; Kelemahan fisik. Ketiga; Keterasingan. Keempat; Kerentaan. Kelima; Ketidakberdayaan (Rural Development, 1983). Faktor yang paling dominan dari kelima jebakan tersebut adalah kerentaan dan ketidakberdayaan, karena dari kedua faktor inilah keberadaan kemiskinan seakan memiliki pondasi yang cukup kokoh di dalam masyarakat (sumber:http//demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-kemiskinan).
D. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ekonomi
a. Pengertian
1 . Pengertian Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) istilah hukum mempunyai arti peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat ( negara ). Menurut Utrech, hukum dapat didefinisikan sebagai kumpulan peraturan yang berisi larangan dan perintah yang harus dipatuhi oleh masyarakat, yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi yang tegas (sumber : Tim Penyusun PHI. 1995 :2).
2. Pengertian Ekonomi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) istilah ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, pendistribusian, dan perdagangan).
b. Hukum Ekonomi
1. Pengertian Hukum Ekonomi
Menurut T. Mulyana Lubis yang dikutip oleh Adi Sulistyono menjelaskan bahwa hukum ekonomi adalah keseluruhan peraturan-perundangan, hukum kebiasaan, putusan pengadilan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, baik itu menyangkut badan hukum pelaku ekonomi, transaksi pelaku ekonomi, tempat transaksi pelaku ekonomi, sampai dengan intervensi pemerintah untuk menunjang kegiatan ekonomi, dan mekanisme penyelesaian sengketa pelaku ekonomi (Adi Sulistyono,2007:7).
2.Peran dan Harapan Hukum terhadap Ekonomi
Peranan dan harapan hukum yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungannya antar manusia di dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh H.W. Robinson, ekonomi modern semakin berpandangan bahwa pengharapan individu-individu merupakan determinan tindakan-tindakan ekonomi dan oleh karenanya merupakan faktor-faktor yang merajai dalam orang yang menentukan ekwilibrium ekonomi dan stabilitas ekwilibrium yang telah dicapai (Adi Sulistyono,2007:9).
BAB III
METODE PENULISAN
A. Jenis Penulisan
Jenis penelitian dilihat dari sifatnya dibagi menjadi tiga, yaitu penelitian eksploratif, deskriptif, dan eksplanatoris. Menurut Prof. Soerjono Soekanto, S.H. penelilitian diskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya lainya maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau didalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 1986:9-10).
Berdasarkan definisi di atas, maka penulisan yang digunakan merupakan penulisan yang berdasar pada penelitian deskriptif kualitatif. Penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dii masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, taupun fenomana tertentu (Burhan Bungin, 2008:68).
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku referensi, media masa seperti koran, majalah, internet yang mengulas mengenai peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Sumber data merupakan tempat dimana sata diperoleh. Sumber data dalam penulisan ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperolehnya data. Adapun data sekunder yang penulis gunakan meliputi;
a. Bahan Primer
Bahan primer adalah bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun bahan primer yang kami gunakan adalah Al-Qur’an dan Alhadist, Adendum Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Bahan Sekunder
Bahan sekunder sebagai pendukung bahan primer yang penulis gunakan adalah jurnal, literatur, buku, koran, internet, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan dewasa ini.
c. Bahan Tersier
Bahan tersier sebagai pendukung data sekunder dari bahan primer dan tersier yang kami gunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penulisan ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan yang di kumpulkan dan yang bersangkutan dengan permasalahan penulisan selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.
D. Teknik Analisis Data
Analisis merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematik semua data dan bahan lain yang telah terkumpul agar penulis mengerti benar makna yang telah ditemukannya, dan dapat menyajikan kepada orang lain secara benar (HB. Sutopo, 1988 : 38). Adapun teknik analisis yang kami gunakan adalah dengan taknik analisis bingkai (framing Analysis). Teknik analisis bingkai adalah suatu teknik analisis data dengan melihat dan menemukan frame atau media package yaitu suatu perspektif untuk melihat sebuah perspektif yang digunakan untuk melakukan pengamatan, analisis, dan interpretasi terhadap sebuah realitas sosial di masyarakat. Seperti umpamanya frame; reformasi; terorisme; pembangunan; kondisi rawan; pahlawan; perlawanan; arus bawah dan semacamnya adalah bentuk frame yang sering ditemui di masyarakat (Burhan Bungin, 2008:159).
Menurut Entman yang dikutip oleh Burhan Bugin, bahwa analisi bingkai pada pada pemberitaan ada empat cara yaitu;
1. Mengidentifikasi masalah (problem identification)
Mengidentifikasi masalah yaitu dengan melakukan pelacakan terhadap berbagai masalah yang kemungkinan ada dan mestinya ada. Pada tahap ini masalah ditata berdasarkan lingkungan sosial, jenis masalah, dan peluang-peluang solusi.
2. Mengidentifikasi penyebab masalah (causal identification)
untuk mengidentifikasi penyebab masalah dilakukan dengan mengkategorikan penyebab masalah, faktor pendukung yang mengitari penyebab masalah serta faktor pencetus masalah itu sendiri.
3. Melakukan evaluasi moral (moral evaluation)
Evaluasi moral dilkukan dengan cara malakukan penilaian terhadap penyebab-penyebab masalah.
4. Melakukan saran penanggulangan masalah (treatment recommendation)
Sedangkan cara penanggulangan adalah cara untuk menawarkan alternatif penanganan masalah dan kemungkinan prediksi hasil penangulangan masalah (Burhan Bungin, 2008:160).
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan
Peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan adalah peran yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, baik dalam kehidupan muslim atau kehidupan lainnya. Khalayak umum hanya mengetahui bahwasanya tujuan dari zakat adalah mengentaskan kemiskinan dan juga membantu para fakir miskin, tanpa mengetahui gambarannya secara gamblang (Yusuf Qaradhawi,2005:29). Peranan zakat tidak hanya terbatas kepada pengentasan kemiskinan. Akan tetapi bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat lainnya. Dapat diketahui bahwa salah satu peranan zakat adalah membantu negara muslim lainnya dalam menyatukan hati para warganya untuk dapat loyal kepada Islam dan juga membantu segala permasalahan yang ada di dalamnya.
Al-Qur’an mengisyaratkan agar zakat atau infak dikelola secara profesional. Itu dapat dipahami dari keterangan Al-Qur’an yang menghargai jasa para amil sehingga mereka ditetapkan sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak memperoleh pembagian zakat. Jika prinsip ini dapat dijalankan maka harta yang dikumpulkan melalui zakat dapat menjadi produktif, dapat menciptkan lapangan kerja, membantu peningkatan kualitas SDM secara terencana, ikut mengembangkan usaha yang baik dari sudut pandang agama, dan lainnya. Singkatnya, banyak manfaat yang dapat diraih dari dana zakat yang dikelola secara profesional.
Islam memandang kemiskinan merupakan suatu hal yang mampu membahayakan akhidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah yang harus segera ditanggulangi (Yusuf Qaradawi,2005:24). Maka dari itu setiap umat Islam didorong untuk menjadi pembayar zakat. Artinya, setiap orang diharapkan dapat mengambil bagian dalam penanggulangan kemiskinan. Harapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu maupun kepada penyandang kemiskinan itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari penerapan kewajiban zakat fitrah. Kewajiban tersebut juga diberlakukan bagi orang miskin jika pada malam hari menjelang Idul Fitri ia mempunyai kelebihan bahan makanan. Hal ini mencerminkan kebersamaan di dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan harus dijabarkan dan diimplementasikan dalam kehidupan ekonomi.
Berdasarkan prinsip tersebut umat Islam diharapkan saling mendukung sehingga usaha-usaha di bidang ekonomi yang dijalankan mampu bertahan dan berkembang di tengah persaingan yang keras dan bebas. Prinsip ini menjadi semakin penting ketika usaha-usaha yang dijalankan oleh umat masih lemah dan belum mampu bersaing karena berbagai keterbatasan. Dukungan tersebut antara lain dengan memilih produk yang dihasilkan dan memanfaatkan jasa yang ditawarkan serta mendukung terciptanya jaringan bisnis yang kuat dan luas. Pola hidup yang hemat dan sederhana sangat diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pola hidup seperti itu diharapkan tumbuh di kalangan semua warga masyarakat, terutama orang kaya atau berpenghasilan tinggi. Kesenjangan antara kaya dan miskin dalam masyarakat dewasa ini cukup menonjol. Kesenjangan tersebut dapat dipersempit dengan mendorong peningkatan amal sosial di kalangan orang kaya dan menjauhkan perilaku boros.
Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama Islam yang salah satunya adalah zakat. Zakat adalah satu dari kesekian ajaran sosial Islam yang berorientasi pada kemaslahatan kamanusiaan. Suatu bentuk ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat stategis dalam program penguatan kaum dhuafa. Adanya potensi zakat dapat tersirat dalam kutipan berikut;
Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah. Dengan potensi ideal 32,4 Triliyun pertahun, tentu saja ini adalah angka yang besar dan belum lagi di tambah dari dana infaq, sadaqah dan wakaf. Jika potensi itu berhasil terhimpun dapat diyakini tidak akan ada orang yang meminta-minta di tiap perempatan di Jakarta, tidak akan ada orang yang berprofesi menggalang dana umat di angkutan kota dan tidak ada cerita orang mati karena busung lapar. Namun kenyataannya penghimpunan zakat, infaq dan sadakah tidak lebih dari 286.412 .188.273 (Dua ratus delapan puluh enam milyar, sekian) dari total penghimpunan dana yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di Indonesia (Data Forum Zakat,2007)(sumber://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat tersirat bahwa posisi zakat di Indonesia sangatlah potensial mengingat jumlah muslim di di Indonesia berjumlah 80 juta. Pada hakekatnya, mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan penyebabnya. Agar seseorang dapat menunaikan zakatnya untuk mengentaskan kemiskinan, maka perlu diketahui penyebab kemiskinan terhadapa individu atau kemiskinan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat. Setiap penyebab kemiskinan diobati dengan formula yang berbeda-beda, meliputi:
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh kelemahan fisik yang menjadi penghalang dirinya dalam mendapatkan penghasilan yang besar.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mencari pekerjaan, karena ditutupnya pintu-pintu yang halal sesuai dengan keadaan para fakir miskin tersebut.
3. Kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pendapatan yang ia peroleh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sekalipun ia mempunyai penghasilan tetap.
Untuk mengoptimalkan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan, maka terdapat ketentuan kadar zakat yang dikeluarkan untuk fakir miskin. Yusuf Qaradhawi yang mengutip pendapat Imam Ghazali menyebutkan tiga pendapat dalam permasalahan ini, meliputi: memberikan fakir miskin sejumlah nishab zakat, memberikan fakir miskin kebutuhannya selama setahun, dan memberikan fakir miskin kebutuhan selam sisa hidupnya. Di Indonesia apakah kriteria tersebut yang benar-benar menjadi sasaran zakat (Yusuf qaradhawi.2005:38).
Adanya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, ternyata belum bisa memaksa wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya, hal ini terait pula belum adanya peraturan pelaksana pengelolaan zakat. Potensi zakat yang 42,3 triliyun masih tinggal diangan-angan para praktisi zakat. Dengan berbagai upaya yang terus dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) Indonesia yang tidak kurang dari 242 lembaga baik dari Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diinisiasi oleh masyarakat kerja bahu-membahu untuk menyadarkan sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam menunaikan zakat dan menyalurkannya zakat melalui lembaga-lembaga zakat yang ada(sumber://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dakemiskinan).
Pada titik jenuh praktisi zakat merasakan keputusasaan dalam mengemban tugas yang sebetulnya adalah kewajiban Pemerintah. Kemiskinan muncul karena rerentaan dan ketidakberdayaan orang miskin berkelanjutan karena kontruksi sosial yang sudah membentuknya. Kontruksi ini adalah akibat dari kebijakan struktur ekonomi, politik dan budaya yang tidak proporsional dan memihak.
Mengentaskan satu keluarga miskin adalah mulia, mengentaskan 100 keluarga miskin adalah tugas CSR, mengentaskan sejuta orang miskin itu kebijakan namanya (Politik ZISWAF, 2008), kemiskinan merajalela adalah karena kebijakan yang salah selama ini (sumber: http://economy.okezone.com). Berdasarkan hal tersebut maka untuk melawan kemiskinan harus dengan kebijakan yang benar. Tanpa kebijakan yang benar, usaha untuk mengentaskan kemiskinan dari awal sudah ditakdirkan akan gagal. Disinilah letak pentingnya sebuah instutusi pemerintah dalam melawan kemiskinan, karena kebijakan suatu negara terletak pada “kekuasaan” yang sedang memerintah.
B. Strategi Hukum Ekonomi Mengawal Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa untuk mengoptimalkan peran zakat sangat dibutuhkan kebijakan yang dapat mengawal zakat itu sendiri sebagai solusi mengentaskan kemiskinan. Ahli-ahli ekonomi telah banyak membuat analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat penting kepada usaha mempercepat pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor-faktor tersebut meliputi: pertanian tradisional, kekurangan dana modal dan fiskal, peranan tenaga trampil dan tenaga yang berpendidikan, perkembangan penduduk yang pesat, serta masalah institusi, masalah sosial, masalah kebudayaan dan politik (sumber: ://economy.okezone.com). Pemerintah merupakan pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan kebijakan di bidang ekonomi yang tentunya akan berdampak pada masyarakatnya. Sedangkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kestabilan politik dan ekonomi merupakan syarat penting yang perlu dipenuhi.
Berdasarkan kepada pengalaman pembangunan di berbagai negara dapat diuraikan kebijakan-kebijakan yang selalu dijalankan untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, meliputi:
1. kebijakan diversifikasi ekonomi yaitu dengan memodernkan kegiatan ekonomi yang ada dan yang lebih penting adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang baru yang dapat mempercepat transformasi kegiatan ekonomi dari yang bersifat tradisional pada kegiatan ekonomi yang modern.
2. mengembangkan infrastruktur untuk mempermudah kegiatan ekonomi, perkembangan infrastruktur ini harus selaras dengan pembangunan ekonomi.
3. meningkatkan tabungan dan investasi, dengan meningkatkan tabungan masyarakat maka iklim investasipun juga akan meningkat.
4. meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, pendidikan merupakan satu investasi yang sangat berguna untuk pembangunan ekonomi.
5. mengembangkan institusi yang mendorong pembangunan
6. merumuskan dan melaksanakan perencanaan ekonomi
(Sadono Sukirno, 1994:438-445).
Ditengah kegagalan satu dekade pemerintahan pasca reformasi tersingkap 10 fakta tidak menyenangkan, meliputi: 10 fakta yang tidak menyenangkan pasca era reformasi yang dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini adalah sebagai berikut; harga sembako kian mahal, tingkat korupsi masih tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, ekonomi tidak stabil, kerusuhan meningkat, banyaknya demonstrasi, BBM langka dan mahal, sistem politik semrawut, kebebasan yang tidak bertanggungjawab, dan jumlah pengangguran yang terus semakin bertambah (sumber://simpanglima.wordpress.com/2008/05/12/10-fakta-tidak-menyenangkan-pasca-reformasi). Berdasarkan fakta tersebut, maka untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat yang dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sangat berkaitan antara hukum ekonomi yang lebih menitik beratkan pada adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Maka kita perlu belajar bagaimana Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhalifahan beliau yang singkat (2 tahun 5 bulan) bisa menjalankan kerja besar meredusir kemiskinan bahkan mengentaskan kemiskinan.
Menurut Monzer Kahf (1999), setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan surplus zakat sebagai penanda terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat muslim periode tersebut. Pertama, terjadi penambahan kekayaan masyarakat dari redistribusi aset dan kemakmuran internal yang sebagian besar disebabkan oleh adanya perbesaran pasar dan meningkatnya keamanan di negara tersebut (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Peningkatan kekayaan masyarakat miskin terutama dimulai dari kebijakan redistribusi aset yang dilakukan secara besar-besaran dari kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang dianggap diperoleh secara tidak sah. Kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang terindikasi diperoleh secara tidak sah tersebut terutama melalui korupsi dan kolusi segera diambil alih oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat.
Adapun pelajaran bagi Indonesia, dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini sangat ditabukan adanya konsep redistribusi aset. Bahkan aset pejabat yang jelas terlihat oleh publik dari hasil KKN tidak ada sedikitpun yang diambil negara. Selama ini yang dijalankan hanya menuntut bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat miskin daripada bagaimana memberi mereka akses pada aset-aset produksi yang akan memungkinkan mereka menaikan produktivitas. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan kemiskinan paling efektif seharusnya dimulai secara tegas dari penyitaan aset-aset pejabat dan kroni pejabat yang diperoleh secara tidak sah dan kemudian didisitribusikan kembali ke masyarakat.
Menegakkan amanah dan pelayanan umat (khadimul umah) menyebabkan reduksi korupsi dalam birokrasi dan badan administrasi yang merupakan prestasi penting dalam masa dua tahun pemerintahan beliau. Hasilnya, kebanyakan dari dana publik dan dana zakat, dikumpulkan dan didistribusikan dengan jumlah yang optimal (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Dengan kata lain, peningkatan efisiensi manajemen pendapatan publik dan manajemen zakat serta pendapatan yang lain, juga telah menjadi faktor pendukung dalam memelihara porsi prioritas anggaran untuk memenuhi kebutuhan publik lebih besar, mencakup pemberantasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarkat.
Sebaiknya dalam porsi anggaran untuk penyelenggara negara juga disederhanakan. Saat ini kita menyaksikan pejabat publik yang semakin kaya setelah menjabat. Yang terjadi, menjadi pejabat publik bukan untuk melayani masyarakat, tetapi sarana untuk meningkatkan status diri dan memupuk kesejahteraan pribadi. Hal ini dibuktikan oleh (korupsi legal) APBN dan APBD dengan tingginya budget belanja untuk pengeluaran eksekutif dan legislatif dengan berbagai alasan diberbagai tingkatan(sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Dampaknya porsi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial sangat minim.
Dengan kondisi demikian, jelas sangat sulit bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pengentasan ekonomi paling efektif seharusnya juga dimulai dari birokrasi yang bersih dengan anggaran penyelenggara negara yang sederhana dan tersedianya dana untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial yang optimal.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz berhasil membangkitkan kembali kukuhnya perasaan qana'ah, menahan diri, dan semangat berkarya masyarakat disebabkan oleh kuatnya keyakinan dan iman kepada Allah SWT. Beliau memulai dari diri sendiri dengan sikap zuhud dan kerja keras beliau. Qana’ah dan menahan diri menjadi sebuah pondasi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat muslim pada waktu itu (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Adanya sikap qana’ah dan menahan diri, membuat masyarakat mengerti dan menolak untuk mengambil zakat meski sesungguhnya mereka berhak untuk mendapatkanya. Prinsip qanaah dan kepuasan diri melahirkan ketergantungan pada sumber daya sendiri.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia, sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya perlu ditumbuhkan kembali. Tentu ini membutuhkan figur, dan yang tepat adalah dimulai dari presiden, kepala daerah, pejabat negara, seluruh aparatur negara, dan juga tokoh-tokoh umat. Satu hal yang juga penting diikuti dalam meneladani kebijakan Umar bin Abdul Aziz adalah perlu segera dilakukan pemangkasan ekonomi biaya tinggi, sehingga muncul insentif yang besar untuk berusaha dan berkarya.
Ketiga, faktor dasar yang mendukung pengentasan kemiskinan masa dua Umar adalah bahwa wilayah yang berhasil mengentaskan kemiskinan (masa Umar bin Khattab provinsi Yaman dan masa Umar bin Abdul Aziz terutama provinsi Mesir) tersebut adalah wilayah yang kaya dengan tanah yang subur dan tanaman panenan berlimpah-limpah (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Bagi Indonesia prasyarat ketiga ini jelas sangat tersedia. Dimana Indinesia memiliki ketersediaan tanah yang sangat-sangat subur, iklim yang sangat kondusif, dan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Fakta Indonesia sempat memiliki pondasi perekonomian yang sangat ”kropos” pada Pemerintahan Orde Baru, yang terbukti dengan adanya window dressing yang diperlihatkan oleh Pemerintahan Soeharto yang digunakan untuk mengelabuhi mata dunia dan masyarakat Indonesia (Adi Sulistyono,2007:7). Berdasarkan hal tersebut, guna mendukung pencapaian pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ”reformasi” maka pembangunan hukum harus dilakukan secara revolusioner, berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner yaitu merubah secara sadar dan mendasar sistem hukum ekonomi yang selama ini berkualitas liberal dan dibawah kendali negara-negara maju menjadi sistem hukum ekonomi yang berkualitas kekeluargaan (ukhuwah) (Adi Sulistyono,2007:27). Sistem hukum ekonomi yang berkualitas kekeluargaan bukan sekedar mengandalkan pada rule of law, namun juga menaruh perhatian pada rule of moral.
Strategi pembangunan ekonomi di Indonesia perlu memperhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak sekedar melakukan “bongkar pasang” pasal-pasal dalam suatu undang-undang saja, tetapi juga mempehatikan dan memberdayakan daya dukung aspek yang lain, yaitu: 1. Pendidikan hukum, 2. Reformasi substansi hukum, 3. Mekanisme penyelsaian sengketa yang berwibawa dan efisien, 4. Pemberdayaan etika bisnis, 5. Menumbuhkan jiwa nasionalis pada anggota legislative, 6. Komitmen Presiden dan Wakil Presiden, yang aktifasinya dilakukan secara kait mengkait, bersama-sama, dan terus menerus saling dukung mendukung (Adi Sulistyono,2007:29). Dengan pendekatan tersebut diharapkan pembangunan hukum ekonomi akan mampu menghasilkan pembangunan hukum yang tinggi, dan mampu menjadikan hukum sebagai pemandu atau pengarah agar pertumbuhan itu bukan sekedar angka-angka, namun juga berkualitas untuk mengurangi kemiskinan, menekan angka pengangguran, dan memakmurkan rakyat.
Dengan belajar dari Umar bin Abdul Aziz dan pembanguan hukum ekonomi di Indonesia bahwa pengentasan kemiskinan tidak perlu membutuhkan waktu lama. Bagi Indonesia prasyarat dasarnya sudah memenuhi, tinggalah kesungguhan menjalankan kebijakan dan kemauan mengambil resiko. Dengan demikian jika kemiskinan dan kelaparan begitu banyak dinegeri ini, maka bangsa ini sendiri yang membuat dirinya miskin. Terutama akibat pemimpinnya yang melakukan pemiskinan terhadap rakyat. Rakyat miskin karena kekayaannya untuk membiayai kemewahan pejabat. Rakyat miskin karena ‘bersedekah’ untuk para koruptor dan konglomerat jahat sehingga dapat menyebabkan kemiskinan rakyat karena haknya dicuri.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Islam memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat membahayakan akidah maka kemiskinan harus segera diatasi. Mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan penyebabnya, maka dari itu setiap umat Islam didorong untuk menjadi pembayar zakat. artinya, setiap orang diharapkan dapat mengambil bagian dalam penanggulangan kemiskinan. Harapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu maupun kepada penyandang kemiskinan itu sendiri.
2. Pengawalan zakat melalui pembangunan hukum ekonomi adalah akibat dari kegagalan 1 dekade reformasi hukum ekonomi. Dalam rangka pengawalan tersebut maka dapat ditempuh melalui adanya birokrasi yang bersih, keimanan penyelenggara negara dan pengobtimalisasian potensi yang dimiliki oleh negara itu sendiri.
B. SARAN
1. Adanya pengobtimalisasian zakat baik dalam pengelolaan, ditribusi dan sosialisasi zakat secara komprehensif dalam masyarakat.
2. Adanya upaya penggalian sumber-sumber zakat yang harus terus dilakukan, terutama oleh Badan Amil Zakat maupun oleh Lembaga Amil Zakat. Serta perlu adanya kerjasama antar kedua lembaga tersebut agar hasil dan daya guna zakat dapat lebih diobtimalkan.
3. Adanya payung hukum yang tegas dalam hal pengadaan peraturan pelaksana (PP) dari UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Diharapkan pemerintah memiliki kemampuan politik yang kuat untuk menindak lanjuti Undang-undang tersebut.
4. Diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah terkait adanya penegakan birokrasi yang bersih.
Referensi;
BUKU;
• Al-Qur’an dan Terjemahanya. Semarang: PT Karya Toha.
• Ali Nashif, Manshur. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadist Rasulullah SAW. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
• Bugin, Burgan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
• Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Moderen. Jakarta. Gema Insani Press.
• Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
• Qaradhawi, Yusuf. 2005. Spektrum Zakat. Jakarta: Zikrul Hakim.
• Sukirno, Sadono. 1994. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
• Sulistyono, Adi. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030. Surakarta.UNS Press
• Sutopo, HB, 1988, Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-dasar Teoritis dan Praktis), Surakarta : UNS Press.
• Tim Penyusun PHI. 1995, Pengantar Hukum Indonesia, Surakarta: UNS Press.
Produk Hukum
• Adendum Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Internet;
• http://proletar.8m.com diakses pada tanggal 5 September 2008
• http://economy.okezone.com diakses pada tanggal 5 September 2008).
• http://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan diakses pada tanggal 5 September 2008 ).
• http://simpanglima.wordpress.com/2008/05/12/10-fakta-tidakmenyenangkan-pasca-reformasi diakses pada tanggal 5 September 2008 ).
• http://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html diakses pada tanggal 5 September 2008).
Majalah;
• Nusantoro, Adi. 1995. Masalah Kemiskinan, Mengapa yang Miskin Tetap Miskin. Majalah Ilmiah Atma
STAI Al-Masthuriyah Sukabumi 2015
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan kemiskinan di Indonesia sangat memprihatinkan, sudah lebih dari 63 tahun Indonesia merdeka dan lebih dari 10 tahun reformasi, tetapi masalah kemiskinan menjadi masalah urgent dalam pembangunan Indonesia. Padahal, program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, dengan dana penanggulangan kemiskinan yang terus meningkat.
Permasalahan kemiskinan dibicarakan tanpa berujung pada aksi nyata, oleh karena itu hal ini menarik banyak kalangan untuk dituntaskan dengan cara yang tepat dan cerdas. Setiap orang seolah bergairah untuk membicarakan tentang betapa miskinnya negeri ini, negeri yang konon elok rupawan, alamnya yang subur menghasilkan tetumbuhan yang menggiurkan, tetapi ternyata semuanya itu tinggal sekedar cerita masa lalu. Kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang belum terpisahkan dari bangsa yang indah ini. Yang lebih mengenaskan adalah, penyakit akut kemiskinan itu ternyata telah bersarang di tubuh mayoritas ummat Islam, ia menyerang jasad ummat yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai perjuangan untuk sukses dunia akhirat, tetapi kemudian harus mengalami sebuah ”bencana” kemiskinan yang sangat dahsyat.
Dalam buku World in Figure 2003 yang diterbitkan oleh The Economist, dipaparkan tentang Indonesia sebagai negara yang luar biasa, negeri terluas nomor 15 di dunia ini, ternyata dikenal sebagai pengekspor coklat dengan peringkat nomor 3 di dunia, penghasil sawit terbesar ke 2, dan beragam hasil perkebunan lainnya, dari penghasilan tambang, ternyata Indonesia menghasilkan emas ke 8 di dunia, negeri ini menghasilkan sungguh banyak bauksit, bahan bakar minyak, batubara, marmer, nikel dan kandungan mineral lainnya (sumber: ://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan). Luar biasa, demikianlah agaknya yang bisa kita ucapkan untuk menunjukkan potensi yang ada di Indonesia, negeri kaya raya. Keluarbiasaannya ternyata tidak hanya karena potensi yang dimilikinya itu saja. Paradoks, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi, dinegeri yang kaya raya ini, fakta yang amat jelas memperlihatkan kondisi terkini tentang kemiskinan dengan segala ancamannya menghantui anak negeri. Hal tersebut terbukti dengan adanya beban hutang luar negeri kita yang ternyata berada diperingkat 6 didunia, angka korupsi menempatkan Indonesia di posisi ke 3 diantara negara di dunia, penduduk miskinnya sebesar 26 % dan pengangguran terbuka berada di angka 10 juta(sumber://proletar.8m.com).
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kondisi penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58 persen, dengan garis kemiskinan Rp166.697 per orang per bulan. Dengan adanya kenaikan harga BBM, hingga bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan hidup layak bagi tiap individu adalah sebesar Rp195 ribu per orang per bulan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kalkulasi jumlah penduduk miskin di Indonesia yang juga dipastikan akan semakin meningkat (sumber://economy.okezone.com).
Berdasarkan data tersebut di atas, berbagai cara telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan mulai dari pembagian bantuan langsung tunai sampai pemberian bantuan kompor dan atau tabung gas atas upaya pemerintah mengalihkan (konversi) minyak tanah ke gas. Tetapi upaya yang dilakukan tak urung menyelesaikan masalah karena rakyat justru menolak konversi tersebut dengan berbagai alasan. Terlepas dari itu semua, secara garis besar dapat terlihat bahwa solusi yang dilakukan baru sekadar pemberian ’ikan’ bukan ’kail’. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seakan memberatkan rakyat.
Lantas dengan adanya kekayaan Indonesia yang sangatlah besar kenapa permasalahan kemiskinan selalu menjadi masalah yang seolah-olah tidak ada solusinya? Sebenarnya apakah ada yang salah urus (something wrong) dalam menangani masalah kemiskinan ini? Dalam Islam, peran zakat yang tepat dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan, apakah hal tersebut benar-benar dapat menjadi solusi. Adanya keterkaitan pembangunan ekonomi dan peranan zakat dalam mengentaskan kemiskinan menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis untuk mengkaji masalah ini dalam sebuah karya tulis yang berjudul ”ANALISIS PERAN ZAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN (Sebuah Jawaban atas Kegagalan 10 tahun Reformasi Pembangunan Hukum Ekonomi)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan, maka penulis mengambil rumusan masalah meliputi:
1. Bagaimana peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan?
2. Bagaimana strategi pembangunan hukum ekonomi mengawal zakat sebagai solusi pengentasan kemiskinan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui konsep peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan.
b. Untuk mencari jawaban atas kegagalan 10 tahun reformasi pembangunan hukum ekonomi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai peran zakat dalam pengentasan kemiskinan.
b. Untuk mengetahui keterkaitan antara kemiskinan, zakat dan adanya sumbangsih hukum ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoristis
a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu sosial, khususnya mengenai peran zakat dalam memberantas kemiskinan mengingat telah gagalnya reformasi hukum ekonomi.
b. Memberikan wacana peran zakat dalam pembangunan hukum ekonomi.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran dan kemampuan penulis dalam mengkritisi persoalan-persoalan sosial.
b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Peristilahan
1. Pengertian Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), analisis mempunyai arti 1. Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebebarnya (sebab musabab, duduk perkara dan sebagainya); 2. Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahanan arti keseluruhan.
2. Pengertian Reformasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah reformasi mempunyai arti perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.
B. Tinjauan Umum Tentang Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat menurut istilah bahasa dapat diartikan membersihkan dan mengembangkan, sedangkan menurut syara’ dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan sebagai kewajiban atas harta atau badan orang yang bersangkutan dengan cara yang khusus (tertentu) (Manshur Ali Nashif, 2002 : 2). Zakat merupakan salah satu dari rukun islam, tepatnya rukun islam yang ketiga, sebagaimana diungkapkan dalam hadist Nabi sehingga keberadaanya dianggap sebagai ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang (Didin Hafidhuddin,2006:1).
2. Pengaturan Zakat
Landasan kewajiban zakat ditegaskan di dalam Al-Qur’an dan Sunah, diantaranya adalah;
a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kalian kepada rasul, agar kalian diberi rahmat (An-Nuur:56).
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At-Taubah :103).
“Maka orang-orang yang beriman diantara kalian dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (Al-Hadid:7).
Berdasarkan ayat pertama, kedua dan ayat ketiga tersebut memberikan pengertian tentang kefardhuan zakat. Pada garis besarnya zakat merupakan salah satu dari rukun islam, ibadah zakat disyariatkan pada tahun 2 Hijriyah. Hikmah yang terkandung di dalam zakat ialah untuk memelihara harta benda dan menjadikanya berkembang. Zakat berfungsi pula untuk membersihkan jiwa(dari kotoran kekikiran) dan membersihkannya (dari dosa-dosa). Pelakunya akan mendapat pahala yang besar, rahmat Allah yang berlimpah, doa dari Rasul SAW, doa para malaikat, dan rida Allah, Rasul-Nya serta semua makhluk. Dengan demikian maka pelakunya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat (Manshur Ali Nashif, 2002 : 2).
b. SUNNAH
1. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
2. Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
3. Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
C. Tinjauan Umum Tentang Kemiskinan
Secara etomoligi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan berarti keadaan serba kekurangan. Masalah kemiskinan merupakan salah satu penyebab dari munculnya permasalahan perekonomian masyarakat, karena definisi kemiskinan adalah lemahnya sumber penghasilan yang mampu diciptakan individu masyarakat yang juga mengimplikasikan akan lemahnya sumber penghasilan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dalam memenuhi segala kebutuhan perekonomian dan kehidupanya (sumber: Yusuf Qaradhawi,2005 : 21).
Dirumuskan oleh Robert Chambers seorang pakar pembangunan pedesaan Inggris, menjelaskan bahwa masalah kemiskinan terjadi karena adanya faktor Deprivation Trap (jebakan kemiskinan). Jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima ketidak beruntungan yang terus melilit keluarga miskin. Pertama; Kemiskinan itu sendiri. Kedua; Kelemahan fisik. Ketiga; Keterasingan. Keempat; Kerentaan. Kelima; Ketidakberdayaan (Rural Development, 1983). Faktor yang paling dominan dari kelima jebakan tersebut adalah kerentaan dan ketidakberdayaan, karena dari kedua faktor inilah keberadaan kemiskinan seakan memiliki pondasi yang cukup kokoh di dalam masyarakat (sumber:http//demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-kemiskinan).
D. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ekonomi
a. Pengertian
1 . Pengertian Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) istilah hukum mempunyai arti peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat ( negara ). Menurut Utrech, hukum dapat didefinisikan sebagai kumpulan peraturan yang berisi larangan dan perintah yang harus dipatuhi oleh masyarakat, yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi yang tegas (sumber : Tim Penyusun PHI. 1995 :2).
2. Pengertian Ekonomi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) istilah ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, pendistribusian, dan perdagangan).
b. Hukum Ekonomi
1. Pengertian Hukum Ekonomi
Menurut T. Mulyana Lubis yang dikutip oleh Adi Sulistyono menjelaskan bahwa hukum ekonomi adalah keseluruhan peraturan-perundangan, hukum kebiasaan, putusan pengadilan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, baik itu menyangkut badan hukum pelaku ekonomi, transaksi pelaku ekonomi, tempat transaksi pelaku ekonomi, sampai dengan intervensi pemerintah untuk menunjang kegiatan ekonomi, dan mekanisme penyelesaian sengketa pelaku ekonomi (Adi Sulistyono,2007:7).
2.Peran dan Harapan Hukum terhadap Ekonomi
Peranan dan harapan hukum yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi adalah kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungannya antar manusia di dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh H.W. Robinson, ekonomi modern semakin berpandangan bahwa pengharapan individu-individu merupakan determinan tindakan-tindakan ekonomi dan oleh karenanya merupakan faktor-faktor yang merajai dalam orang yang menentukan ekwilibrium ekonomi dan stabilitas ekwilibrium yang telah dicapai (Adi Sulistyono,2007:9).
BAB III
METODE PENULISAN
A. Jenis Penulisan
Jenis penelitian dilihat dari sifatnya dibagi menjadi tiga, yaitu penelitian eksploratif, deskriptif, dan eksplanatoris. Menurut Prof. Soerjono Soekanto, S.H. penelilitian diskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya lainya maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau didalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 1986:9-10).
Berdasarkan definisi di atas, maka penulisan yang digunakan merupakan penulisan yang berdasar pada penelitian deskriptif kualitatif. Penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dii masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, taupun fenomana tertentu (Burhan Bungin, 2008:68).
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku referensi, media masa seperti koran, majalah, internet yang mengulas mengenai peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Sumber data merupakan tempat dimana sata diperoleh. Sumber data dalam penulisan ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperolehnya data. Adapun data sekunder yang penulis gunakan meliputi;
a. Bahan Primer
Bahan primer adalah bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun bahan primer yang kami gunakan adalah Al-Qur’an dan Alhadist, Adendum Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Bahan Sekunder
Bahan sekunder sebagai pendukung bahan primer yang penulis gunakan adalah jurnal, literatur, buku, koran, internet, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan dewasa ini.
c. Bahan Tersier
Bahan tersier sebagai pendukung data sekunder dari bahan primer dan tersier yang kami gunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain yang masih ada hubungannya dengan penulisan ini. Kemudian melakukan analisis isi terhadap bahan yang di kumpulkan dan yang bersangkutan dengan permasalahan penulisan selanjutnya dikonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap pakai.
D. Teknik Analisis Data
Analisis merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematik semua data dan bahan lain yang telah terkumpul agar penulis mengerti benar makna yang telah ditemukannya, dan dapat menyajikan kepada orang lain secara benar (HB. Sutopo, 1988 : 38). Adapun teknik analisis yang kami gunakan adalah dengan taknik analisis bingkai (framing Analysis). Teknik analisis bingkai adalah suatu teknik analisis data dengan melihat dan menemukan frame atau media package yaitu suatu perspektif untuk melihat sebuah perspektif yang digunakan untuk melakukan pengamatan, analisis, dan interpretasi terhadap sebuah realitas sosial di masyarakat. Seperti umpamanya frame; reformasi; terorisme; pembangunan; kondisi rawan; pahlawan; perlawanan; arus bawah dan semacamnya adalah bentuk frame yang sering ditemui di masyarakat (Burhan Bungin, 2008:159).
Menurut Entman yang dikutip oleh Burhan Bugin, bahwa analisi bingkai pada pada pemberitaan ada empat cara yaitu;
1. Mengidentifikasi masalah (problem identification)
Mengidentifikasi masalah yaitu dengan melakukan pelacakan terhadap berbagai masalah yang kemungkinan ada dan mestinya ada. Pada tahap ini masalah ditata berdasarkan lingkungan sosial, jenis masalah, dan peluang-peluang solusi.
2. Mengidentifikasi penyebab masalah (causal identification)
untuk mengidentifikasi penyebab masalah dilakukan dengan mengkategorikan penyebab masalah, faktor pendukung yang mengitari penyebab masalah serta faktor pencetus masalah itu sendiri.
3. Melakukan evaluasi moral (moral evaluation)
Evaluasi moral dilkukan dengan cara malakukan penilaian terhadap penyebab-penyebab masalah.
4. Melakukan saran penanggulangan masalah (treatment recommendation)
Sedangkan cara penanggulangan adalah cara untuk menawarkan alternatif penanganan masalah dan kemungkinan prediksi hasil penangulangan masalah (Burhan Bungin, 2008:160).
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan
Peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan adalah peran yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, baik dalam kehidupan muslim atau kehidupan lainnya. Khalayak umum hanya mengetahui bahwasanya tujuan dari zakat adalah mengentaskan kemiskinan dan juga membantu para fakir miskin, tanpa mengetahui gambarannya secara gamblang (Yusuf Qaradhawi,2005:29). Peranan zakat tidak hanya terbatas kepada pengentasan kemiskinan. Akan tetapi bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat lainnya. Dapat diketahui bahwa salah satu peranan zakat adalah membantu negara muslim lainnya dalam menyatukan hati para warganya untuk dapat loyal kepada Islam dan juga membantu segala permasalahan yang ada di dalamnya.
Al-Qur’an mengisyaratkan agar zakat atau infak dikelola secara profesional. Itu dapat dipahami dari keterangan Al-Qur’an yang menghargai jasa para amil sehingga mereka ditetapkan sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak memperoleh pembagian zakat. Jika prinsip ini dapat dijalankan maka harta yang dikumpulkan melalui zakat dapat menjadi produktif, dapat menciptkan lapangan kerja, membantu peningkatan kualitas SDM secara terencana, ikut mengembangkan usaha yang baik dari sudut pandang agama, dan lainnya. Singkatnya, banyak manfaat yang dapat diraih dari dana zakat yang dikelola secara profesional.
Islam memandang kemiskinan merupakan suatu hal yang mampu membahayakan akhidah, akhlak, kelogisan berpikir, keluarga dan juga masyarakat. Islam pun menganggapnya sebagai musibah yang harus segera ditanggulangi (Yusuf Qaradawi,2005:24). Maka dari itu setiap umat Islam didorong untuk menjadi pembayar zakat. Artinya, setiap orang diharapkan dapat mengambil bagian dalam penanggulangan kemiskinan. Harapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu maupun kepada penyandang kemiskinan itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari penerapan kewajiban zakat fitrah. Kewajiban tersebut juga diberlakukan bagi orang miskin jika pada malam hari menjelang Idul Fitri ia mempunyai kelebihan bahan makanan. Hal ini mencerminkan kebersamaan di dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan harus dijabarkan dan diimplementasikan dalam kehidupan ekonomi.
Berdasarkan prinsip tersebut umat Islam diharapkan saling mendukung sehingga usaha-usaha di bidang ekonomi yang dijalankan mampu bertahan dan berkembang di tengah persaingan yang keras dan bebas. Prinsip ini menjadi semakin penting ketika usaha-usaha yang dijalankan oleh umat masih lemah dan belum mampu bersaing karena berbagai keterbatasan. Dukungan tersebut antara lain dengan memilih produk yang dihasilkan dan memanfaatkan jasa yang ditawarkan serta mendukung terciptanya jaringan bisnis yang kuat dan luas. Pola hidup yang hemat dan sederhana sangat diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pola hidup seperti itu diharapkan tumbuh di kalangan semua warga masyarakat, terutama orang kaya atau berpenghasilan tinggi. Kesenjangan antara kaya dan miskin dalam masyarakat dewasa ini cukup menonjol. Kesenjangan tersebut dapat dipersempit dengan mendorong peningkatan amal sosial di kalangan orang kaya dan menjauhkan perilaku boros.
Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama Islam yang salah satunya adalah zakat. Zakat adalah satu dari kesekian ajaran sosial Islam yang berorientasi pada kemaslahatan kamanusiaan. Suatu bentuk ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat stategis dalam program penguatan kaum dhuafa. Adanya potensi zakat dapat tersirat dalam kutipan berikut;
Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah. Dengan potensi ideal 32,4 Triliyun pertahun, tentu saja ini adalah angka yang besar dan belum lagi di tambah dari dana infaq, sadaqah dan wakaf. Jika potensi itu berhasil terhimpun dapat diyakini tidak akan ada orang yang meminta-minta di tiap perempatan di Jakarta, tidak akan ada orang yang berprofesi menggalang dana umat di angkutan kota dan tidak ada cerita orang mati karena busung lapar. Namun kenyataannya penghimpunan zakat, infaq dan sadakah tidak lebih dari 286.412 .188.273 (Dua ratus delapan puluh enam milyar, sekian) dari total penghimpunan dana yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di Indonesia (Data Forum Zakat,2007)(sumber://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat tersirat bahwa posisi zakat di Indonesia sangatlah potensial mengingat jumlah muslim di di Indonesia berjumlah 80 juta. Pada hakekatnya, mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan penyebabnya. Agar seseorang dapat menunaikan zakatnya untuk mengentaskan kemiskinan, maka perlu diketahui penyebab kemiskinan terhadapa individu atau kemiskinan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat. Setiap penyebab kemiskinan diobati dengan formula yang berbeda-beda, meliputi:
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh kelemahan fisik yang menjadi penghalang dirinya dalam mendapatkan penghasilan yang besar.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mencari pekerjaan, karena ditutupnya pintu-pintu yang halal sesuai dengan keadaan para fakir miskin tersebut.
3. Kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pendapatan yang ia peroleh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sekalipun ia mempunyai penghasilan tetap.
Untuk mengoptimalkan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan, maka terdapat ketentuan kadar zakat yang dikeluarkan untuk fakir miskin. Yusuf Qaradhawi yang mengutip pendapat Imam Ghazali menyebutkan tiga pendapat dalam permasalahan ini, meliputi: memberikan fakir miskin sejumlah nishab zakat, memberikan fakir miskin kebutuhannya selama setahun, dan memberikan fakir miskin kebutuhan selam sisa hidupnya. Di Indonesia apakah kriteria tersebut yang benar-benar menjadi sasaran zakat (Yusuf qaradhawi.2005:38).
Adanya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, ternyata belum bisa memaksa wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya, hal ini terait pula belum adanya peraturan pelaksana pengelolaan zakat. Potensi zakat yang 42,3 triliyun masih tinggal diangan-angan para praktisi zakat. Dengan berbagai upaya yang terus dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) Indonesia yang tidak kurang dari 242 lembaga baik dari Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diinisiasi oleh masyarakat kerja bahu-membahu untuk menyadarkan sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam menunaikan zakat dan menyalurkannya zakat melalui lembaga-lembaga zakat yang ada(sumber://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dakemiskinan).
Pada titik jenuh praktisi zakat merasakan keputusasaan dalam mengemban tugas yang sebetulnya adalah kewajiban Pemerintah. Kemiskinan muncul karena rerentaan dan ketidakberdayaan orang miskin berkelanjutan karena kontruksi sosial yang sudah membentuknya. Kontruksi ini adalah akibat dari kebijakan struktur ekonomi, politik dan budaya yang tidak proporsional dan memihak.
Mengentaskan satu keluarga miskin adalah mulia, mengentaskan 100 keluarga miskin adalah tugas CSR, mengentaskan sejuta orang miskin itu kebijakan namanya (Politik ZISWAF, 2008), kemiskinan merajalela adalah karena kebijakan yang salah selama ini (sumber: http://economy.okezone.com). Berdasarkan hal tersebut maka untuk melawan kemiskinan harus dengan kebijakan yang benar. Tanpa kebijakan yang benar, usaha untuk mengentaskan kemiskinan dari awal sudah ditakdirkan akan gagal. Disinilah letak pentingnya sebuah instutusi pemerintah dalam melawan kemiskinan, karena kebijakan suatu negara terletak pada “kekuasaan” yang sedang memerintah.
B. Strategi Hukum Ekonomi Mengawal Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa untuk mengoptimalkan peran zakat sangat dibutuhkan kebijakan yang dapat mengawal zakat itu sendiri sebagai solusi mengentaskan kemiskinan. Ahli-ahli ekonomi telah banyak membuat analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat penting kepada usaha mempercepat pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor-faktor tersebut meliputi: pertanian tradisional, kekurangan dana modal dan fiskal, peranan tenaga trampil dan tenaga yang berpendidikan, perkembangan penduduk yang pesat, serta masalah institusi, masalah sosial, masalah kebudayaan dan politik (sumber: ://economy.okezone.com). Pemerintah merupakan pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan kebijakan di bidang ekonomi yang tentunya akan berdampak pada masyarakatnya. Sedangkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kestabilan politik dan ekonomi merupakan syarat penting yang perlu dipenuhi.
Berdasarkan kepada pengalaman pembangunan di berbagai negara dapat diuraikan kebijakan-kebijakan yang selalu dijalankan untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, meliputi:
1. kebijakan diversifikasi ekonomi yaitu dengan memodernkan kegiatan ekonomi yang ada dan yang lebih penting adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang baru yang dapat mempercepat transformasi kegiatan ekonomi dari yang bersifat tradisional pada kegiatan ekonomi yang modern.
2. mengembangkan infrastruktur untuk mempermudah kegiatan ekonomi, perkembangan infrastruktur ini harus selaras dengan pembangunan ekonomi.
3. meningkatkan tabungan dan investasi, dengan meningkatkan tabungan masyarakat maka iklim investasipun juga akan meningkat.
4. meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, pendidikan merupakan satu investasi yang sangat berguna untuk pembangunan ekonomi.
5. mengembangkan institusi yang mendorong pembangunan
6. merumuskan dan melaksanakan perencanaan ekonomi
(Sadono Sukirno, 1994:438-445).
Ditengah kegagalan satu dekade pemerintahan pasca reformasi tersingkap 10 fakta tidak menyenangkan, meliputi: 10 fakta yang tidak menyenangkan pasca era reformasi yang dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini adalah sebagai berikut; harga sembako kian mahal, tingkat korupsi masih tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, ekonomi tidak stabil, kerusuhan meningkat, banyaknya demonstrasi, BBM langka dan mahal, sistem politik semrawut, kebebasan yang tidak bertanggungjawab, dan jumlah pengangguran yang terus semakin bertambah (sumber://simpanglima.wordpress.com/2008/05/12/10-fakta-tidak-menyenangkan-pasca-reformasi). Berdasarkan fakta tersebut, maka untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat yang dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sangat berkaitan antara hukum ekonomi yang lebih menitik beratkan pada adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Maka kita perlu belajar bagaimana Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhalifahan beliau yang singkat (2 tahun 5 bulan) bisa menjalankan kerja besar meredusir kemiskinan bahkan mengentaskan kemiskinan.
Menurut Monzer Kahf (1999), setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan surplus zakat sebagai penanda terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat muslim periode tersebut. Pertama, terjadi penambahan kekayaan masyarakat dari redistribusi aset dan kemakmuran internal yang sebagian besar disebabkan oleh adanya perbesaran pasar dan meningkatnya keamanan di negara tersebut (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Peningkatan kekayaan masyarakat miskin terutama dimulai dari kebijakan redistribusi aset yang dilakukan secara besar-besaran dari kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang dianggap diperoleh secara tidak sah. Kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang terindikasi diperoleh secara tidak sah tersebut terutama melalui korupsi dan kolusi segera diambil alih oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat.
Adapun pelajaran bagi Indonesia, dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini sangat ditabukan adanya konsep redistribusi aset. Bahkan aset pejabat yang jelas terlihat oleh publik dari hasil KKN tidak ada sedikitpun yang diambil negara. Selama ini yang dijalankan hanya menuntut bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat miskin daripada bagaimana memberi mereka akses pada aset-aset produksi yang akan memungkinkan mereka menaikan produktivitas. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan kemiskinan paling efektif seharusnya dimulai secara tegas dari penyitaan aset-aset pejabat dan kroni pejabat yang diperoleh secara tidak sah dan kemudian didisitribusikan kembali ke masyarakat.
Menegakkan amanah dan pelayanan umat (khadimul umah) menyebabkan reduksi korupsi dalam birokrasi dan badan administrasi yang merupakan prestasi penting dalam masa dua tahun pemerintahan beliau. Hasilnya, kebanyakan dari dana publik dan dana zakat, dikumpulkan dan didistribusikan dengan jumlah yang optimal (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Dengan kata lain, peningkatan efisiensi manajemen pendapatan publik dan manajemen zakat serta pendapatan yang lain, juga telah menjadi faktor pendukung dalam memelihara porsi prioritas anggaran untuk memenuhi kebutuhan publik lebih besar, mencakup pemberantasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarkat.
Sebaiknya dalam porsi anggaran untuk penyelenggara negara juga disederhanakan. Saat ini kita menyaksikan pejabat publik yang semakin kaya setelah menjabat. Yang terjadi, menjadi pejabat publik bukan untuk melayani masyarakat, tetapi sarana untuk meningkatkan status diri dan memupuk kesejahteraan pribadi. Hal ini dibuktikan oleh (korupsi legal) APBN dan APBD dengan tingginya budget belanja untuk pengeluaran eksekutif dan legislatif dengan berbagai alasan diberbagai tingkatan(sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Dampaknya porsi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial sangat minim.
Dengan kondisi demikian, jelas sangat sulit bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pengentasan ekonomi paling efektif seharusnya juga dimulai dari birokrasi yang bersih dengan anggaran penyelenggara negara yang sederhana dan tersedianya dana untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial yang optimal.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz berhasil membangkitkan kembali kukuhnya perasaan qana'ah, menahan diri, dan semangat berkarya masyarakat disebabkan oleh kuatnya keyakinan dan iman kepada Allah SWT. Beliau memulai dari diri sendiri dengan sikap zuhud dan kerja keras beliau. Qana’ah dan menahan diri menjadi sebuah pondasi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat muslim pada waktu itu (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Adanya sikap qana’ah dan menahan diri, membuat masyarakat mengerti dan menolak untuk mengambil zakat meski sesungguhnya mereka berhak untuk mendapatkanya. Prinsip qanaah dan kepuasan diri melahirkan ketergantungan pada sumber daya sendiri.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia, sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya perlu ditumbuhkan kembali. Tentu ini membutuhkan figur, dan yang tepat adalah dimulai dari presiden, kepala daerah, pejabat negara, seluruh aparatur negara, dan juga tokoh-tokoh umat. Satu hal yang juga penting diikuti dalam meneladani kebijakan Umar bin Abdul Aziz adalah perlu segera dilakukan pemangkasan ekonomi biaya tinggi, sehingga muncul insentif yang besar untuk berusaha dan berkarya.
Ketiga, faktor dasar yang mendukung pengentasan kemiskinan masa dua Umar adalah bahwa wilayah yang berhasil mengentaskan kemiskinan (masa Umar bin Khattab provinsi Yaman dan masa Umar bin Abdul Aziz terutama provinsi Mesir) tersebut adalah wilayah yang kaya dengan tanah yang subur dan tanaman panenan berlimpah-limpah (sumber://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html). Bagi Indonesia prasyarat ketiga ini jelas sangat tersedia. Dimana Indinesia memiliki ketersediaan tanah yang sangat-sangat subur, iklim yang sangat kondusif, dan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Fakta Indonesia sempat memiliki pondasi perekonomian yang sangat ”kropos” pada Pemerintahan Orde Baru, yang terbukti dengan adanya window dressing yang diperlihatkan oleh Pemerintahan Soeharto yang digunakan untuk mengelabuhi mata dunia dan masyarakat Indonesia (Adi Sulistyono,2007:7). Berdasarkan hal tersebut, guna mendukung pencapaian pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ”reformasi” maka pembangunan hukum harus dilakukan secara revolusioner, berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner yaitu merubah secara sadar dan mendasar sistem hukum ekonomi yang selama ini berkualitas liberal dan dibawah kendali negara-negara maju menjadi sistem hukum ekonomi yang berkualitas kekeluargaan (ukhuwah) (Adi Sulistyono,2007:27). Sistem hukum ekonomi yang berkualitas kekeluargaan bukan sekedar mengandalkan pada rule of law, namun juga menaruh perhatian pada rule of moral.
Strategi pembangunan ekonomi di Indonesia perlu memperhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak sekedar melakukan “bongkar pasang” pasal-pasal dalam suatu undang-undang saja, tetapi juga mempehatikan dan memberdayakan daya dukung aspek yang lain, yaitu: 1. Pendidikan hukum, 2. Reformasi substansi hukum, 3. Mekanisme penyelsaian sengketa yang berwibawa dan efisien, 4. Pemberdayaan etika bisnis, 5. Menumbuhkan jiwa nasionalis pada anggota legislative, 6. Komitmen Presiden dan Wakil Presiden, yang aktifasinya dilakukan secara kait mengkait, bersama-sama, dan terus menerus saling dukung mendukung (Adi Sulistyono,2007:29). Dengan pendekatan tersebut diharapkan pembangunan hukum ekonomi akan mampu menghasilkan pembangunan hukum yang tinggi, dan mampu menjadikan hukum sebagai pemandu atau pengarah agar pertumbuhan itu bukan sekedar angka-angka, namun juga berkualitas untuk mengurangi kemiskinan, menekan angka pengangguran, dan memakmurkan rakyat.
Dengan belajar dari Umar bin Abdul Aziz dan pembanguan hukum ekonomi di Indonesia bahwa pengentasan kemiskinan tidak perlu membutuhkan waktu lama. Bagi Indonesia prasyarat dasarnya sudah memenuhi, tinggalah kesungguhan menjalankan kebijakan dan kemauan mengambil resiko. Dengan demikian jika kemiskinan dan kelaparan begitu banyak dinegeri ini, maka bangsa ini sendiri yang membuat dirinya miskin. Terutama akibat pemimpinnya yang melakukan pemiskinan terhadap rakyat. Rakyat miskin karena kekayaannya untuk membiayai kemewahan pejabat. Rakyat miskin karena ‘bersedekah’ untuk para koruptor dan konglomerat jahat sehingga dapat menyebabkan kemiskinan rakyat karena haknya dicuri.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Islam memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat membahayakan akidah maka kemiskinan harus segera diatasi. Mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan penyebabnya, maka dari itu setiap umat Islam didorong untuk menjadi pembayar zakat. artinya, setiap orang diharapkan dapat mengambil bagian dalam penanggulangan kemiskinan. Harapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu maupun kepada penyandang kemiskinan itu sendiri.
2. Pengawalan zakat melalui pembangunan hukum ekonomi adalah akibat dari kegagalan 1 dekade reformasi hukum ekonomi. Dalam rangka pengawalan tersebut maka dapat ditempuh melalui adanya birokrasi yang bersih, keimanan penyelenggara negara dan pengobtimalisasian potensi yang dimiliki oleh negara itu sendiri.
B. SARAN
1. Adanya pengobtimalisasian zakat baik dalam pengelolaan, ditribusi dan sosialisasi zakat secara komprehensif dalam masyarakat.
2. Adanya upaya penggalian sumber-sumber zakat yang harus terus dilakukan, terutama oleh Badan Amil Zakat maupun oleh Lembaga Amil Zakat. Serta perlu adanya kerjasama antar kedua lembaga tersebut agar hasil dan daya guna zakat dapat lebih diobtimalkan.
3. Adanya payung hukum yang tegas dalam hal pengadaan peraturan pelaksana (PP) dari UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Diharapkan pemerintah memiliki kemampuan politik yang kuat untuk menindak lanjuti Undang-undang tersebut.
4. Diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah terkait adanya penegakan birokrasi yang bersih.
Referensi;
BUKU;
• Al-Qur’an dan Terjemahanya. Semarang: PT Karya Toha.
• Ali Nashif, Manshur. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadist Rasulullah SAW. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
• Bugin, Burgan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
• Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Moderen. Jakarta. Gema Insani Press.
• Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
• Qaradhawi, Yusuf. 2005. Spektrum Zakat. Jakarta: Zikrul Hakim.
• Sukirno, Sadono. 1994. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
• Sulistyono, Adi. 2007. Pembangunan Hukum Ekonomi untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030. Surakarta.UNS Press
• Sutopo, HB, 1988, Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-dasar Teoritis dan Praktis), Surakarta : UNS Press.
• Tim Penyusun PHI. 1995, Pengantar Hukum Indonesia, Surakarta: UNS Press.
Produk Hukum
• Adendum Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Internet;
• http://proletar.8m.com diakses pada tanggal 5 September 2008
• http://economy.okezone.com diakses pada tanggal 5 September 2008).
• http://demustaine.blogdetik.com/2008/08/27/zakat-dan-kemiskinan diakses pada tanggal 5 September 2008 ).
• http://simpanglima.wordpress.com/2008/05/12/10-fakta-tidakmenyenangkan-pasca-reformasi diakses pada tanggal 5 September 2008 ).
• http://www.mailarchive.com/ekonomisyariah@yahoogroups.com/msg00641.html diakses pada tanggal 5 September 2008).
Majalah;
• Nusantoro, Adi. 1995. Masalah Kemiskinan, Mengapa yang Miskin Tetap Miskin. Majalah Ilmiah Atma
No comments:
Post a Comment